Palangka Raya (ANTARA News) - Yayasan BOS Nyaru Menteng mencatat belasan orang utan terbunuh di Provinsi Kalimantan Tengah membuktikan bahwa primata yang dilindungi ini terancam bahkan kepunahan bisa terjadi kapan saja.
Jumlah orang utan terbunuh itu belum termasuk yang mati karena mengidap penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kebakaran hutan dan lahan, kata Humas Yayasan BOS Nyaru Menteng Monterado Fridman, di Palangka Raya, Selasa.
"Sekarang ini ada sekitar 480 ekor orang utan yang direhabilitasi di BOS Nyaru Menteng. Sedangkan yang telah dilepasliarkan dari tahun 2015-2017 hanya sekitar 280 orang utan. Data dan fakta ini menunjukkan bahwa orang utan sangat terancam punah," katanya lagi.
Selain kurang sadar berbagai pihak terhadap ancaman kepunahan orang utan, penindakan terhadap pelaku pembunuh primata ini juga terkesan kurang tegas. Beberapa kasus besar pembunuhan orang utan baru satu diputus pengadilan yang menghukum satu orang pelaku dengan penjara 2 tahun 9 bulan.
Montero mengatakan vonis hakim terhadap pembantai orang utan yang kemudian dimasak dan dikonsumsi di Tumbang Puroh, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah itu, seharusnya lebih dari satu pelaku.
"Kasus terbunuh orang utan di perkebunan kelapa sawit di Desa Kandan, orang utan mati ditombak di Sungai Mangkutub, serta tahun 2016 ada orang utan mati terbakar. Sampai sekarang kami tidak tahu sudah seperti apa perkembangan kasusnya," ujar dia.
Humas BOS Nyaru Menteng itu mengharapkan kasus pembunuhan orang utan, seharusnya menjadi pemacu semangat untuk bersama-sama menjaga kelestarian primata tersebut. Apalagi Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem secara tegas dan jelas menyatakan orang utan adalah satwa liar bukan satwa peliharaan.
Dia mengatakan status orang utan adalah milik negara, sehingga peran pemerintah pusat dan daerah sebagai wakil negara sangat perlu diperkuat dengan menambah areal hutan yang aman sebagai tempat melepasliarkan orang utan.
"Orang utan seharusnya tinggal di hutan, bukan di pusat rehabilitasi. Tahun ini BOS mencanangkan sebagai tahun Kebebasan Bagi Orang Utan. Jika hutan kita sudah tidak ada, dimana lagi kita harus melepasliarkan orang utan," demikian Montero. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
Jumlah orang utan terbunuh itu belum termasuk yang mati karena mengidap penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kebakaran hutan dan lahan, kata Humas Yayasan BOS Nyaru Menteng Monterado Fridman, di Palangka Raya, Selasa.
"Sekarang ini ada sekitar 480 ekor orang utan yang direhabilitasi di BOS Nyaru Menteng. Sedangkan yang telah dilepasliarkan dari tahun 2015-2017 hanya sekitar 280 orang utan. Data dan fakta ini menunjukkan bahwa orang utan sangat terancam punah," katanya lagi.
Selain kurang sadar berbagai pihak terhadap ancaman kepunahan orang utan, penindakan terhadap pelaku pembunuh primata ini juga terkesan kurang tegas. Beberapa kasus besar pembunuhan orang utan baru satu diputus pengadilan yang menghukum satu orang pelaku dengan penjara 2 tahun 9 bulan.
Montero mengatakan vonis hakim terhadap pembantai orang utan yang kemudian dimasak dan dikonsumsi di Tumbang Puroh, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah itu, seharusnya lebih dari satu pelaku.
"Kasus terbunuh orang utan di perkebunan kelapa sawit di Desa Kandan, orang utan mati ditombak di Sungai Mangkutub, serta tahun 2016 ada orang utan mati terbakar. Sampai sekarang kami tidak tahu sudah seperti apa perkembangan kasusnya," ujar dia.
Humas BOS Nyaru Menteng itu mengharapkan kasus pembunuhan orang utan, seharusnya menjadi pemacu semangat untuk bersama-sama menjaga kelestarian primata tersebut. Apalagi Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem secara tegas dan jelas menyatakan orang utan adalah satwa liar bukan satwa peliharaan.
Dia mengatakan status orang utan adalah milik negara, sehingga peran pemerintah pusat dan daerah sebagai wakil negara sangat perlu diperkuat dengan menambah areal hutan yang aman sebagai tempat melepasliarkan orang utan.
"Orang utan seharusnya tinggal di hutan, bukan di pusat rehabilitasi. Tahun ini BOS mencanangkan sebagai tahun Kebebasan Bagi Orang Utan. Jika hutan kita sudah tidak ada, dimana lagi kita harus melepasliarkan orang utan," demikian Montero. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017