Pegiat sungai mempertanyakan makna peringatan Hari Air Sedunia yang dilakukan oleh lembaga maupun pemerintah yang diwakili intansi teknis baik di tingkat daerah maupun nasional, karena peringatannya dinilai belum menyentuh ke subtansi.

 

“Banyak yang bersukaria memperingati World Water Day tiap 22 Maret, bahkan sebelum dan sesudah tanggal itu pun rangkaian peringatannya masih ada, tapi semua kegiatannya masih bersifat seremonial,” ujar Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda, Misman di Samarinda, Senin.

Seremonial yang dimaksud Misman adalah kegiatan memperhatikan sumber air hanya sebatas dilakukan di tanggal peringatannya atau beberapa hari dalam rangkaian peringatan, namun begitu acara peringatan selesai lantas dilupakan sehingga antara obyek dan subyeknya tidak saling bersentuhan lagi.

Contoh ketika peringatan hari air dilakukan kegiatan memungut sampah di sungai, kemudian ada lembaga yang berama-ramai menanam pohon di pinggir sungai agar kelak dapat menjadi sumber air bersih dari hasil filterisasi alami oleh akar pohon yang baru ditanam.

Namun, lanjutnya, kegiatannya hanya sebatas menanam, tidak ada tindak lanjut perawatan. Padahal pohon yang ditanam tanpa dilakukan perawatan seperti disiram dan dijaga, tentu tingkat hidupnya bisa dipastikan di bawah 50 persen.

Selain itu, ruang yang dilakukan penanaman pun bisa jadi akan diklaim orang bahwa itu lahan milik masyarakat meski penamamannya dilakukan di ruang sungai, karena rata-rata ruang sungai dikusasi masyarakat sehingga suatu saat pohon itu ditebang jika tumbuh.

Untuk mengatasi ini, lanjutnya, maka pemerintah harus membebaskan lahan di ruang sungai yang dikuasi masyarakat, karena hingga kini pengupasan lahan di garis sempadan maupun di ruang sungai masih terus terjadi, bahkan sebagian besar telah dikapling-kapling untuk dijual.

“Lantas apa maknanya, kita memperingati hari air, tapi jalur hijau di suangai terus dikupas dan kita diam saja, padahal mengupas jalur hijau sungai itu sama dengan merusak kualitas air di sungai. Tentu ini betentangan dengan semangat World Water Day,” ucap Misman.

Jalur hijau di Sungai Karang Mumus Samarinda yang menjadi lokasi pemukiman warga. (ist)

Seharusnya, lanjut Misman yang juga wartawan ini, ada peringatan hari air atau tidak, maka pihak terkait harus terus fokus menyelematkan sumber air, termasuk upaya menyadarkan masyarakat mesti dilakukan tiap saat karena membangun budaya air harus terus menerus dilakukan, tidak bisa setahun sekali.

“Tema Hari Air 2019 adalah Water For All, maka kita harus menjaga sumber air yang diantaranya adalah sungai, karena air yang kita beli diambil dari sungai. Kalau sungai kita rusak, maka kita tidak punya air yang bersih dan sehat,” katanya.

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019