Pemerhati sungai yang tergabung dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda, menanam pohon di Keinan Kanopi, garis sempadan sungai yang hutannya habis dibabat kontraktor menggunakan alat berat, dua hari lalu



"Sambil melakukan upaya lain, sekarang yang bisa kita lakukan adalah kembali menanam bibit pohon khas sungai. Kanopi ini satu-satunya hutan dan keindahan yang tersisa di SKM, sayangnya kini musnah," ujar Ketua GMSS-SKM Samarinda, Misman ditemui saat menanam di area Keinan Kanopi, Ahad.


Ketika d
itanya apa upaya lain yang akan dilakukan, ia tidak mau menyebutkan. Dia justru mengalihkan pertanyaan dengan meminta beberapa anggota GMSS-SKM yang ikut menanam saat itu, menggeser bibit ke dekatnya karena dia juga akan menanam lagi.


Berdasarkan penelusuran LPSE Kementerian PUPR, pekerjaan yang berdampak pada pembabatan hutan SKM ini dengan nama tender Perkuatan Tebing Sungai Karang Mumus Samarinda yang selesai dilelang pada 3 Desember 2019.

Proyek ini ada di satuan kerja pelaksanaan jaringan sumber air WS Mahakam, WS Berau-Kelai Provinsi Kaltim.

Dalam proyek yang diikuti 90 peserta ini kemudian dimenangkan oleh PT
Bindamara Bandealit, Perumahan Sempaja Lestari Samarinda dengan penawaran senilai Rp14,73 miliar dari pagu Rp16,77 miliar.

Menurut Misman, penguatan tebing sungai melalui penurapan merupakan cara terstruktur dan legal untuk merusak ekologi, sehingga perusakan ekologis sama saja dengan merusak kehidupan manusia dan makhluk Tuhan lainnya yang hidup di sungai maupun di DAS Karang Mumus.

Ia bersama anggota GMSS-SKM sedih ketika mendengar kabar bahwa garis sempadan yang ditumbuhi aneka pohon besar sejak puluhan tahun, bahkan menjadi kanopi di kawasan hulu itu telah musnah diobrak-abrik alat berat.

Pemerintah sedang menggalakkan penanaman pohon, namun di sisi lain, kontraktor justru menebang pohon yang sudah puluhan tahun, bahkan ratusan tahun hidup di bantaran sungai, sementara keberadaan pohon itu sama sekali tidak mengganggu karena pohon-pohon ini tumbuh di garis sempadan atau bibir sungai, bukan di lahan masyarakat.

Garis sempadan, kata Misman, merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan ruang milik sungai sehingga tidak boleh diganggu oleh siapapun, karena ruang ini bukan milik perorangan atau milik pemerintah, tapi melekat pada hak sungai.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37/2012 tentang Pengelolaan DAS yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.59/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Penetapan Batas DAS, maka DAS memiliki makna yang jelas sehingga tidak boleh seorang pun yang mengganggu.

Dalam peraturan itu disebutkan, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air.

Air tersebut berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

"Sedangkan pengelolaan DAS adalah upaya mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan," kata Misman.
 

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020