Kelangkaan solar subsidi di berbagai daerah akhir-akhir ini termasuk di Provinsi Kalimantan Timur yang terlihay dari antrean panjang kendaraan angkutan di setiap SPBU, membuktikan Kementerian Perhubungan dan kementerian terkait tidak memahami atau tidak peduli terhadap sektor transportasi dan logistik, terutama angkutan darat.


Padahal angkutan logistik darat memegang peranan sangat dominan dalam sistem transportasi nasional yakni lebih dari 85%, sehingga kelangkaan solar subsidi pasti berdampak terhadap perekonomian nasional.

"Saya sangat prihatin kelangkaan solar berlarut-larut. Lebih prihatin lagi, kementerian terkait seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, ESDM, hingga Kementerian Keuangan tidak bersuara, seakan tidak tahu atau tidak mau tahu dengan kesulitan yang sedang dialami angkutan darat," ungkap Bambang Haryo Soekartono, praktisi dan pemerhati transportasi logistik kepada pers, Minggu (17/11).

Dia mengatakan, angkutan darat merupakan urat nadi perekonomian, bukan hanya perannya yang sangat dominan melainkan juga konektivitasnya sangat erat dengan moda angkutan lain, baik laut, kerata api, maupun udara. 

Semua moda lain bergantung pada angkutan darat untuk mengirim barang dari hulu hingga hilir atau konsumen.

"Multiplier effect akibat kelangkaan BBM sangat luas, melambatkan ekonomi karena logistik terhambat, sehingga harga-harga akan naik dan inflasi meningkat. Ketidakpedulian kementerian itu tidak mendukung upaya Presiden Joko Widodo untuk menggenjot ekonomi," kata mantan anggota DPR RI 2014-2019.

Menurut Bambang Haryo, Kemenhub sebagai instansi yang paling bertanggung jawab terhadap konektivitas seharusnya paling peduli berada di depan membantu mengatasi kelangkaan solar subsidi. 

"Kemenhub sangat cepat merespons isu-isu populer seperti skuter listrik, dibandingkan dengan isu logistik. Persoalan skuter listrik serahkan saja kepada pemda atau Dishub, Kemenhub perhatikan isu-isu besar," kata mantan Wakil Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu.

Bambang Haryo mengingatkan, Indonesia sedang berpacu dengan waktu untuk menghindari ancaman resesi dalam waktu dekat. Pemerintah tidak boleh bekerja santai dan mengklaim bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja.

Kelangkaan solar subsidi yang berlarut-larut juga memberikan kesan negara tidak hadir, terutama untuk memberantas mafia BBM subsidi sehingga kuota solar selalu jebol. 

Menurut dia, sudah menjadi rahasia umum bahwa solar subsidi mengalir ke industri melalui para spekulan BBM yang sering disebut pengerit atau pelangsir. 

Dia menduga, keberadaan para pengerit atau pelangsir yang bekerja sama dengan oknum SPBU itu diketahui oleh Pertamina dan penegak hukum, tetapi seakan ditoleransi dan dibiarkan sehingga kelangkaan solar terus terjadi.

"Hampir 50% dari kuota solar subsidi itu diperkirakan menguap ke industri di daerah-daerah, sedikit saja yang tersisa untuk angkutan logistik dan angkutan umum. Pemerintah diminta serius dan tegas memberantas kebocoran BBM yang masif, karena itu kita minta BPK, KPK, dan Polri turun tangan,” tegas Bambang Haryo.

Kelangkaan solar seharusnya tidak terjadi ketika ekonomi sedang menurun seperti sekarang. Pemerintah atas persetujuan DPR RI menetapkan kuota solar subsidi 14,5 juta kiloliter pada 2019, sementara pertumbuhan ekonomi sekitar 5%. 

Sebagai perbandingan, kuota solar subsidi pada 2010 hanya 11,2 juta KL padahal pertumbuhan ekonomi saat itu 6,1%.

Bambang Haryo mendesak pemerintah tidak berdiam diri dan segera mengatasi kelangkaan solar subsidi secara tuntas. Jika tidak, kepercayaan investor terhadap Indonesia akan menurun mengingat masalah seperti ini tidak terjadi di negara ASEAN lainnya.

"Indonesia akan makin tertinggal dari negara lain kalau masalah ini tidak segera diatasi. Kita minta perhatian dari Presiden Jokowi, beliau harus menegur menteri-menterinya," tukas Bambang Haryo.

Pewarta: AHM

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019