Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Petugas patroli dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menahan Kapal Motor Nagama Biru 01 di Perairan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat, yang mengangkut sekitar 180 ekor ikan napoleon (Cheilinus undulatus) dalam keadaan hidup.
"Ini jenis ikan karang dan dilindungi dengan pemanfaatan terbatas. Untuk membawanya perlu izin-izin khusus," kata Koordinator Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan Balikpapan Hamzah Kharisma di Balikpapan, Jumat petang.
Secara khusus, jelas dia, pengangkutan ikan napoleon secara legal memerlukan surat izin yang dituangkan dalam Surat Angkut Tumbuhan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) yang dikeluarkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Secara umum, kapal yang mengangkut juga harus memiliki Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI) dari KKP.
"Baik nakhoda maupun kelima awak kapal tidak bisa memperlihatkan izin-izin tersebut, terutama izin SATS-DN, sehingga kapal dan awaknya kami tahan dan diproses penyidik KKP," tegas Hamzah.
Manifes KM Nagama Biru sebagai kargo kapal adalah 1 ton ikan kerapu yang ada di tiga bagian palka atau ruang muatan kapal berbobot 35 Gross Ton (GT) tersebut, sementara mengenai muatan ikan napoleon yang menempati satu bagian palka tersendiri sama sekali tidak disebut.
Peraturan pemanfaatan terbatas itu diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2013, di mana ikan napoleon dalam ukuran berat 100 hingga 1.000 gram dan di atas 3.000 gram dilarang dimanfaatkan dengan alasan mengganggu kesempatannya berkembang biak.
"Ikan-ikan yang ditemukan di palka KM Nagama Biru berada pada zona berat yang dilarang ini," tambah Hamzah.
Ikan napoleon dilindungi dari eksploitasi sebab jumlahnya yang semakin sedikit. Statusnya berada pada daftar merah IUCN sebagai terancam punah, dengan rata-rata populasi di seluruh dunia hanya 20 ikan per hektare.
IUCN adalah International Union Conservation of Nature, lembaga internasional yang menetapkan kondisi konservasi suatu spesies.
Di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, ikan napoleon ditemukan di Perairan Pulau Maratua, Pulau Sangalaki, dan Pulau Derawan.
Pada survei tahun 2015 di Sangalaki, tingkat populasinya tercatat 0,005 individu per hektare, kemudian di Pulau Derawan ada 0,13 per hektare dari survei 2014, dan 0,9 ekor per hektare di Pulau Maratua.
Dan bukan kebetulan, seperti dituturkan Hamzah, berdasarkan pengakuan kapten dan anak buah kapal, KM Nagama Biru mendapatkan ikan-ikan napoleon, juga kerapu yang ada di kapal, dari nelayan di Kepulauan Derawan.
Kapten kapal bertindak sebagai pengepul, membeli dari nelayan, untuk kemudian dibawa ke Bali dan diekspor.
Ikan napoleon bernilai ekonomis tinggi sebab digemari, antara lain di Hongkong. Satu kilogram ikan napoleon bisa dihargai Rp600 ribu-800 ribu di tingkat nelayan dan sampai Rp1 juta oleh eksportir, dan lebih lagi di meja konsumen.
"Makan ikan ini membawa gengsi dan `prestise` (kehormatan)," kata Kepala Satuan Kerja Balikpapan Balai Pengelola Sumber Daya Pesisir Laut (BPSDL) Pontianak Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Ricky.
Hal yang juga mencemaskan, tambah Ricky, bahwa penangkapan hidup-hidup ikan napoleon sering menggunakan bahan kimia berbahaya, seperti sianida dan potassium.
Kedua jenis racun itu digunakan dengan ditebar di perairan untuk melumpuhkan ikan sehingga mudah ditangkap.
"Akibatnya, terumbu karang juga jadi rusak," kata Ricky. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
"Ini jenis ikan karang dan dilindungi dengan pemanfaatan terbatas. Untuk membawanya perlu izin-izin khusus," kata Koordinator Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan Balikpapan Hamzah Kharisma di Balikpapan, Jumat petang.
Secara khusus, jelas dia, pengangkutan ikan napoleon secara legal memerlukan surat izin yang dituangkan dalam Surat Angkut Tumbuhan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) yang dikeluarkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Secara umum, kapal yang mengangkut juga harus memiliki Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI) dari KKP.
"Baik nakhoda maupun kelima awak kapal tidak bisa memperlihatkan izin-izin tersebut, terutama izin SATS-DN, sehingga kapal dan awaknya kami tahan dan diproses penyidik KKP," tegas Hamzah.
Manifes KM Nagama Biru sebagai kargo kapal adalah 1 ton ikan kerapu yang ada di tiga bagian palka atau ruang muatan kapal berbobot 35 Gross Ton (GT) tersebut, sementara mengenai muatan ikan napoleon yang menempati satu bagian palka tersendiri sama sekali tidak disebut.
Peraturan pemanfaatan terbatas itu diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2013, di mana ikan napoleon dalam ukuran berat 100 hingga 1.000 gram dan di atas 3.000 gram dilarang dimanfaatkan dengan alasan mengganggu kesempatannya berkembang biak.
"Ikan-ikan yang ditemukan di palka KM Nagama Biru berada pada zona berat yang dilarang ini," tambah Hamzah.
Ikan napoleon dilindungi dari eksploitasi sebab jumlahnya yang semakin sedikit. Statusnya berada pada daftar merah IUCN sebagai terancam punah, dengan rata-rata populasi di seluruh dunia hanya 20 ikan per hektare.
IUCN adalah International Union Conservation of Nature, lembaga internasional yang menetapkan kondisi konservasi suatu spesies.
Di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, ikan napoleon ditemukan di Perairan Pulau Maratua, Pulau Sangalaki, dan Pulau Derawan.
Pada survei tahun 2015 di Sangalaki, tingkat populasinya tercatat 0,005 individu per hektare, kemudian di Pulau Derawan ada 0,13 per hektare dari survei 2014, dan 0,9 ekor per hektare di Pulau Maratua.
Dan bukan kebetulan, seperti dituturkan Hamzah, berdasarkan pengakuan kapten dan anak buah kapal, KM Nagama Biru mendapatkan ikan-ikan napoleon, juga kerapu yang ada di kapal, dari nelayan di Kepulauan Derawan.
Kapten kapal bertindak sebagai pengepul, membeli dari nelayan, untuk kemudian dibawa ke Bali dan diekspor.
Ikan napoleon bernilai ekonomis tinggi sebab digemari, antara lain di Hongkong. Satu kilogram ikan napoleon bisa dihargai Rp600 ribu-800 ribu di tingkat nelayan dan sampai Rp1 juta oleh eksportir, dan lebih lagi di meja konsumen.
"Makan ikan ini membawa gengsi dan `prestise` (kehormatan)," kata Kepala Satuan Kerja Balikpapan Balai Pengelola Sumber Daya Pesisir Laut (BPSDL) Pontianak Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Ricky.
Hal yang juga mencemaskan, tambah Ricky, bahwa penangkapan hidup-hidup ikan napoleon sering menggunakan bahan kimia berbahaya, seperti sianida dan potassium.
Kedua jenis racun itu digunakan dengan ditebar di perairan untuk melumpuhkan ikan sehingga mudah ditangkap.
"Akibatnya, terumbu karang juga jadi rusak," kata Ricky. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016