Samarida (ANTARA News Kaltim) - Stigma Orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) sebagai hama atau pengganggu areal perkebunan kelapa sawit menjadi alasan pembenar terjadinya pembunuhan terhadap puluhan primata cerdas itu di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, Yaya Rayadin membeberkan, telah terjadi perbedaan perspektif antara konservasionis orangutan dengan perusahaan kelapa sawit.
"Sebagian besar dari mereka (perkebunan sawit) masih menempatkan orangutan sebagai hama sehingga tindakan yang dilakukan sama persis dengan memberantas hama," ungkap Yaya Rayadin.
Penyetaraan orangutan sebagai hama, menurut Doktor Ekologi dan Konservasi Satwa Liar itu, didasarkan pada asumsi, dalam satu hari satu individu orangutan dapat menghabiskan 30 hingga 50 tanaman sawit yang berusia di bawah satu tahun.
"Jika diasumsikan harga tanaman sawit yang berusia di bawah satu tahun Rp20 ribu maka setidaknya setiap individu orangutan dapat memberikan kerugian Rp600 ribu hingga Rp1 juta. Dalam konteks ini, sangat jelas terlihat konflik orangutan di areal perkebunan sawit dibanding dengan fungsi kawasan lainnya," kata Yaya Rayadin.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman itu mengatakan, perubahan pola konsumsi itu akibat adanya konversi habitat orangutan menjadi kebun sawit.
Karena konversi kawasan tersebut dilakukan tanpa perencanaan konservasi orangutan yang matang maka dalam perkembangannya menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu sumber pakan bagi primata tersebut. Kondisi seperti inilah yang akhirnya menimbulkan konflik antara orangutan dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga adanya tindakan pemberantasan `hama` (orangutan) ini dianggap sebagai cara mudah menyelamatkan perkebunan sawit mereka," ujar Yaya Rayadin.
Namun, asumsi itu dibantah Humas PT. Khaleda Agroprima Malindo, , anak perusahaan Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad, Mirhan.
"Tidak ada pembantaian orangutan, seperti berita yang selama ini berkembang. Pemberitaan tersebut sangat menyudutkan kami sebab seolah-olah kami dituding sebagai pelaku pembantaian," kata Mirhan.
Namun, perkebunan kelapa sawit milik Malaysia yang beroperasi di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, membenarkan adanya biaya pemberantasan hama. "Hama yang dimaksud bukan orangutan," katanya.
Kasus pembantaian orangutan ini merebak pada pertengahan September 2011 setelah seorang warga dengan membawa bukti-bukti foto melaporkannya ke salah satu koran di Samarinda.
Pada 27 September 2011, Polres Kutai Kartanegara bersama BKSDA kemudian menurunkan tim ke Kecamatan Muara Kaman untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pembantaian orangutan tersebut.
Namun, hingga hampir dua bulan, proses penyelidikan tersebut belum membuahkan hasil.
"Bukti pembantaian orangutan itu sudah ada di depan mata. Pada 3 November 2011, satu orangutan jantan dewasa ditemukan terluka di kawasan perkebunan milik PT. Khaleda Agroprima Malindo, anak perusahaan Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Kami menduga, orangutan tersebut disiksa dan mengalami patah tulang sehingga tidak mampu bergerak lebih jauh. Ini saja sebenarnya sudah cukup bagi BKSDA untuk menyeret manajemen perkebunan ke penjara sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya," ungkap Orangutan Campaigner dari The Centre for Orangutan Protection (COP), Daniek Hendarto.
COP, kata dia, mendesak pihak BKSDA untuk segera mengungkap kasus pembantaian orangutan tersebut.
"Pada dasarnya, tidak ada alasan jika kasus ini tidak berjalan karena kurangnya bukti dan saksi. Orangutan yang terluka parah itu adalah bukti yang nyata di depan mata, saksi juga ada sehingga pihak BKSDA hendaknya menyidik manajemen PT. Khaleda," katanya.
"Pada 29 Oktober, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Unversitas Mulawarman Samarinda berhasil merekonstruksi kerangka orangutan yang diserahkan masyarakat dari kawasan perkebunan PT. Khaleda. Bukti ini melengkapi foto-foto pembantaian orangutan yang disebarkan oleh mantan karyawan yang sakit hati terhadap terhadap perusahaan kelapa sawit asal Malaysia tersebut sehingga tidak ada alasan penyidik menyatakan masih kurang bukti," ungkap Daniek Hendarto.
Namun, Kepala Polres Kutai Kartanegara Ajun Komisaris Besar, I Gusti KB Harryarsana, justru menuding adanya unsur politik dibalik pemberitaan dugaan pembantaian orangutan tersebut.
"Masalah ini sudah ada unsur politisnya dan saya tidak akan melayani pertanyaan melalui telepon selular. Silakan datang ke Polres Kutai Kartanegara untuk melakukan konfirmasi," kata I Gusti KB Harryarsana.
Gubernur Membantah
Walaupun petunjuk dugaan pembantaian orangutan tersebut sudah dilansir COP serta bukti dokumentasi terkait terjadinya penyiksaan dan tulang orangutan yang diduga tewas secara tidak wajar telah diserahkan warga kepada pihak kepolisian dan BKSDA, namun Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, tetap bersikukuh membantah terjadinya pembunuhan massal orangutan itu.
Ia berkali-kali menegaskan bahwa baik Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan pihak kepolisian tidak menemukan bukti adanya pembantaian orangutan itu.
Bahkan Awang Faroek Ishaka sudah merasa terganggu dengan pemberitaan dugaan pembantaian orangutan tersebut, sebab seolah-olah pemerintah provinsi tidak peduli padahal selama ini pihaknya telah bekerja sama dengan pihak BOS dan sudah puluhan orangutan yang dikembalikan ke habitatnya. Beberapa perusahaan juga telah diberikan rekomendasi untuk HPH restorasi.
"Awal timbulnya pemberitaan tersebut itulah yang harus diusut. Berani memberitakan berarti punya bukti," ungkap Awang Faroek Ishak.
Gubernur Kaltim itu juga mengatakan, foto penyiksaan serta kerangka orangutan yang diduga tewas dibantai belum bisa disebut sebagai bukti terjadinya pembantaian. Pihaknya sudah menanyakan ke Polres Kutai Kartanegara dan Polda Kaltim tentang hal itu dan pihak kepolisian mengatakan tidak ada bukti.
Gubernur Kaltim juga meminta Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang sebelumnya mengakui telah terjadi pembantaian orangutan agar menyampaikan bukti ke Polda Kaltim.
"Jika punya bukti silakan sampaikan ke Polda Kaltim tetapi yang saya tahu Bupati Kutai Kartanegara tidak pernah mengatakan ada bukti pembantaian orangutan tersebut," kata Awang Faroek Ishak.
Kepala Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kadir, juga memberikan titik terang terjadinya pembunuhan pada sejumlah orangutan Kalimantan itu.
Kejadian itu diperkirakan berlangsung dua atau tiga tahun lalu, sebelum dirinya menjadi Kepala Desa dan kasus pembunuhan orangutan itu sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Desa Puan Cepak.
Kepala Desa Puan Cepak itu mensinyalir, pembunuhan orangutan oleh warga tersebut berdasarkan kepentingan perusahaan sawit yang beroperasi di desa itu.
"Saya mendapat informasi kalau warga dibayar per ekor untuk membunuh Urangutan itu. Namun, saya tidak tahu berapa nilainya tetapi saya menduga warga melakukan itu karena kepentingan perusahaan," katanya seraya menambahkan bahwa saat ini populasi orangutan di sana yang tersisa kemungkinan hanya sekitar 10 ekor.
Sementara, Kepala Seksi Trantib Kecamatan Muara Kaman, Arsil mengatakan, tidak pernah mendengar adanya pembunuhan Orangutan tersebut.
Selama ini, kata dia, tidak pernah ada interaksi antara masyarakat dengan orangutan sebab satwa langka dan dilindungi tersebut hidup di tengah hutan dan tidak pernah masuk ke wilayah pemukiman penduduk. Malah, jika melihat manusia, orangutan itu lari.
Namun dia juga tidak menampik jika kemungkinan pembunuhan itu akibat adanya kepentingan perusahaan.
Menurut Arsil, di sana ada beberapa perusahaan sawit dan batu bara sehingga bisa saja jika dianggap mengganggu orangutan itu dibunuh, namun pihaknya belum tahu pasti mengenai pembunuhan tersebut.
Populasi orangutan di Kecamatan Muara Kaman kata dia diperkirakan tersisa sekitar 200 ekor.
Di ambang kepunahan
Yaya Rayadin mengatakan, populasi orangutan saat ini tersisa 2. 500 hingga 3.000 ekor yang berada di kawasan seluas 600. ribu hektare.
"Populasi orangutan terus mengalami penurunan dan saat ini tersisa 2. 500 hingga 3. 000 ekor yang hidup di `lanscape` Kutai atau kawasan Huatan Tanaman Industri (HTI) kebun sawit, tambang dan Taman Nasional Kutai (TNK) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kota Bontang," kata Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda itu.
Selain faktor perburuan dan pembantaian, ancaman paling serius yang dihadapi populasi orangutan kata Yaya Rayadin yakni adanya fragmentasi atau degradasi hibatat orangutan yang terjadi secara umum di Pulau Kalimantan.
Dia menyebut, Pongo Pygmaeus Morio terfragmentasi ke dalam 32 kelompok habitat.
Orangutan yang hidup di kawasan yang terfragmentasi mempunyai ancaman kelestarian populasi lebih tinggi dibanding orangutan yang hidup pada kawasan yang utuh dan luas.
Di sisi lain, katanya, saat ini hanya 20 persen orangutan yang hidup di kawasan hutan primer sedangkan 80 persen di kawasan hutan sekunder.
Di kawasan hutan sekundar kata dia, tingkat ancaman degradasi kawasan lebih besar sehingga ancaman keberadaan populasi primata itu juga lebih besar.
"Bila dilihat keberadaan orangutan berdasarkan fungsi kawasannya, hanya 25 persen saja yang hidup di kawasan konservasi sementara lebih 75 persen hidup diluar kawasan konservasi yang keberadaannya sangat terancam akibat proses konvensi lahan menjadi Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan," kata Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda itu. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011
Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, Yaya Rayadin membeberkan, telah terjadi perbedaan perspektif antara konservasionis orangutan dengan perusahaan kelapa sawit.
"Sebagian besar dari mereka (perkebunan sawit) masih menempatkan orangutan sebagai hama sehingga tindakan yang dilakukan sama persis dengan memberantas hama," ungkap Yaya Rayadin.
Penyetaraan orangutan sebagai hama, menurut Doktor Ekologi dan Konservasi Satwa Liar itu, didasarkan pada asumsi, dalam satu hari satu individu orangutan dapat menghabiskan 30 hingga 50 tanaman sawit yang berusia di bawah satu tahun.
"Jika diasumsikan harga tanaman sawit yang berusia di bawah satu tahun Rp20 ribu maka setidaknya setiap individu orangutan dapat memberikan kerugian Rp600 ribu hingga Rp1 juta. Dalam konteks ini, sangat jelas terlihat konflik orangutan di areal perkebunan sawit dibanding dengan fungsi kawasan lainnya," kata Yaya Rayadin.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman itu mengatakan, perubahan pola konsumsi itu akibat adanya konversi habitat orangutan menjadi kebun sawit.
Karena konversi kawasan tersebut dilakukan tanpa perencanaan konservasi orangutan yang matang maka dalam perkembangannya menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu sumber pakan bagi primata tersebut. Kondisi seperti inilah yang akhirnya menimbulkan konflik antara orangutan dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga adanya tindakan pemberantasan `hama` (orangutan) ini dianggap sebagai cara mudah menyelamatkan perkebunan sawit mereka," ujar Yaya Rayadin.
Namun, asumsi itu dibantah Humas PT. Khaleda Agroprima Malindo, , anak perusahaan Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad, Mirhan.
"Tidak ada pembantaian orangutan, seperti berita yang selama ini berkembang. Pemberitaan tersebut sangat menyudutkan kami sebab seolah-olah kami dituding sebagai pelaku pembantaian," kata Mirhan.
Namun, perkebunan kelapa sawit milik Malaysia yang beroperasi di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, membenarkan adanya biaya pemberantasan hama. "Hama yang dimaksud bukan orangutan," katanya.
Kasus pembantaian orangutan ini merebak pada pertengahan September 2011 setelah seorang warga dengan membawa bukti-bukti foto melaporkannya ke salah satu koran di Samarinda.
Pada 27 September 2011, Polres Kutai Kartanegara bersama BKSDA kemudian menurunkan tim ke Kecamatan Muara Kaman untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pembantaian orangutan tersebut.
Namun, hingga hampir dua bulan, proses penyelidikan tersebut belum membuahkan hasil.
"Bukti pembantaian orangutan itu sudah ada di depan mata. Pada 3 November 2011, satu orangutan jantan dewasa ditemukan terluka di kawasan perkebunan milik PT. Khaleda Agroprima Malindo, anak perusahaan Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Kami menduga, orangutan tersebut disiksa dan mengalami patah tulang sehingga tidak mampu bergerak lebih jauh. Ini saja sebenarnya sudah cukup bagi BKSDA untuk menyeret manajemen perkebunan ke penjara sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya," ungkap Orangutan Campaigner dari The Centre for Orangutan Protection (COP), Daniek Hendarto.
COP, kata dia, mendesak pihak BKSDA untuk segera mengungkap kasus pembantaian orangutan tersebut.
"Pada dasarnya, tidak ada alasan jika kasus ini tidak berjalan karena kurangnya bukti dan saksi. Orangutan yang terluka parah itu adalah bukti yang nyata di depan mata, saksi juga ada sehingga pihak BKSDA hendaknya menyidik manajemen PT. Khaleda," katanya.
"Pada 29 Oktober, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Unversitas Mulawarman Samarinda berhasil merekonstruksi kerangka orangutan yang diserahkan masyarakat dari kawasan perkebunan PT. Khaleda. Bukti ini melengkapi foto-foto pembantaian orangutan yang disebarkan oleh mantan karyawan yang sakit hati terhadap terhadap perusahaan kelapa sawit asal Malaysia tersebut sehingga tidak ada alasan penyidik menyatakan masih kurang bukti," ungkap Daniek Hendarto.
Namun, Kepala Polres Kutai Kartanegara Ajun Komisaris Besar, I Gusti KB Harryarsana, justru menuding adanya unsur politik dibalik pemberitaan dugaan pembantaian orangutan tersebut.
"Masalah ini sudah ada unsur politisnya dan saya tidak akan melayani pertanyaan melalui telepon selular. Silakan datang ke Polres Kutai Kartanegara untuk melakukan konfirmasi," kata I Gusti KB Harryarsana.
Gubernur Membantah
Walaupun petunjuk dugaan pembantaian orangutan tersebut sudah dilansir COP serta bukti dokumentasi terkait terjadinya penyiksaan dan tulang orangutan yang diduga tewas secara tidak wajar telah diserahkan warga kepada pihak kepolisian dan BKSDA, namun Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, tetap bersikukuh membantah terjadinya pembunuhan massal orangutan itu.
Ia berkali-kali menegaskan bahwa baik Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan pihak kepolisian tidak menemukan bukti adanya pembantaian orangutan itu.
Bahkan Awang Faroek Ishaka sudah merasa terganggu dengan pemberitaan dugaan pembantaian orangutan tersebut, sebab seolah-olah pemerintah provinsi tidak peduli padahal selama ini pihaknya telah bekerja sama dengan pihak BOS dan sudah puluhan orangutan yang dikembalikan ke habitatnya. Beberapa perusahaan juga telah diberikan rekomendasi untuk HPH restorasi.
"Awal timbulnya pemberitaan tersebut itulah yang harus diusut. Berani memberitakan berarti punya bukti," ungkap Awang Faroek Ishak.
Gubernur Kaltim itu juga mengatakan, foto penyiksaan serta kerangka orangutan yang diduga tewas dibantai belum bisa disebut sebagai bukti terjadinya pembantaian. Pihaknya sudah menanyakan ke Polres Kutai Kartanegara dan Polda Kaltim tentang hal itu dan pihak kepolisian mengatakan tidak ada bukti.
Gubernur Kaltim juga meminta Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang sebelumnya mengakui telah terjadi pembantaian orangutan agar menyampaikan bukti ke Polda Kaltim.
"Jika punya bukti silakan sampaikan ke Polda Kaltim tetapi yang saya tahu Bupati Kutai Kartanegara tidak pernah mengatakan ada bukti pembantaian orangutan tersebut," kata Awang Faroek Ishak.
Kepala Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kadir, juga memberikan titik terang terjadinya pembunuhan pada sejumlah orangutan Kalimantan itu.
Kejadian itu diperkirakan berlangsung dua atau tiga tahun lalu, sebelum dirinya menjadi Kepala Desa dan kasus pembunuhan orangutan itu sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Desa Puan Cepak.
Kepala Desa Puan Cepak itu mensinyalir, pembunuhan orangutan oleh warga tersebut berdasarkan kepentingan perusahaan sawit yang beroperasi di desa itu.
"Saya mendapat informasi kalau warga dibayar per ekor untuk membunuh Urangutan itu. Namun, saya tidak tahu berapa nilainya tetapi saya menduga warga melakukan itu karena kepentingan perusahaan," katanya seraya menambahkan bahwa saat ini populasi orangutan di sana yang tersisa kemungkinan hanya sekitar 10 ekor.
Sementara, Kepala Seksi Trantib Kecamatan Muara Kaman, Arsil mengatakan, tidak pernah mendengar adanya pembunuhan Orangutan tersebut.
Selama ini, kata dia, tidak pernah ada interaksi antara masyarakat dengan orangutan sebab satwa langka dan dilindungi tersebut hidup di tengah hutan dan tidak pernah masuk ke wilayah pemukiman penduduk. Malah, jika melihat manusia, orangutan itu lari.
Namun dia juga tidak menampik jika kemungkinan pembunuhan itu akibat adanya kepentingan perusahaan.
Menurut Arsil, di sana ada beberapa perusahaan sawit dan batu bara sehingga bisa saja jika dianggap mengganggu orangutan itu dibunuh, namun pihaknya belum tahu pasti mengenai pembunuhan tersebut.
Populasi orangutan di Kecamatan Muara Kaman kata dia diperkirakan tersisa sekitar 200 ekor.
Di ambang kepunahan
Yaya Rayadin mengatakan, populasi orangutan saat ini tersisa 2. 500 hingga 3.000 ekor yang berada di kawasan seluas 600. ribu hektare.
"Populasi orangutan terus mengalami penurunan dan saat ini tersisa 2. 500 hingga 3. 000 ekor yang hidup di `lanscape` Kutai atau kawasan Huatan Tanaman Industri (HTI) kebun sawit, tambang dan Taman Nasional Kutai (TNK) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kota Bontang," kata Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda itu.
Selain faktor perburuan dan pembantaian, ancaman paling serius yang dihadapi populasi orangutan kata Yaya Rayadin yakni adanya fragmentasi atau degradasi hibatat orangutan yang terjadi secara umum di Pulau Kalimantan.
Dia menyebut, Pongo Pygmaeus Morio terfragmentasi ke dalam 32 kelompok habitat.
Orangutan yang hidup di kawasan yang terfragmentasi mempunyai ancaman kelestarian populasi lebih tinggi dibanding orangutan yang hidup pada kawasan yang utuh dan luas.
Di sisi lain, katanya, saat ini hanya 20 persen orangutan yang hidup di kawasan hutan primer sedangkan 80 persen di kawasan hutan sekunder.
Di kawasan hutan sekundar kata dia, tingkat ancaman degradasi kawasan lebih besar sehingga ancaman keberadaan populasi primata itu juga lebih besar.
"Bila dilihat keberadaan orangutan berdasarkan fungsi kawasannya, hanya 25 persen saja yang hidup di kawasan konservasi sementara lebih 75 persen hidup diluar kawasan konservasi yang keberadaannya sangat terancam akibat proses konvensi lahan menjadi Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan," kata Peneliti di Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda itu. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011