Samarinda (Antaranews Kaltim) - Sungai Karang Mumus (SKM) di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, memiliki tiga titik kritis kerusakan, sehingga harus mendapat perhatian semua pihak karena masih berfungsi sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, penyelamat ekologi, dan berpotensi jadi hutan lindung.
"Tiga titik kritis kerusakan pada SKM adalah berada di bagian hulu, tengah, dan bagian hilir," ujar Yustinus Sapto Hardjanto, Co Founder Sekolah SKM saat menjadi pembicara dalam Seminar Lingkungan bertajuk "Potret Hidup Bantaran Sungai Karang Mumus" yang digelar IMAPA (Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam) Unmul Samarinda, Senin.
Ia menjelaskan bahwa permasalahan di SKM secara kasat mata memang pada area badan atau aliran sungainya, namun sesungguhnya permasalahannya jauh lebih besar dari itu, yakni pada daerah aliran sungai (DAS)-nya karena menjadi salah satu DAS terkritis di Provinsi Kaltim.
Secara umum, penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tidak berkesesuaian, karena bagian hulu yang merupakan daerah lindung, bahkan merupakan area tangkapan air yang mestinya berupa kawasan hutan atau lahan dengan tutupan vegetasi rapat, justru digunakan untuk kepentingan pertambangan dan perladangan/kebun terbuka.
Akibatnya, koefisien air permukaan yang tinggi saat musim hujan akan menimbulkan erosi. Transport sedimen yang besar membuat sungai menjadi dangkal karena endapan lumpur.
Selain itu, rendah resapan air hujan di bagian hulu akan membuat kehilangan mata air yang menjaga pasokan air di musim kemarau.
Pada bagian tengah DAS Karang Mumus, konversi lahan juga terjadi pada area-area lahan basah, rawa atau kolam retensi alamiahnya.
Rawa diuruk untuk permukiman, lahan basah dikonversi menjadi lahan kering, sehingga sungai kehilangan area penampungan air, sementara di kanan-kirinya, limpasan air permukaan saat hujan langsung masuk ke sungai sehingga air sungai meluap.
Baca juga: Sungai Karang Mumus Adalah Ibu Samarinda
Baca juga: Upaya Komunitas di Samarinda Gaungkan Restorasi Sungai
Selain itu, air limpasan juga akan membawa kotoran dan residu dari pertanian kimia yang bisa mencemari air sungai, sehingga hal ini menurunkan kualitas air sungai. Bagian tengah SKM juga kehilangan zona perlindungan terakhir, yaitu riparian (tumbuh di kanan dan kiri sungai).
Tutupan vegetasi yang menjadi ekosistem penghubung antara air dan daratan telah hilang. Selain hilang fungsi infiltasi dan filtrasi, kehilangan riparian juga berarti kehilangan kekayaan biodiversiti, bahkan kehlangan aneka tumbuhan dan faunanya baik di darat maupun di air.
"Di bagian hilir, permukaan lahan di sekitar sungai umumnya tertutup oleh permukaan solid atau kedap air. Lahan ditutupi oleh berbagai fasilitas atau infrastruktur berbahan aspal dan semen serta atap, sehingga resapan air menjadi berkurang dan limpasan air hujan secara efektif masuk semua ke sungai melalui saluran drainase," katanya pula.
Bagian hilir SKM juga kehilangan sistem filtrasi alam karena kanan kiri sungai telah dibeton, sehingga air limpasan masuk secara langsung lewat saluran drainase.
"Inilah yang menyebabkan bagian hilir hanya ikan sapu-sapu yang berkembang, sedangkan ikan lain cenderung menghilang akibat minim pasokan nutrisi alamiahnya, yakni tidak adanya rerumputan dan pepohonan karena semuanya dibeton," ujar Yustinus pula. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
"Tiga titik kritis kerusakan pada SKM adalah berada di bagian hulu, tengah, dan bagian hilir," ujar Yustinus Sapto Hardjanto, Co Founder Sekolah SKM saat menjadi pembicara dalam Seminar Lingkungan bertajuk "Potret Hidup Bantaran Sungai Karang Mumus" yang digelar IMAPA (Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam) Unmul Samarinda, Senin.
Ia menjelaskan bahwa permasalahan di SKM secara kasat mata memang pada area badan atau aliran sungainya, namun sesungguhnya permasalahannya jauh lebih besar dari itu, yakni pada daerah aliran sungai (DAS)-nya karena menjadi salah satu DAS terkritis di Provinsi Kaltim.
Secara umum, penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tidak berkesesuaian, karena bagian hulu yang merupakan daerah lindung, bahkan merupakan area tangkapan air yang mestinya berupa kawasan hutan atau lahan dengan tutupan vegetasi rapat, justru digunakan untuk kepentingan pertambangan dan perladangan/kebun terbuka.
Akibatnya, koefisien air permukaan yang tinggi saat musim hujan akan menimbulkan erosi. Transport sedimen yang besar membuat sungai menjadi dangkal karena endapan lumpur.
Selain itu, rendah resapan air hujan di bagian hulu akan membuat kehilangan mata air yang menjaga pasokan air di musim kemarau.
Pada bagian tengah DAS Karang Mumus, konversi lahan juga terjadi pada area-area lahan basah, rawa atau kolam retensi alamiahnya.
Rawa diuruk untuk permukiman, lahan basah dikonversi menjadi lahan kering, sehingga sungai kehilangan area penampungan air, sementara di kanan-kirinya, limpasan air permukaan saat hujan langsung masuk ke sungai sehingga air sungai meluap.
Baca juga: Sungai Karang Mumus Adalah Ibu Samarinda
Baca juga: Upaya Komunitas di Samarinda Gaungkan Restorasi Sungai
Selain itu, air limpasan juga akan membawa kotoran dan residu dari pertanian kimia yang bisa mencemari air sungai, sehingga hal ini menurunkan kualitas air sungai. Bagian tengah SKM juga kehilangan zona perlindungan terakhir, yaitu riparian (tumbuh di kanan dan kiri sungai).
Tutupan vegetasi yang menjadi ekosistem penghubung antara air dan daratan telah hilang. Selain hilang fungsi infiltasi dan filtrasi, kehilangan riparian juga berarti kehilangan kekayaan biodiversiti, bahkan kehlangan aneka tumbuhan dan faunanya baik di darat maupun di air.
"Di bagian hilir, permukaan lahan di sekitar sungai umumnya tertutup oleh permukaan solid atau kedap air. Lahan ditutupi oleh berbagai fasilitas atau infrastruktur berbahan aspal dan semen serta atap, sehingga resapan air menjadi berkurang dan limpasan air hujan secara efektif masuk semua ke sungai melalui saluran drainase," katanya pula.
Bagian hilir SKM juga kehilangan sistem filtrasi alam karena kanan kiri sungai telah dibeton, sehingga air limpasan masuk secara langsung lewat saluran drainase.
"Inilah yang menyebabkan bagian hilir hanya ikan sapu-sapu yang berkembang, sedangkan ikan lain cenderung menghilang akibat minim pasokan nutrisi alamiahnya, yakni tidak adanya rerumputan dan pepohonan karena semuanya dibeton," ujar Yustinus pula. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018