Balikpapan (Antaranews Kaltim) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, mempertanyakan teknologi Pertamina untuk mengawasi penyaluran minyak mentah dari Terminal Lawe-lawe di Penajam Paser Utara ke Kilang Balikpapan.

"Dan seperti yang dikatakan GM Pertemina RU V, tidak ada indikator di ruang kontrol yang dapat memberitahu bahwa pipa kehilangan tekanan. Meter pengukur tekanan itu adanya terpasang di awal dan di akhir pipa, jadi harus dilihat secara manual," kata Ketua Komisi III DPRD Balikpapan Nazaruddin di Balikpapan, Sabtu.

Ia mengatak hal itu menanggapi peristiwa patahnya pipa penyalur minyak mentah bawah laut milik Pertamina.

Pencemaran dan kebakaran di laut Teluk Balikpapan pada Sabtu (31/3) diketahui berasal dari minyak yang keluar dari pipa bawah laut yang digunakan Pertamina untuk mengirim minyak dari Lawe-lawe ke Penajam.

Pipa itu berdiameter 20 inci dan membentang sepanjang 3.600 meter pada kedalaman 20-25 meter di bawah permukaan laut. Pipa tersebut patah di satu titik di Teluk Balikpapan.

Menurut Nazaruddin, ada kelalaian yang dilakukan Pertamina dalam manajerial pengawasan dan pengelolaan kilang.

Ia menambahkan, Pertamina seharusnya menggunakan cara dan teknologi terbaik yang ada untuk pengawasan jalur pipa minyak, termasuk di bawah laut.

Dengan demikian, segala yang terjadi pada pipa dapat diketahui dengan cepat, sehingga apabila terjadi sesuatu yang membahayakan seperti kebocoran, dapat diantisipasi dengan cepat pula.

"Pertamina kan perusahaan yang menjunjung keselamatan kerja (safety) luar biasa, juga padat modal dan teknologi," timpal Andi Arief Agung, anggota Komisi III lainnya.

Baca juga: Penyebab patahnya pipa minyak Pertamina belum diketahui
Baca juga: Penajam desak Pertamina segera selesaikan kebocoran pipa

Pada kesempatan terpisah, GM Pertamina Refinery Unit V Togar MP mengatakan, meskipun Pertamina masih menggunakan sistem pengawasan manual untuk pipa-pipanya, namun soal kelalaian merupakan ranah penyidik.

"Kami sekarang fokus pada pembersihan bekas tumpahan minyak dan tanggung jawab sosial lainnya," kata Togar.

Bentuk tanggung jawab sosial itu, Pertamina membuka pos kesehatan di permukiman yang terdampak tumpahan minyak tersebut.

Minyak mentah yang tumpah itu menebar bau khas seperti bau bahan bakar jenis solar, namun terasa jauh lebih keras lagi. Karena bau itu, banyak warga yang mengalami sesak napas, mual, dan muntah.

Humas Pertamina Balikpapan Alicia Irzanova juga menambahkan bahwa setiap tahun Pertamina melakukan inspeksi pipa secara mendetail. Pipa di bawah laut diperiksa oleh tim penyelam untuk dilihat kondisinya.

Menurut Irzanova, dari pemeriksaan rutin setiap tahun itu, ada satu pemeriksaan yang hasilnya disertifikasi oleh Dirjen Migas Kementerian ESDM. Masa berlaku sertifikat itu 3 tahun.

"Artinya minimal pipa itu diinspeksi 3 tahun sekali untuk mendapatkan sertifikat baru. Tapi kami melakukannya setiap tahun," jelas Irzanova.

Pemeriksaan untuk sertifikat terakhir dilakukan di bulan Oktober 2016, dan sertifikan kelayakannya bertanggal 25 Oktober 2016-26 Oktober 2019, sementara pemeriksaan tahunannya baru tercatat 10 Desember 2017 lalu.

Pipa setebal 12 milimeter itu sanggup menahan tekanan hingga 1.026 psi. "Sementara operasi kami mengirim minyak itu menggunakan tekanan 167 psi," kata Irzanova. (*)
Baca juga: Pertamina tolak disebut lalai

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018