Samarinda (ANTARA Kaltim) - Provinsi Kalimantan Timur dinilai menjadi daerah yang paling komitmen dalam pembangunan hijau alias pembangunan berwawasan lingkungan, yang dibuktikan dengan keberhasilan memasukkan program Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan (REDD+) di RPJMD.

"Komitmen Pemprov Kaltim dalam pembangunan hijau ditunjukkan dengan sudah diintegrasikannya konsep Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan (REDD+) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)," kata Ketua Dewan Daerah Perubahan Iklim Daddy Ruhiyat di Samarinda, Kamis.

Di tengah isu kerusakan lingkungan, lanjutnya, Provinsi Kaltim yang diwakili Dewan Daerah Perubahan Iklim, konsisten dalam menuju Kaltim Hijau.

"Ini menunjukkan Kaltim punya komitmen politik yang tinggi terhadap upaya mengatasi kerusakan lingkungan," tambahnya.

Implikasi dari masuknya konsep REDD+ dalam dokumen RPJMD Kaltim adalah tersedianya alokasi anggaran pemerintah khusus untuk kegiatan-kegiatan terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan/ REDD+.

"Provinsi lain belum berhasil memasukkan konsep REDD+ dalam RPJMD, menunjukkan keseriusan Kaltim yang luar biasa," ujar Daddy.

Menurut ia, Kaltim juga menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang masuk program "Forest Carbon Partnership Facility" (FCPF) atau REDD+ berbayar, karena paling siap di antara provinsi lain sehingga pemerintah pusat mempercayakan kepada Kaltim.

Masuknya Kaltim dalam program ini berarti Pemprov Kaltim berhak mendapatkan 5 dolar Amerika per ton emisi CO2 yang berhasil dikurangi. Diperkirakakan Kaltim memiliki 3 juta ton karbon yang bisa ditambat.

Namun demikian, nominal 5 dolar kali 3 juta ton sama dengan Rp195 miliar tersebut, bukanlah keuntungan terbesar bagi masyarakat, karena ada nilai jasa lingkungan yang bisa diperoleh masyarakat, seperti sumber air masyarakat terjaga, bencana alam bisa menurun, hingga kembalinya hewan dan flora yang sudah mulai langka.

Sejumlah kemajuan tersebut, lanjut Daddy, akan ditunjukkan Kaltim dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim di Maroko, 7-18 November 2016. Apalagi Kaltim mendapat tiga sesi untuk menjelaskan konsep dalam agenda internasional tersebut.

"Namun harus diakui, kerusakan lingkungan dan masalah baru terkait perizinan masih mengancam program Kaltim Hijau. Untuk itu, semua pihak perlu menyamakan presepsi menjalankan dokumen yang sudah dibuat," ujarnya. (*)

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016