Jakarta (ANTARA) - Segala ikhtiar menjaga dan memulihkan kesehatan selama masa pandemi COVID-19 saat ini banyak dilakukan masyarakat, bagi para penyintas maupun publik lainnya.
Ancaman dan risiko tertular virus corona jenis baru penyebab COVID-19, yang dalam perkembangannya telah terjadi mutasi virus, kini mengintai siapa saja, terlebih bila kondisi kesehatannya sedang menurun.
Dari beragam kesaksikan para penyintas, yang kemudian dinyatakan sembuh dari COVID-19, tidak sedikit yang menceritakan bagaimana ramuan tumbuhan tradisional -- yang kini populer dengan sebutan herbal -- bisa memulihkan daya tahan tubuhnya.
Secara umum, herbal, pengertiannya adalah tanaman atau tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau nilai lebih dalam pengobatan.
Ikhwal pemanfaatan tumbuhan herbal itu mendapat penguatan dari Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Bambang Wibowo, melalui Surat Edaran (SE) Nomor: HK.02.02/IV.2243/2020 tertanggal 19 Mei terkait Pemanfaatan Obat Tradisional untuk Pemeliharaan Kesehatan, Pencegahan Penyakit dan Perawatan Kesehatan.
Dalam SE itu dijelaskan enam ramuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh, yakni ramuan pertama berbahan jahe merah, jeruk nipis, kayu manis, gula merah dan air. Lalu, ramuan dua, bahannya adalah kunyit, lengkuas, jeruk nipis, air, gula merah. Ramuan tiga, pegagan, jahe merah, temulawak, air, gula aren.
Ramuan empat, kencur, beras, daun pandan, gula aren, air. Kemudian, ramuan lima terdiri atas daun kelor (dua genggam) dan air (dua cangkir), di mana cara pembuatannya merebus air sampai mendidih, memasukkan daun kelor, lalu matikan api dan saring sesudah dingin. Untuk pemakaiannya, dewasa dua kali sehari satu cangkir, dan anak-anak dua kali sehari setengah cangkir.
Sedangkan ramuan enam adalah bawang putih tunggal (lanang), air hangat dan madu.
Tentu saja, jika dirujuk pada sejarah panjang, pemanfaatan tumbuhan tradisionil seperti itu adalah kearifan-kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang dulu, meski kini sudah banyak yang dikelola oleh pelaku industri skala besar.
Pemanfaatan tumbuhan tersebut kini mencuat lagi, tatkala sedang terjadi pandemi.
Obat dari hutan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya saat memperingati Hari Hutan Internasional (HHI) 2021 menyatakan hutan harus dijaga karena dapat memberikan manfaat kesehatan bagi semua orang.
Hutan dapat memberikan udara segar, makanan bergizi, air bersih dan ruang rekreasi.
"Di negara maju, hingga 25 persen dari semua obat-obatan adalah nabati, sedangkan di negara berkembang kontribusinya mencapai 80 persen," katanya.
Ia menjelaskan KLHK telah menyampaikan hasil-hasil penelitian yang bekerja sama dengan masyarakat sekitar kawasan hutan dalam melakukan bioprospecting atau pemanfaatan sumber daya genetik yang mendukung kebutuhan pangan dan farmasi.
Penelitian tersebut, beberapa di antaranya adalah penelitian Candidaspongia sp. di Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Kupang untuk anti-kanker, penelitian mikroba yang berguna bagi tanaman di Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai, yaitu Cendawan (Hursutella sp dan Lecanicillium sp), isolat bakteri pemacu pertumbuhan (C71, AKBr1, dan AKS), dan isolat bakteri antifrost (PGMJ1 dan A1).
Apa yang disampaikan Menteri LHK itu divalidasi oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ervizal A M Zuhud, yang mengemukakan terdapat ratusan spesies tumbuhan obat di hutan yang digunakan berbagai etnis di Indonesia untuk mengobati penyakit.
Masyarakat sekitar hutan memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan dan hewan dari hutan untuk memelihara kesehatan dan pengobatan berbagai macam penyakit
Sejumlah hasil penelitian etnobotani Indonesia yang dilakukan oleh Prof Amzu -- sapaan akrab Ervizal A M Zuhud -- menemukan terdapat ratusan spesies tumbuhan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit.
Rinciannya, 78 spesies tumbuhan obat digunakan oleh 34 etnis untuk mengobati penyakit malaria, 133 spesies tumbuhan obat digunakan oleh 30 etnis untuk mengobati penyakit demam, 110 spesies tumbuhan obat digunakan oleh 30 etnis untuk mengobati penyakit gangguan pencernaan, dan 98 spesies tumbuhan obat digunakan oleh 27 etnis untuk mengobati penyakit kulit.
Secara umum dapat diketahui bahwa 82 persen dari total spesies tumbuhan obat hidup di ekosistem hutan tropika dataran rendah pada ketinggian di bawah 1.000 meter dari permukaan laut.
Umumnya setiap tipe ekosistem hutan mempunyai spesies tumbuhan spesifik yang mencirikan setiap tipe ekosistem tersebut.
Dalam setiap unit kawasan taman nasional ditemukan berbagai spesies tumbuhan obat untuk mengobati 25 kelompok penyakit yang diderita masyarakat.
Ia menyimpulkan bahwa di setiap kawasan taman nasional yang merupakan ekosistem hutan hujan tropika tersedia bahan baku obat untuk berbagai macam penyakit dan telah terbangun sistem pengetahuan lokal berupa etno-wanafarma (ethno-forest pharmacy) secara turun-temurun.
Namun, kata Amzu, saat ini sangat dikhawatirkan telah terjadi kepunahan sebagian besar pengetahuan masyarakat lokal itu, karena terjadinya intervensi global yang tidak terkendali.
Potensi sumber obat yang dimiliki Indonesia ini sangat bernilai untuk mendukung kedaulatan Indonesia, karena dewasa ini masyarakat global sedang gencar mengampanyekan back to nature, dan tren tersebut menjadi peluang Indonesia untuk mengembangkan jamu dan produk obat tradisional lainnya yang dimiliki oleh bangsa ini.
Restorasi hutan
Mengingat begitu berharganya tumbuhan obat tersebut Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia ad interim Richard Trenchard menyatakan diperlukan restorasi atas berbagai kerusakan pada hutan yang ada.
"Kerusakan hutan merusak kesehatan lingkungan dan manusia serta meningkatkan emisi karbon dan mengurangi keanekaragaman hayati. Kita harus ingat bahwa hampir sepertiga dari penyakit menular baru terkait dengan perubahan penggunaan lahan, seperti penggundulan hutan," katanya dalam pernyataan pada Hari Hutan Internasional pada 21 Maret 2021.
Ia menyebut bahwa setiap pohon sangat berarti. Karena itu, proyek penanaman dan restorasi skala kecil dapat berdampak besar. Tidak hanya di daerah perdesaan, penghijauan kota menciptakan udara yang lebih bersih dan ruang yang lebih indah serta memberikan manfaat besar bagi kesehatan mental dan fisik penduduk perkotaan.
Berinvestasi dalam restorasi hutan dan lahan akan membantu memulihkan kesehatan manusia, komunitas, dan lingkungan.
Restorasi menawarkan prospek untuk mengembalikan pohon dan hutan ke lanskap hutan yang kritis dan terdegradasi dalam skala besar, sehingga meningkatkan ketahanan ekologi dan produktivitas.
Dengan itu, masyarakat bisa pulih dari krisis kesehatan, lingkungan, dan ekonomi di planet bumi.
Pada akhirnya, dengan kemanfaatan yang begitu berharga itu, ajakan dan seruan untuk menjaga hutan, termasuk menyelamatkan tumbuhan obat di dalamnya, harus terus menerus dicuatkan dan digencarkan, dengan satu tujuan menjaga kekayaan sumber daya hayati untuk kesehatan di masa depan yang panjang.
Menjaga kesehatan dengan tumbuhan tradisional saat pandemi
Senin, 28 Juni 2021 5:18 WIB