Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pengelolaan hutan yang lestari dengan melibatkan masyarakat diyakini mampu menyejahterakan warga setempat, karena warga mendapat kesempatan menentukan arah pembangunan sesuai potensi lokal dan tetap menjaga keanekaragaman hayati, kata pejabat TNC Kaltim Niel Makinuddin.
"Contoh nyata peningkatan kesejahteraan melalui pola ini adalah yang dialami warga Kampung Merabu di Kabupaten Berau, kemudian warga Kampung Nehas Liah Bing di Kabupaten Kutai Timur," ujar Senior Manager The Nature Conservancy (TNC) Provinsi Kaltim Niel Makinuddin di Samarinda, Selasa.
TNC melalui Indonesia Terrestrial Program, lanjutnya, terus mengembangkan pola-pola pendekatan ini, karena dengan menjaga habitat spesies kunci di sekitar masyarakat, tidak hanya melindungi dari ancaman bencana, tapi juga mendatangkan rezeki.
Sedangkan pendampingan oleh TNC di dua kampung tersebut membentuk warga yang mampu membangun kampung secara mandiri dan perlahan menjadi destinasi wisata unggulan.
Di Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, misalnya, kawasan dengan hutan desa seluas 8.245 hektare ini bisa menikmati 10 destinasi unggulan, yakni Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, Gua Beloyot, Kabila, Gua Lungun, Gua Parcay, Lima Cahaya, Danau Tebo, Gua Sedepan Bu, dan Susur Sungai.
Penggemar wisata alam dipastikan tertarik menikmati keindahan stalaktit dan stalakmit dari gua-gua karst di Merabu hingga cap telapak tangan manusia purba.
Menurut Niel, keindahan alami Kampung Merabu merupakan jerih payah warga dalam menjaga hutan desa, sehingga hutan yang ada sejak mereka lahir itu, kini banyak menjadi tujuan penelitian dan pariwisata.
"Ketika banyak orang yang berkunjung ke kampung mereka, maka rezeki pasti mengalir karena pengunjung pasti perlu makan, minum, guide (pendamping), transportasi, masuk objek wisata, dan biaya lain, sehingga hal ini akan menambah pendapatan warga desa," ucap Niel.
Kisah yang hampir juga dialami oleh warga Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.
Desa yang mendapat pendampingan TNC sejak 2004 ini sudah memiliki hutan lindung seluas 38.000 hektare yang diakui pemerintah dan pada April lalu masuk sebagai tujuan Ekspedisi Kutai Timur oleh Dinas Pariwisata Kutai Timur.
Hutan Lindung Wehea merupakan liku panjang masyarakat Adat Wehea untuk menjaga hutan mereka.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhirnya mengukuhkan Hutan Lindung Wehea di bawah pengelolaan Masyarakat Adat Wehea pada 2015.
Pengakuan itu memberikan hak bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan dan menyejahterakan warga Wehea.
"Hutan lindung ini, selain menjadi tujuan wisata juga menjadi tempat penelitian. Hutan Wehea adalah rumah bagi 61 jenis mamalia yang beberapa di antaranya tergolong satwa langka, seperti empat jenis kucing hutan, orangutan, dan beruang madu," tutur Niel. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
"Contoh nyata peningkatan kesejahteraan melalui pola ini adalah yang dialami warga Kampung Merabu di Kabupaten Berau, kemudian warga Kampung Nehas Liah Bing di Kabupaten Kutai Timur," ujar Senior Manager The Nature Conservancy (TNC) Provinsi Kaltim Niel Makinuddin di Samarinda, Selasa.
TNC melalui Indonesia Terrestrial Program, lanjutnya, terus mengembangkan pola-pola pendekatan ini, karena dengan menjaga habitat spesies kunci di sekitar masyarakat, tidak hanya melindungi dari ancaman bencana, tapi juga mendatangkan rezeki.
Sedangkan pendampingan oleh TNC di dua kampung tersebut membentuk warga yang mampu membangun kampung secara mandiri dan perlahan menjadi destinasi wisata unggulan.
Di Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, misalnya, kawasan dengan hutan desa seluas 8.245 hektare ini bisa menikmati 10 destinasi unggulan, yakni Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, Gua Beloyot, Kabila, Gua Lungun, Gua Parcay, Lima Cahaya, Danau Tebo, Gua Sedepan Bu, dan Susur Sungai.
Penggemar wisata alam dipastikan tertarik menikmati keindahan stalaktit dan stalakmit dari gua-gua karst di Merabu hingga cap telapak tangan manusia purba.
Menurut Niel, keindahan alami Kampung Merabu merupakan jerih payah warga dalam menjaga hutan desa, sehingga hutan yang ada sejak mereka lahir itu, kini banyak menjadi tujuan penelitian dan pariwisata.
"Ketika banyak orang yang berkunjung ke kampung mereka, maka rezeki pasti mengalir karena pengunjung pasti perlu makan, minum, guide (pendamping), transportasi, masuk objek wisata, dan biaya lain, sehingga hal ini akan menambah pendapatan warga desa," ucap Niel.
Kisah yang hampir juga dialami oleh warga Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.
Desa yang mendapat pendampingan TNC sejak 2004 ini sudah memiliki hutan lindung seluas 38.000 hektare yang diakui pemerintah dan pada April lalu masuk sebagai tujuan Ekspedisi Kutai Timur oleh Dinas Pariwisata Kutai Timur.
Hutan Lindung Wehea merupakan liku panjang masyarakat Adat Wehea untuk menjaga hutan mereka.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhirnya mengukuhkan Hutan Lindung Wehea di bawah pengelolaan Masyarakat Adat Wehea pada 2015.
Pengakuan itu memberikan hak bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan dan menyejahterakan warga Wehea.
"Hutan lindung ini, selain menjadi tujuan wisata juga menjadi tempat penelitian. Hutan Wehea adalah rumah bagi 61 jenis mamalia yang beberapa di antaranya tergolong satwa langka, seperti empat jenis kucing hutan, orangutan, dan beruang madu," tutur Niel. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017