Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim mengungkap jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di provinsi tersebut cukup tinggi yang mencapai 1.836 kasus berdasarkan data aplikasi Simfoni sejak tahun 2017 hingga 2019.


"Data sebanyak itu berdasarkan dari laporan yang dihimpun dalam aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni)," kata Kepala DKP3A Kaltim, Halda Arsyad di Samarinda, Rabu.

Dari jumlah kekerasan yang mencapai 1.836 kasus itu, Kota Samarinda menempati posisi tertinggi, yakni sebanyak 877 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam tiga tahun terakhir.

Ia menuturkan bahwa jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di Kaltim setiap tahunnya cukup fluktuatif, seperti pada 2016 kasusnya tinggi, namun di tahun 2017 mengalami penurunan, tahun 2018 naik lagi dan 2019 kembali turun.

Fluktuatif ini, lanjut Halda, bukan berarti kasus kekerasannya turun atau naik, namun ada beberapa sebab terhadap data-data Simfoni yang menyebabkan pencatatannya fluktuatif.

"Fluktuatif terjadi karena kasus kekerasan ini seperti fenomena gunung es, yakni kejadian yang dilaporkan tidak sebanding dengan kenyataan yang ada, maka saya harap masyarakat dan teman-teman aktivis dapat membantu karena dalam penanganan kekerasan tidak hanya negara yang harus hadir, tapi juga bersama semua elemen masyarakat," tuturnya.

Ia melanjutkan, mencermati arahan Presiden Joko Widodo tentang reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus dan data yang dihimpun aplikasi Simfoni, maka khusus untuk penanganan di Kota Samarinda diperlukan Pelatihan Manajemen Penanganan Kasus (PMPK) seperti yang ia gelar sehari sebelumnya, agar bisa meminimalisir kekerasan.

"Pak presiden menekankan, sedikitnya ada tiga hal dalam penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak, pertama adalah memprioritaskan pencegahan kekerasan dengan melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat," ucapnya.

Kedua adalah membenahi sistem pelaporan dan layanan pengaduan kekerasan (SPLPK), agar masyarakat umum mengetahui kemana harus melapor, mengontak nomor layanan yang mudah diakses, dan mendapat respon cepat.

Ketiga adalah perlu dilakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus kekerasan agar dapat diproses cepat, terintegrasi, dan komprehensif.

"Bila perlu dengan pola One Stop Service (OSS), yakni mulai dari layanan pengaduan, pendampingan, hingga pada perolehan layanan kesehatan bagi korban," ujar Halda lagi.

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020