Kinabalu (ANTARA Kaltim) - Tidak terbayangkan, jika ternyata anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di negara bagian Sabah, Malaysia, mampu mendendangkan lagu Indonesia Raya.
Siang itu, Konsul Muda, Konsulat Jenderal RI di Sabah Joenys Duana Sirait mengunjungi SD Tunas Harapan Bangsa di wilayah Papar, Sabah, Malaysia.
Untuk mencapai sekolah yang terletak di salah satu kabupaten negara bagian Malaysia itu, perjalanan harus ditempuh selama kurang lebih dua jam menggunakan mobil dari Kota Kinabalu atau ibukota Sabah.
Sepanjang perjalanan, juga terlihat hamparan sawah dan rumah-rumah warga, layaknya suasana kehidupan dan pemukiman di Indonesia.
Sesampai di SD Tunas Harapan Bangsa, sejumlah anak SD, staf pengajar Community Learning Center (CLC) bahkan beberapa TKI yang merupakan orang tua murid ikut menyambut kedatangan staf Konjen RI dan wartawan.
Di halaman sekolah, terlihat bendera Malaysia berkibar, pada sisi dinding sekolah yang disewa RM500 atau setara Rp1.500.000 ribu per bulan itu terlihat gambar bendera Indonesia dan Malaysia serta tulisan butir Pancasila.
Walaupun terdapat bendera Malaysia, namun nuansa nasionalisme di sekolah yang jauh dari wilayah Indonesia itu terasa cukup menggelora.
Terlebih ketika masuk ke salah satu ruang kelas, para murid yang tetap berstatus Warga Negara Indonesia walaupun lahir di Malaysia itu terlihat antusias mengikuti mata pelajaran, sesuai kurikulum bagi SD di negara kita sendiri.
"Ayo, siapa yang bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya," kata Guru Kelas III SD Tunas Harapan Bangsa, Maliati Toding, yang langsung disambut acungan tangan seluruh muridnya.
Salah satu anak TKI itu kemudian maju dan langsung menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia tersebut.
Dengan penuh khidmat, murid Kelas III itu mengumandangkan bait demi bait lagu Indonesia Raya, tanpa sedikitpun `keseleo` padahal jika berbicara dialek Indonesia mereka seolah sudah hilang.
"Sejak masuk sekolah ini, kami memang menanamkan rasa cinta tanah air agar mereka tetap memiliki nasionalisme walaupun lahir dan tinggal di Malaysia," ungkap Meliana Toding.
Bukan hanya lagu Indonesia Raya, lagu-lagu perjuangan pun mereka bawakan dengan fasih.
"Kami tidak ingin mereka kehilangan jadi diri sebagai anak Indonesia, walaupun anak-anak ini harus hidup di negara lain hanya karena mengikuti orang tua mereka mencari nafkah di Malaysia. Kami tetap mengajarkan, bagaimana mencintai Indonesia dan mengenalkan kepada anak-anak TKI itu lagu-lagu nasionalisme," kata Meliana Toding.
Minim Sarana
Rasa nasionalisme anak-anak TKI yang tidak lekang oleh batas negara itu ternyata tidak diiringi fasilitas yang memadai dalam menempuh pendidikan di sekolah program "Community Learning Center".
Ruangan belajar yang mereka tempati terlihat hanya disekat dinding kayu, sementara kursi dan meja juga masih terlihat sangat sederhana.
"Kami sangat membutuhkan perhatian pemerintah Indonesia sebab sarana dan prasarana yang ada di sekolah ini masih belum memdai, khususnya buku-buku pelajaran," ungkap Pembina Guru SD Tunas Harapan Bangsa, Amiruddin Abdullah.
Walaupun berada jauh dari Indonesia, namun mata pelajaran yang diterapkan di SD Tunas Harapan Bangsa itu tetap menggunakan silabus sesuai kurikulum yang berlaku di Inddonesia.
"Kami tetap menggunakan kurikulum Indonesia sehingga kami berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan juga memperhatikan sekolah ini walaupun berada jauh dari wilayan Indonesia," kata alumni SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dari Nusa Tenggara Timur tersebut.
Sekolah bagi anak TKI yang baru berdiri 27 Maret 2011 itu saat ini telah menampung 151 murid mulai kelas satu hingga kelas empat.
Namun, sistem rekruitmen murid SD program CLC itu kata Amiruddin Abdullah sedikit berbeda dengan penerimaan murid di Indonesia.
Awal berdirinya, hanya 40 anak TKI yang mendaftar di SD Tunas Harapan Bangsa dan setelah berjalan satu tahun, sekolah tersebut telah memiliki 151 murid.
"Jadi, pendaftaran awal hanya 40 anak dan awalnya mereka semua ditempatkan di kelas satu, Namun setelah tiga bulan, kami melakukan tes dan jika murid tersebut dianggap mampu maka akan dinaikkan ke kelas dua kemudian tiga bulan berikutnya kami lakukan tes lagi sehingga saat ini tersisa 20 muris pendaftar pertama yang masih menduduki kelas satu, sementara 20 lainnya ada yang sudah duduk di kelas dua hingga empat" katanya.
"Sistem yang kami terapkan sama dengan kelas `akselerasi` di Indonesia sebab banyak diantara mereka yang sudah diatas umur tujuh tahun baru menndaftar," kata Amiruddin Abdullah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
Siang itu, Konsul Muda, Konsulat Jenderal RI di Sabah Joenys Duana Sirait mengunjungi SD Tunas Harapan Bangsa di wilayah Papar, Sabah, Malaysia.
Untuk mencapai sekolah yang terletak di salah satu kabupaten negara bagian Malaysia itu, perjalanan harus ditempuh selama kurang lebih dua jam menggunakan mobil dari Kota Kinabalu atau ibukota Sabah.
Sepanjang perjalanan, juga terlihat hamparan sawah dan rumah-rumah warga, layaknya suasana kehidupan dan pemukiman di Indonesia.
Sesampai di SD Tunas Harapan Bangsa, sejumlah anak SD, staf pengajar Community Learning Center (CLC) bahkan beberapa TKI yang merupakan orang tua murid ikut menyambut kedatangan staf Konjen RI dan wartawan.
Di halaman sekolah, terlihat bendera Malaysia berkibar, pada sisi dinding sekolah yang disewa RM500 atau setara Rp1.500.000 ribu per bulan itu terlihat gambar bendera Indonesia dan Malaysia serta tulisan butir Pancasila.
Walaupun terdapat bendera Malaysia, namun nuansa nasionalisme di sekolah yang jauh dari wilayah Indonesia itu terasa cukup menggelora.
Terlebih ketika masuk ke salah satu ruang kelas, para murid yang tetap berstatus Warga Negara Indonesia walaupun lahir di Malaysia itu terlihat antusias mengikuti mata pelajaran, sesuai kurikulum bagi SD di negara kita sendiri.
"Ayo, siapa yang bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya," kata Guru Kelas III SD Tunas Harapan Bangsa, Maliati Toding, yang langsung disambut acungan tangan seluruh muridnya.
Salah satu anak TKI itu kemudian maju dan langsung menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia tersebut.
Dengan penuh khidmat, murid Kelas III itu mengumandangkan bait demi bait lagu Indonesia Raya, tanpa sedikitpun `keseleo` padahal jika berbicara dialek Indonesia mereka seolah sudah hilang.
"Sejak masuk sekolah ini, kami memang menanamkan rasa cinta tanah air agar mereka tetap memiliki nasionalisme walaupun lahir dan tinggal di Malaysia," ungkap Meliana Toding.
Bukan hanya lagu Indonesia Raya, lagu-lagu perjuangan pun mereka bawakan dengan fasih.
"Kami tidak ingin mereka kehilangan jadi diri sebagai anak Indonesia, walaupun anak-anak ini harus hidup di negara lain hanya karena mengikuti orang tua mereka mencari nafkah di Malaysia. Kami tetap mengajarkan, bagaimana mencintai Indonesia dan mengenalkan kepada anak-anak TKI itu lagu-lagu nasionalisme," kata Meliana Toding.
Minim Sarana
Rasa nasionalisme anak-anak TKI yang tidak lekang oleh batas negara itu ternyata tidak diiringi fasilitas yang memadai dalam menempuh pendidikan di sekolah program "Community Learning Center".
Ruangan belajar yang mereka tempati terlihat hanya disekat dinding kayu, sementara kursi dan meja juga masih terlihat sangat sederhana.
"Kami sangat membutuhkan perhatian pemerintah Indonesia sebab sarana dan prasarana yang ada di sekolah ini masih belum memdai, khususnya buku-buku pelajaran," ungkap Pembina Guru SD Tunas Harapan Bangsa, Amiruddin Abdullah.
Walaupun berada jauh dari Indonesia, namun mata pelajaran yang diterapkan di SD Tunas Harapan Bangsa itu tetap menggunakan silabus sesuai kurikulum yang berlaku di Inddonesia.
"Kami tetap menggunakan kurikulum Indonesia sehingga kami berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan juga memperhatikan sekolah ini walaupun berada jauh dari wilayan Indonesia," kata alumni SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dari Nusa Tenggara Timur tersebut.
Sekolah bagi anak TKI yang baru berdiri 27 Maret 2011 itu saat ini telah menampung 151 murid mulai kelas satu hingga kelas empat.
Namun, sistem rekruitmen murid SD program CLC itu kata Amiruddin Abdullah sedikit berbeda dengan penerimaan murid di Indonesia.
Awal berdirinya, hanya 40 anak TKI yang mendaftar di SD Tunas Harapan Bangsa dan setelah berjalan satu tahun, sekolah tersebut telah memiliki 151 murid.
"Jadi, pendaftaran awal hanya 40 anak dan awalnya mereka semua ditempatkan di kelas satu, Namun setelah tiga bulan, kami melakukan tes dan jika murid tersebut dianggap mampu maka akan dinaikkan ke kelas dua kemudian tiga bulan berikutnya kami lakukan tes lagi sehingga saat ini tersisa 20 muris pendaftar pertama yang masih menduduki kelas satu, sementara 20 lainnya ada yang sudah duduk di kelas dua hingga empat" katanya.
"Sistem yang kami terapkan sama dengan kelas `akselerasi` di Indonesia sebab banyak diantara mereka yang sudah diatas umur tujuh tahun baru menndaftar," kata Amiruddin Abdullah.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012