Jakarta (ANTARA News) - Ahli lahan gambut dari Univeristas Gadjah Mada
Azwar Maas mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut yang
terjadi di Indonesia akibat kebijakan yang keliru pada pemerintahan dua
dekade lalu.
Dalam Diskusi Publik memperingati Satu Tahun Sungai Tohor, Riau,
yang bertajuk Melindungi Gambut untuk Masa Depan Indonesia di Jakarta,
Selasa, Dia mengatakan, kebijakan keliru tersebut seperti alih fungsi
hutan menjadi perkebunan sejak 1970-an dan kebijakan pembukaan sejuta
hektare lahan gambut untuk persawahan pada 1995.
Hal itu telah menyebabkan terjadinya deforestasi lahan dan hutan
gambut Indonesia serta keringnya gambut akibat pembuatan kanal.
Kebakaran lahan gambut dan hutan telah membuat Indonesia menjadi
negara penghasil emisi dunia, 80 persen sumber emisi berasal dari
kerusakan hutan, terutama kebakaran lahan gambut dan hutan. Sedangkan di
dunia, kerusakan hutan merupakan penyebab 20 persen emisi gas rumah
kaca (GRK) yang memicu perubahan iklim ekstrim.
Indonesia diperkirakan memiliki luas gambut mencapai 20,6 juta
hektare (ha) atau sekitar 10,8 persen dari luas daratannya. Luas lahan
gambut di Indonesia terluas ketiga di dunia dan sebagian besar berada di
bagian pesisir dataran rendah Pulau Sumatra, Kalimantan dan Papua.
Ia mengatakan, tata kelola gambut berbasis satuan hidrologis menjadi
penting. Model percontohan di Pulau Tebing Tinggi Timur Kabupaten
Meranti, Riau, yang melibatkan pemerintah, perusahaan dan masyarakat
secara sinambung dan sinergis sehingga ke depan gambut ini tetap lembab
atau basah sepanjang tahun dan terhindar dari kebakaran dapat dilakukan.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah mengatakan, kerusakan
fungsi ekosistem gambut terjadi akibat dari pengelolaan lahan yang salah
dengan pemilihan komoditas bisnis yang tidak sesuai dengan
karakteristik lahan gambut.
"Mengingat besarnya kerugian akibat kerusakan fungsi ekosistem
gambut tersebut, pemerintah berkomitmen untuk melakukan upaya-upaya
pencegahan, rehabilitasi dan pemulihan fungsi ekosistem gambut sampai
pada kondisi alaminya," ujar dia.
Pendiri Yayasan Perspektif Baru Wimar Witoelar mengatakan satu tahun
setelah Sungai Tohor membuktikan sinergi segitiga antara "civil
society", ilmuwan dan pemerintahan.
"Bersama membentuk perspektif yang saling melengkapi dalam
memberdayakan masyarakat, menyelamatkan hutan dan melakukan transformasi
menghadapi perubahan iklim," katanya. (*)
Ahli Gambut: Kebakaran Hutan akibat Salah Kebijakan
Rabu, 18 November 2015 11:26 WIB