Pakar ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Kalimantan Timur, memprediksi ekonomi provinsi ini pada 2021 tumbuh di kisaran 2 hingga 2,5 persen.
Menurut Ketua Pusat Kajian Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah (PKP2KD) Unmul Samarinda Dr Aji Sofyan Effendi di Samarinda, Minggu, ada beberapa indikator penyebab pertumbuhan ekonomi Kaltim tahun depan di kisaran itu.
"Indikator pertama adalah hingga pertengahan Desember ini pandemi COVID-19 belum melandai, justru mengalami kenaikan sehingga tahun depan belum ada jaminan pandemi hilang," katanya.
Kedua, sampai hari ini struktur perekonomian Kaltim masih mengandalkan migas dan batu bara, padahal penjualan batu bara sudah mengalami degradasi signifikan di pasar internasional, begitu juga dengan harga ICP (Indonesia Crude Price) migas yang melemah.
"Ketiga, prime mover (penggerak utama) yang diharapkan dari kawasan industri, seperti Kawasan Industri Maloy di Kutai Timur dan Kawasan Industri Kariangau di Balikpapan, belum memberikan efek turunan yang signifikan," tutur Aji yang juga Tenaga Ahli Bupati Penajam Paser Utara ini.
Indikator keempat adalah sektor perkebunan kelapa sawit pun belum mampu mendongkrak ekonomi Kaltim, meski diakui pembangunan B100 Wilmar di Teluk Bontang merupakan langkah berani untuk memulai hilirisasi kelapa sawit.
Kelima, produk turunan crude palm oil (CPO) di Jepang telah dijadikan energi pembangkit yang harganya jauh lebih murah ketimbang LNG, karena selain emisinya rendah, dari sisi pemakainnya juga rendah risiko sehingga permintaan migas dari Kaltim akan berkurang.
Keenam, ada potensi Eropa akan membuka kran impor CPO, sehingga CPO asal Kaltim akan kebanjiran pesanan tidak hanya dari China, namun sayangnya lobi pemerintah masih kurang terhadap peraturan ketat Eropa akibat isu lingkungan.
"Ketujuh, pada Maret 2021, PT Badak LNG tidak lagi memiliki kontrak penjualan. Ini berarti LNG Badak mengalami fase ‘lock out’ yang berpengaruh terhadap dana perimbangan dari APBN, padahal tahun 2021 APBD Kaltim dipatok Rp9 triliun," ucapnya.
Ia juga menyatakan pertumbuhan ekonomi Kaltim awal 2021 akan tergantung dari triwulan IV-2020. Jika triwulan IV ini pertumbuhannya tetap negatif seperti triwulan sebelumnya yang minus 4,61 persen, maka ada kecenderungan di triwulan I-2021 juga negatif, meski lebih kecil negatifnya.
Di sisi lain, lanjutnya, berdasarkan data BPS, angka kemiskinan Kaltim Maret 2020 sebesar 6,10 persen, kemudian tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2020 6,87 persen, sehingga ia memprediksi angka kemiskinan dan TPT Kaltim 2021 masing-masing 7-7,5 persen dan 7-7,8 persen. *
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020
Menurut Ketua Pusat Kajian Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah (PKP2KD) Unmul Samarinda Dr Aji Sofyan Effendi di Samarinda, Minggu, ada beberapa indikator penyebab pertumbuhan ekonomi Kaltim tahun depan di kisaran itu.
"Indikator pertama adalah hingga pertengahan Desember ini pandemi COVID-19 belum melandai, justru mengalami kenaikan sehingga tahun depan belum ada jaminan pandemi hilang," katanya.
Kedua, sampai hari ini struktur perekonomian Kaltim masih mengandalkan migas dan batu bara, padahal penjualan batu bara sudah mengalami degradasi signifikan di pasar internasional, begitu juga dengan harga ICP (Indonesia Crude Price) migas yang melemah.
"Ketiga, prime mover (penggerak utama) yang diharapkan dari kawasan industri, seperti Kawasan Industri Maloy di Kutai Timur dan Kawasan Industri Kariangau di Balikpapan, belum memberikan efek turunan yang signifikan," tutur Aji yang juga Tenaga Ahli Bupati Penajam Paser Utara ini.
Indikator keempat adalah sektor perkebunan kelapa sawit pun belum mampu mendongkrak ekonomi Kaltim, meski diakui pembangunan B100 Wilmar di Teluk Bontang merupakan langkah berani untuk memulai hilirisasi kelapa sawit.
Kelima, produk turunan crude palm oil (CPO) di Jepang telah dijadikan energi pembangkit yang harganya jauh lebih murah ketimbang LNG, karena selain emisinya rendah, dari sisi pemakainnya juga rendah risiko sehingga permintaan migas dari Kaltim akan berkurang.
Keenam, ada potensi Eropa akan membuka kran impor CPO, sehingga CPO asal Kaltim akan kebanjiran pesanan tidak hanya dari China, namun sayangnya lobi pemerintah masih kurang terhadap peraturan ketat Eropa akibat isu lingkungan.
"Ketujuh, pada Maret 2021, PT Badak LNG tidak lagi memiliki kontrak penjualan. Ini berarti LNG Badak mengalami fase ‘lock out’ yang berpengaruh terhadap dana perimbangan dari APBN, padahal tahun 2021 APBD Kaltim dipatok Rp9 triliun," ucapnya.
Ia juga menyatakan pertumbuhan ekonomi Kaltim awal 2021 akan tergantung dari triwulan IV-2020. Jika triwulan IV ini pertumbuhannya tetap negatif seperti triwulan sebelumnya yang minus 4,61 persen, maka ada kecenderungan di triwulan I-2021 juga negatif, meski lebih kecil negatifnya.
Di sisi lain, lanjutnya, berdasarkan data BPS, angka kemiskinan Kaltim Maret 2020 sebesar 6,10 persen, kemudian tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2020 6,87 persen, sehingga ia memprediksi angka kemiskinan dan TPT Kaltim 2021 masing-masing 7-7,5 persen dan 7-7,8 persen. *
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020