Samarinda (ANTARA Kaltim) - Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Kalimantan Timur meminta pihak berwenang menertibkan semua kegiatan praktik kesehatan ilegal bukan dokter, tetapi melakukan praktik layaknya dokter dan disinyalir banyak terjadi di daerah setempat.

"Kalau berdasarkan pengamatan saya, di Kaltim banyak perawat yang melakukan praktik seperti dokter, tapi jumlah pastinya saya tidak tahu persis karena belum dilakukan pendataan. Perawat boleh praktik, tetapi sesuai kompetensinya, bukan seperti praktik dokter," kata Ketua IDI Kaltim dr Nataniel Tandirogang dihubungi Antara di Samarinda, Kamis.

Perawat, lanjutnya, bisa membuka praktik, bahkan ada regulasi yang mengaturnya, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.

Namun, praktik yang diperbolehkan berdasarkan aturan itu adalah sesuai dengan kompetensi seorang perawat, bukan praktik layaknya dokter yang banyak terjadi di sejumlah lokasi.

Tugas dan kompetensi perawat adalah melakukan asuhan keperawatan yang berarti melakukan perawatan seperti memasang infus, merawat luka, ganti perban, dan jenis perawatan lain, bukan mengobati.

Menurut Nataniel, perawat boleh mengobati tetapi dengan menggunakan obat yang dijual bebas di toko obat, karena jenis itu memang tidak berbahaya seperti analgetik, vitamin, dan mineral.

Sedangkan untuk jenis obat narkotik (Opait) seperti tramadol dan fentanil, jenis obat psikotropika obat tidur aprazolam, jenis obat keras daftar G "Gevaarlijk" atau obat berbahaya harus dengan pengawasan dan resep dokter.

Terkait dengan adanya oknum di Kabupaten Kutai kartanegara yang diduga salah memberikan obat kepada pasien yang kemudian dilaporkan oleh seorang dokter puskesmas dr Bahrul Huda, ia mengatakan ternyata yang bersangkutan bukan mantri atau perawat, tetapi memang orang yang bersangkutan pernah belajar tentang kesehatan.

"Terlepas orang yang dilaporkan itu perawat atau bukan, yang jelas orang itu bukan dokter sehingga tidak boleh melakukan praktik seperti dokter. Ini termasuk penipuan dan tindakannya bisa membahayakan masyarakat. Ini merupakan kasus pidana sehingga menjadi wewenang polisi dalam melakukan tindakan," ujarnya.

Dalam laporan yang dilakukan oleh Bahrul Huda, oknum tersebut memberikan obat penghilang rasa nyeri kepada pasien tekanan darah tinggi berupa tramadol, voltaren 50 mg, diclofenak 50 mg, dan dexamethason. Empat jenis obat itu tertulis dikonsumsi 3x1 (tiga kali sehari).

Menurut Nataniel, pemberian obat tersebut jelas salah karena dilakukan tidak sesuai dengan kompetensi mengingat pelakunya bukanlah dokter, sehingga takaran pemberian obat juga menyalahi aturan. Apalagi empat jenis obat itu harus dalam pengawasan dokter karena jenis yang berbahaya.

Ia berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak supaya tidak terulang kembali, selanjutnya pihak berwenang diharapkan menindak oknum yang melakukan tindakan pidana. Termasuk apotek yang menjual obat berbahaya dan daftar G dengan bebas juga menyalahi aturan karena bisa membahayakan masyarakat.

"Kami bersama Dinas Kesehatan dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) juga harus duduk bersama guna meluruskan tugas dan fungsi masing-masing, yakni masing-masing profesi menjalankan tugas sesuai kompetensinya agar tidak ada masyarakat yang dirugikan," ujar Nataniel. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017