Samarinda (Antara News Kaltim) - Peneliti dari Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin memastikan, tulang-belulang yang diserahkan warga merupakan kerangka milik Orangutan Kalimantan (Pongo Pygmeus Morio).
"Berdasarkan hasil identifikasi, pengukuran dan kajian literatur serta membandingkan beberapa rangka yang pernah ada, dapat disimpulkan bahwa rangka satwa yang dibawa ke PPHT atau Pusrehut Unmul Samarinda tersebut 99 persen merupakan tulang orangutan," ungkap Yaya Rayadin kepada wartawan, Sabtu.
Dijelaskan Doktor Ekologi dan Populasi Satwa Liar itu, meskipun secara umum tulang tersebut sudah hancur namun berdasarkan hasil rekosntruksi dan pengukuran terhadap rahang khususnya pada bagian 'candle' dan 'corpus' tulang tersebut 99 memiliki kemiripin dengan tulang orangutan dewasa jenis 'morio' (pongo pygmeus morio).
"Selain melakukan rekonstruksi dan pengukuran tulang secara manual, saya juga dibantu teman-teman ahli primata dari luar negeri diataranya dari Inggris dan Jepang. Mereka mengirimkan berbagai literatur tentang rangka orangutan sehingga berdasarkan kedua asumsi itulah saya menyimpulkan tulang-tulang ini merupakan satu rangka orangutan remaja hingga dewasa," katanya.
"Proses rekonstruksi hingga akhirnya pengambilan kesimpulan ini mudah dilakukan sebab kebetulan rangka tersebut berukuran besar. Jika berukuran kecil, rangka ini akan sulit diidentifikasi karena akan banyak memiliki kesamaan dengan primata lainnya," ungkap Yaya Rayadin.
Pada rangkaian tulang tersebut lanjut Dosen Fakultas Kehutanan Unmul Samarinda itu juga terdapat 'forelimb' (tulang lengan) yang setelah direkonstruksi juga menguatkan asumsi tersebut.
Asumsi lain yang menguatkan kata dia, adanya 'hindlimb' atau bagian kaki yang khas dan melengkung dan ukurannya lebih pendek dari tulang lengan.
Namun, kesimpulan atas tulang orangutan tersebut belum bisa mengubungkan penyebab kematiannya, katanya.
"Berdasarkan pengataman secara kasatmata dengan melihat kondisi tulang yang keras namun rusak, bukan akibat proses pembusukan atau 'micro organisme' serta pelapukan, sehingga saya menyimpulkan bahwa kerusakan rangka tulang ini akibat adanya faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut bisa disebabkan orangutan tersebut jatuh sehingga mati atau faktor lain seperti pembantaian. Namun, untuk memastikan hal itu perlu dilakukan pengujian lebih lanjut oleh ahli forensik tulang hewan primata," ungkap Yaya Rayadin.
Sebelumnya, Jumat (28/10) warga dari Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara menyerahkan tulang belulang yang diduga tulang orangutan Kalimantan (Pongo Pygmaeus) yang dibantai di Desa Puan Cepak periode 2009-2010 ke Universitas Mulawarman Samarinda.
Sementara, higga lebih satu bulan menurunkan tim di Kecamatan Muara Kaman, Polres Kutai Kartanegara belum menemukan kerangka orangutan yang akan dijadikan bukti pada proses penyelidikan terkait dugaan pembantaian orangutan tersebut.
"Sampai saat ini kami belum menemukan tulang-belulang atau tengkorak orangutan yang disebut telah dibantai tiga atau dua tahun silam," ungkap Kepala Polres Kutai Kartanegara, Ajun Komisaris Besar I Gusti KB Harryarsana ketika dikonfirmasi, Rabu (26/10).
Sejak sebulan lalu atau pada 27 September 2011, Polres Kutai Kartanegara telah menurunkan tim ke Kecamatan Muara Kaman untuk menyelediki pembantaian puluhan Orangutan tersebut.
"Sudah 30 orang saksi yang kami mintai keterangan termasuk dari pihak perusahaan yang beroporeasi di Desa Puan Cepak, lokasi yang disebut sebagai areal pembantaian orangutan itu," kata I Gusti KB Harryarsana.
Kapolres Kutai Kartanegara itu mengaku belum menemukan saksi yang telah diperiksa mengaku mengetahui atau melihat pembantaian tersebut.
"Fokusnya saat ini bukan megejar pengakuan tetapi mencari bukti. Jika dikatakan ada orangutan yang telah dibantai maka kita harus mendapatkan bukti tengkoraknya. Inilah yang menjadi fokus penyelidikan dan saat ini dan tim yang kami bentuk sejak sebulan lalu tersebut masih terus melakukan penyelidikan di Kecamatan Muara Kaman," ungkap I Gusti KB Harryarsana.
Kasus pemabantaian orangutan ini merebak pada pertengahan September 2011 setelah seorang warga dengan membawa bukti-bukti foto melaporkannya ke salah satu koran di Samarinda.
Kepala Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kadir, sempat membenarkan terjadinya pembunuhan pada sejumlah orangutan Kalimantan itu.
"Kejadian itu diperkirakan berlangsung dua atau tiga tahun lalu, sebelum saya menjadi Kepala Desa. Pembunuhan Orangutan itu sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Desa Puan Cepak," kata Kadir.
Kepala Desa Puan Cepak itu mensinyalir, pembunuhan OranguUtan oleh warga tersebut berdasarkan kepentingan perusahaan sawit yang beroperasi di desa itu.
"Saya mendapat informasi kalau warga dibayar per ekor untuk membunuh Urangutan itu. Namun, saya tidak tahu berapa nilainya tetapi saya menduga warga melakukan itu karena kepentingn perusahaan," katnya.
"Saat ini populasi Orangutan yang tersisa sekitar 10 ekor," ungkap Kadir.
Sementara, Kepala Seksi Trantib Kecamatan Muara Kaman, Arsil mengatakan, tidak pernah mendengar adanya pembunuhan Orangutan tersebut.
"Setahu saya, selama ini tidak pernah ada interaksi antara masyarakat dengan Orangutan sebab satwa langka dan dilindungi tersebut hidup di tengah hutan dan tidak pernah masuk ke wilayah pemukiman penduduk. Malah, jika melihat manusia Orangutan itu lari," kata Arsil.
Namun dia juga tidak menampik jika kemungkinan pembunuhan itu akibat adanya kepentingan perusahaan.
"Di sana ada beberapa perusahaan sawit dan batu bara sehingga bisa saja jika dianggap mengganggu Orang Utan itu dibunuh. Tapi saya belum tahu secara pasti mengenai pembunuhan tersebut," kata Arsil.
Populasi Orangutan di Kecamatan Muara Kaman kata dia diperkirakan tersisa sekitar 200 ekor. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011