Samarinda (ANTARANews - Kaltim) - Keberadaan bekantan (Nasalis larvatus) atau sering disebut monyet hidung panjang (hidungnya menyerupai belalai) diperkirakan bisa punah dalam 14 tahun akan datang jika tidak ada upaya nyata untuk menyelamatkan satwa langka itu.

"Jika menghitung laju kerusakan hutan mangrove yang menjadi habitatnya, maka populasi satwa langka ini akan punah dalam waktu kurang dari 14 tahun jika tidak ada tindakan segera untuk melindungi mereka. Ancaman utama bagi keberadaannya adalah terus berkurangnya habitat (hutan mangrove) primata langka ini," kata primatalog, Stanislav Lhota di Balikpapan, Sabtu.

Ilmuwan dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya yang kini meneliti kehidupan berbagai satwa langka di Teluk Balikpapan itu memaparkan bahwa faktor utama penyebab hilangnya habitat bekatan adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit, industri pesisir dan kompleks perumahan besar di sepanjang pantai dan pinggiran sunggai. 

"Dampak dari bisnis minyak sawit lebih besar daripada bisnis lain atas kerusakan ini. Bukan hanya karena konversi lahan yang ekstensif pada pinggiran sungai dan pantai ke perkebunan kelapa sawit (terutama di Ulu Teluk Balikpapan) tetapi juga karena pengembangan parik pengelolaan CPO (minyak sawit mentah) di sepanjang pantai barat kota Balikpapan," ujarnya menerangkan.
  
Keberadaan bekantan di Teluk Balikpapan begitu penting, pasalnya kawasan itu menjadi salah satu tempat populasi bekantan terbesar di dunia. Populasi bekantan mencapai 1.400 ekor di Teluk Balikpapan mewakili lima persen primata berbulu kuning itu di seluruh dunia.
  
"Keberadaan bekantan di Teluk Balikpapan sangat strategis bagi upaya penelitian serta pelestarian satwa langka itu sehingga isu-isu perlindungan dan pegelolaan Teluk Balikpapan di Kalimantan Timur semakin
diperhatikan pada tingkat internasional," katanya mengungkapkan. 
  
Misalnya, kata Stanislav Lhota, belum lama ini, keberadaan bekatan di Teluk Balikpapan kembali dibahas di Jepang dalam Kongres Internasional Primatologi di Kyoto. Kongres ini dihadiri oleh lebih dari 1.000 spesialis dalam penelitian dan konservasi primata, termasuk selebritis terkenal seperti Jane Goodall, peneliti simpanse.
  
Ia mengungkapkan bahwa dalam kongres itu menganggap bahwa faktor dominan yang mengancam habitat satwa langka tersebut adalah perencanaan untuk membangun Jembatan Pulau Balang.
  
"Jalan penghubung ke Pualu Balang akan menyebabkan perambahan besar-besaran dan konversi hutan yang pada akhirnya akan menyebabkan bencana ekologis bagi seluruh ekosistem," katanya. 
  
Bukti nyata tentang ancaman itu adalah pemerintah daerah (Pemprov Kaltim, Pemkot Balikpapan dan Pemkab Penajam Paser Utara) tidak mampu menghentikan perambahan yang terjadi sekeliling jalan ke  Teluk Waru yang lewat perbatasan selatan Hutan Lindung Sungai Wain. 
   
"Pihak-pihak perduli lingkungan tidak menentang rencana pemerintah membangun namun seharusnya lebih ramah lingkungan, seperti solusi yang ditawarkan adalah membangun jembatan langsung dari Balikpapan ke  Penajam (Jembatan Gunung Seteleg - Tanjung Batu) sehingga tidak perlu menghubungkan jalan sepanjang pesisir," katanya.
   
Perencanaan lain yang dianggap tidak berpihak kepada pelestarian lingkungan adalah  rencana memangun pagar di sepanjang jalan penghubung ke Pulau Balang. Pasalnya, bisa menyebabkan kerusakan lebih dari perbaikan. 
  
"Pagar akan benar-benar menghancurkan semua koridor satwa yang masih menghubungkan ekosistem mangrove dengan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW). Kasus ini menggambarkan bahwa perencanaan perlindungan alam dilakukan tanpa memahami situasi nyata," papar dia.
   
Ia juga menilai bahwa kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkugan (AMDAL) juga diidentifikasi sebagai praktek yang kurang efektif dan bertanggung jawab atas sebagian besar kerusakan lingkungan. AMDAL di Teluk Balikpapan dilakukan tanpa investigasi lapangan rinci dan seringkali menggunakan data palsu. 
  
"Contoh yang sangat jelas adalah AMDAL untuk Jembatan Pulau Balang, yang benar-benar tidak memadai tetapi masih dianggap oleh pemerintah provinsi sebagai bukti bahwa tidak ada dampak  lingkungan yang nyata dari jembatan," katanya.

Ia mengharapkan agar Pemprov Kaltim yang sudah mencanangkan "Kaltim Green" benar-benar menjalankan program yang berpihak kepada sektor ekologis bukan sekedar "lips service".


Kemauan Politik

  
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim menilai bahwa perlu kemauan politik (political will) baik Pemprov Kaltim maupun Pemkot Balikpapan dan Pemkab Penajam Paser Utara untuk menyelamatkan satwa langka bekantan (Nasalis larvatus) di Teluk Balikpapan.
  
"Tinggal kemauan politik dari Pemda (Pemkot Balikpapan dan Pemkab PPU) agar bersungguh-sungguh dalam upaya pelestarian alam, baik habitat  maupun bekantannya, mengingat dari sisi peraturan mulai dari UU (undang-undang), PP  (peraturan pemerintah) sampai Perda (peraturan daerah) sudah lengkap, cuma terbentur dengan penerapannya," kata Direktur Walhi Kaltim, Ical Wardhana.

Ia menambahkan bahwa kemauan politik dibutuhkan karena hutan di kawasan pesisir pada  dua daerah itu (Balikpapan dan PPU) terus dibabat untuk berbagai aktifitas baik pemerintah maupun pihak swasta. 

Isal menilai sudah saatnya pemerintah daerah benar-benar mengimplimentasikan sebuah perencanaan dan kegiatan benar-benar berwawasan lingkungan seperti program yang telah dicanangkan Pemprov Kaltim, yakni "Kaltim Hijau"

Pewarta:

Editor : Iskandar Zulkarnaen


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010