Yogyakarta (ANTARA Kaltim) - Guna mengatasi ketergantungan impor daging sapi maka target program bantuan 2 juta ekor sapi harus benar-benar dimaksimalkan. Untuk itu dibutuhkan payung hukum tingkat daerah yang mengatur regulasinya.

Ketua Komisi II DPRD Kaltim Edy Kurniawan mengatakan, Kaltim perlu mencontoh DIY terkait program swasembada daging sapi melalui program pemberian insentif kepada para petani guna menjaga regenerasinya.
Program Pemerintah Provinsi DIY menurut Edy, sudah mendapat dukungan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Koperasi dan UKM yang menyatakan mendukung penuh program GBIB (Gerakan Penyerentakan Birahi dan Inseminasi Buatan) maupun pencanangan UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Sapi Induk Wajib Bunting) yang dicanangkan Kementerian Pertanian.

Ditambahkannya, program swasembada daging digalakkan melalui pengendalian sapi betina produktif. Sapi betina produktif yang masuk Rumah Potong Hewan (RPH) bisa dikendalikan dengan bantuan dari pemerintah pusat.

Karena ada program dari pemerintah pusat yang memberikan insentif kepada sapi betina yang bunting itu untuk tidak dipotong. "Jadi sapi betina yang bunting di atas lima bulan dapat insentif. Besarannya dari Rp 500 ribu – Rp 1 juta per sapi. Di Yogyakarta, diambil rata Rp 600 ribu per sapi," tutur Kasi Keswan dan Kesmavet Anung Endah Suwasti yang menemui rombongan Komisi I.

Adapun caranya, melalui kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Ketika mereka menjual sapi betina bunting produktif ke RPH, langsung mendapat insentif. Kemudian wajib melapor pada saat sapi betina tersebut melahirkan.

Intinya, pemerintah melakukan sosialisasi ke masyarakat luas tidak hanya kelompok tani terkait induk sapi betina yang produktif tidak boleh dipotong. Termasuk menjelaskan bahwa uang insentif yang nantinya diterima sebesar Rp 600 ribu per sapi itu untuk program pemeliharaanya seperti membeli pakan dan lainnya. Juga pembesaran anak ketika sapi betina melahirkan.

Kondisi itu berbeda jauh dengan yang terjadi di Kaltim, yakni ketika datang bibit sapi baik melalui bantuan pemerintah maupun mandiri masyarakat. Setelah dilakukan pemeliharaan dan penggemukkan dan ketika dinilai sudah cukup kemudian dijual.

"Tidak lagi dilihat sapi betina produktif atau tidak. Yang penting umurnya telah cukup langsung bagaimana bisa jadi uang," sebut Edy didampingi Andika Hasan, Edy Kurniawan, Marsidik, Artya Fathra Martin dan lainnya.
Hal ini menjadikan angka kelahiran sapi di Kaltim menjadi sangat rendah apabila dibandingkan dengan daerah lainnya. Artinya, pola pikir masyarakat harus diubah dari sekadar penggemukan sapi ke program pengembangan sapi betina produktif.

Edy mengakui bahwa memang di Yogyakarta tidak ada peraturan daerah tentang pengendalian sapi betina produktif hingga saat ini yang ada hanya berupa peraturan gubernur.

"Ada hal yang menarik juga dari para petani. Satu keluarga memelihara satu hingga beberapa ekor sapi. Sehingga cukup memudahkan mengembangbiakannya. Jadi mereka menabung dengan cara memelihara sapi," ucapnya.

Berbeda dengan Kaltim yang saat ini membahas rancangan peraturan daerah tentang pengendalian sapi betina produktif. Dalam rangka mengurangi impor daging sapi dari luar daerah seperti Sulawesi hingga Bali.

Program bantuan dua juta ekor sapi ke Kaltim, masih berupa bibit atau anakan. Diharapkan ke depannya para petani yang melakukan pemeliharan tidak hanya melakukan penggemukkan saja melainkan juga menjaga induk sapi betina produktif agar tercipta regenerasi yang akhirnya mampu mencukupi kebutuhan daging sapi di daerah. (Humas DPRD Kaltim/adv)

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016