Program penurunan emisi berupa Forest Carbon Fund Facility (FCPF)-Carbon Fund yang dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mulai tahun 2020 hingga 2024, diperkirakan membutuhkan anggaran senilai 97,03 juta dolar AS.
"Jika penurunan emisi ini berhasil, maka daerah kita akan memperoleh insentif sebesar 110 juta dolar AS dari Bank Dunia," ujar narasumber dari Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Provinsi Kaltim Akhmad Wijaya saat Sosialisasi Program Kampung Iklim (Proklim) di Ujoh Bilang, Kamis.
Menurutnya, biaya yang diestimasi senilai 97,03 juta dolar AS itu berasal dari APBN melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari APBD melalui instansi terkait, dan dari Dana Desa (DD) maupun Alokasi Dana Desa (ADD).
Sedangkan insentif dari Bank Dunia yang sebesar 110 juta dolar AS itu dengan maksimal menghasilkan 22 juta ton CO2e, dari FCPF-Carbon Fund Bank Dunia yang berdasarkan penghitungan pembayaran berbasis kinerja melalui pengukuran pengurangan emisi yang dilakukan.
Menurut Jaya, panggilan akrabnya, pembagian insentif ini diperoleh dari hitungan berdasarkan tiga hal, yakni dari sisi tanggung jawab sebesar 25 persen, berdasarkan tingkat kinerja penurunan emisi sebesar 65 persen, dan berupa penghargaan sebesar 10 persen.
Dalam kesempatan itu ia juga mengatakan, penilaian potensi dampak dari kegiatan ini akan menunjukkan bahwa program penurunan emisi memiliki setidaknya berdampak pada dua hal, yakni dampak lingkungan dan dampak sosial yang potensial.
"Pada dampak utama lingkungan, berupa pengembangan kerangka kerja pengelolaan keanekaragaman hayati untuk program, atau inklusi pengelolaan keanekaragaman hayati pada Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) atau manfaat nonkarbon," katanya.
Kemudian untuk mengatasi risiko pembatasan akses akibat area yang dilindungi dan lokasi KBKT, untuk pengenalan pengelolaan hutan dan perkebunan yang berkelanjutan, guna memastikan praktik terbaik, termasuk mengoptimalkan penggunaan pestisida organik maupun biodegradable.
Termasuk risiko deforestasi dan degradasi akibat mata pencaharian alternatif yang diberikan dari program penurunan emisi, seperti aquaculture alias pertanian organisme akuatik.
Sedangkan pertimbangan sosial, lanjut Jaya, dapat berupa program pengembangan ekonomi masyarakat untuk mengganti keterbatasan akses terhadap sumber daya hutan, kemudian penguatan mekanisme penanganan keluhan masyarakat.
"Dampak sosial lainnya adalah untuk memperkuat database pemetaan sosial yang diperbarui secara teratur untuk menggambarkan dinamika isu sosial, pemantauan pelaksanaan program perhutanan sosial, dan untuk pengembangan rencana aksi keadilan gender dalam program penurunan emisi," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019
"Jika penurunan emisi ini berhasil, maka daerah kita akan memperoleh insentif sebesar 110 juta dolar AS dari Bank Dunia," ujar narasumber dari Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Provinsi Kaltim Akhmad Wijaya saat Sosialisasi Program Kampung Iklim (Proklim) di Ujoh Bilang, Kamis.
Menurutnya, biaya yang diestimasi senilai 97,03 juta dolar AS itu berasal dari APBN melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dari APBD melalui instansi terkait, dan dari Dana Desa (DD) maupun Alokasi Dana Desa (ADD).
Sedangkan insentif dari Bank Dunia yang sebesar 110 juta dolar AS itu dengan maksimal menghasilkan 22 juta ton CO2e, dari FCPF-Carbon Fund Bank Dunia yang berdasarkan penghitungan pembayaran berbasis kinerja melalui pengukuran pengurangan emisi yang dilakukan.
Menurut Jaya, panggilan akrabnya, pembagian insentif ini diperoleh dari hitungan berdasarkan tiga hal, yakni dari sisi tanggung jawab sebesar 25 persen, berdasarkan tingkat kinerja penurunan emisi sebesar 65 persen, dan berupa penghargaan sebesar 10 persen.
Dalam kesempatan itu ia juga mengatakan, penilaian potensi dampak dari kegiatan ini akan menunjukkan bahwa program penurunan emisi memiliki setidaknya berdampak pada dua hal, yakni dampak lingkungan dan dampak sosial yang potensial.
"Pada dampak utama lingkungan, berupa pengembangan kerangka kerja pengelolaan keanekaragaman hayati untuk program, atau inklusi pengelolaan keanekaragaman hayati pada Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) atau manfaat nonkarbon," katanya.
Kemudian untuk mengatasi risiko pembatasan akses akibat area yang dilindungi dan lokasi KBKT, untuk pengenalan pengelolaan hutan dan perkebunan yang berkelanjutan, guna memastikan praktik terbaik, termasuk mengoptimalkan penggunaan pestisida organik maupun biodegradable.
Termasuk risiko deforestasi dan degradasi akibat mata pencaharian alternatif yang diberikan dari program penurunan emisi, seperti aquaculture alias pertanian organisme akuatik.
Sedangkan pertimbangan sosial, lanjut Jaya, dapat berupa program pengembangan ekonomi masyarakat untuk mengganti keterbatasan akses terhadap sumber daya hutan, kemudian penguatan mekanisme penanganan keluhan masyarakat.
"Dampak sosial lainnya adalah untuk memperkuat database pemetaan sosial yang diperbarui secara teratur untuk menggambarkan dinamika isu sosial, pemantauan pelaksanaan program perhutanan sosial, dan untuk pengembangan rencana aksi keadilan gender dalam program penurunan emisi," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019