Hari itu sinar mentari masih terik ketika rombongan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi Kalimantan Timur yang dipimpin Bagus Syahputra tiba di Desa Suatang, Kecamatan Pasir Belengkong, Kabupaten Paser.

Suatang merupakan salah satu desa online di provinsi ini. Desa ini menjadi satu-satunya di Kaltim yang tahun 2016 dipersiapkan mengikuti Lomba Desa Nasional, karena pada 2015 berhasil menjadi juara pertama dalam lomba desa tingkat provinsi.

Masih ada beberapa desa lain yang bisa dikunjungi secara online untuk melihat profil desa di Kaltim. Namun belum ada catatan resmi dari pemprov berapa jumlah desa online yang sudah bisa diakses.

Sedangkan secara nasional, Kementerian Desa menargetkan tercapai 30.000 desa online pada 2016 dan secara bertahap jumlahnya terus didorong dilakukan penambahan, sehingga pada 2019 semua desa di Indonesia bisa diakses menggunakan teknologi informasi.

Apabila semuanya bisa menjadi desa online, maka pemerintah akan mudah mengetahui perkembangan desa karena profil desa bisa dilihat kapanpun dan dari manapun. 

Ini berarti aparatur desa harus memperbarui perkembangan di desa paling tidak satu tahun sekali, agar diketahui informasi perkembangan terkini baik mengenai perkembangan penduduk, potensi, dan lainnya.

Menurut Masraniansyah, Kepala Desa Suatang, tahun 2016 di desa yang dipimpinnya itu dihuni sebanyak 1.369 jiwa yang terdiri 718 laki-laki dan 651 perempuan. Mereka tergabung dalam 398 kepala keluarga (KK).

Rincian dari jumlah penduduk sebanyak itu, terdapat angkatan kerja dengan usia 18-56 tahun sebanyak 858 jiwa, penduduk usia 18-56 tahun yang masih sekolah dan tidak bekerja sebanyak 105 orang.

Kemudian jumlah penduduk usia 18-56 tahun yang menjadi ibu rumah tangga sebanyak 172 orang, pekerja penuh sebanyak 556 orang, bekerja tidak tentu sebanyak 20 orang, penduduk cacat dan tidak bekerja sebanyak tujuh orang.

Dari sisi kesejahteraan keluarga, lanjutnya, terdapat 46 KK yang menjadi keluarga sejahtera, keluarga sejahtera 1 terdapat 52 KK, keluarga sejahtera 2 sebanyak 52 KK, sejahtera 3 sebanyak 147 KK, dan belum ada KK yang kategori sejahtera 3 plus.



Andalkan Sawit

Desa Suatang yang total memiliki luas 4.074,60 hektare (ha) dan berjarak sekitar 285 km dari Samarinda, Ibu Kota Kalimantan Timur ini, sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai pekebun kelapa sawit.

Dari total luas Suatang sebesar itu, pemanfaatannya antara lain lahan yang digunakan permukiman penduduk tercatat 4 ha, persawahan seluas 266,50 ha, prasarana umum dan lainnya seluas 4 ha.

"Sedangkan total luas perkebunan sawit di Suatang mencapai 3.705 ha dengan kepemilikan satu KK antara 2-3 ha, namun ada juga beberapa warga yang tidak memiliki kebun sawit," ujar Masraniansyah.

Untuk menjual hasil panen sawit berupa tandan buah segar (TBS), warga Suatang tidak kesulitan karena di sekitar perkebunan mereka sudah ada pabrik pengolahan minyak sawit yang siap menampung TBS warga. Sedangkan pabrik pengolahan kelapa sawit di Kabupaten Paser sebanyak 18 pabrik yang tersebar di sejumlah kawasan perkebunan.

Rata-rata perkebunan sawit di Suatang menganut pola koperasi atau pola pendanaan yang biayanya dibantu oleh pemerintah melalui bank pemerintah berupa kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), sehingga tingkat ketergantungan pekebun kepada perusahaan sawit nyaris tidak ada.

Berkat perkebunan sawit yang harga TBS-nya rata-rata Rp1.000-Rp1.500 per kg tersebut, perputaran ekonomi di Desa Suatang tergolong mapan, meskipun berdasarkan catatan desa hingga kini belum ada keluarga yang masuk dalam kategori Keluarga Sejahtera 3 Plus.

Setiap hektare kebun sawit rata-rata ditanami sebanyak 150 pohon dengan TBS yang mampu menghasilkan 5-6 ton per hektare per panen. Jika harga TBS diambil terkecil Rp1.000 per kg dikali 5 ton per hektare, maka pekebun akan memperoleh penghasilan Rp5 juta per panen per hektare.

Jika petani memiliki lahan seluas 3 ha, maka hasil penjualannya tentu akan menjadi Rp15 juta per panen. Jumlah ini tentu akan dikurangi biaya operasional dan tenaga sehingga rata-rata penghasilan petani sekitar 50 persen dan total hasil penjualan. Sedangkan dalam satu bulan rata-rata dilakukan panen TBS dua kali.

Selain perkebunan sawit, mata pencaharian warga Suatang lainnya adalah sebagai petani dan peternak sapi. Ada pula sebagian pekebun sawit yang melakukan integrasi sapi-sawit, yakni memelihara sapi di lahan perkebunan kelapa sawit.

Pola integrasi ini tentu sangat menguntungkan bagi warga karena kotoran sapi bisa menjadi pupuk bagi pohon sawit, sedangkan pelepah sawit dan rumput di sekitar kebun bisa dijadikan pakan sapi.

Untuk total lahan sawah di Suatang mencapai 266,50 ha yang semuanya merupakan jenis sawah tadah hujan. Kondisi inilah yang masih dikeluhkan Masraniansyah, sehingga ia berharap ke depan di desanya dibangun irigasi agar sawah warga tidak mati kekeringan saat musim kemarau dan tidak banjir di musim hujan.



Bio Urine

Menurut Masraniansyah, peternak sapi di Suatang sudah semakin cerdas. Hal ini terbukti dari sekitar lima kelompok ternak yang ada, rata-rata sudah mampu memanfaatkan kotoran dan air seni, yakni kotoran sapi dijadikan pupuk dan biogas, sementara urine sapi mampu diubah menjadi Bio Urine yang juga untuk pupuk tanaman, terutama kelapa sawit.

Warga Suatang selain ada yang murni konsentrasi di perkebunan sawit, ada pula beberapa pekebun melakukan kerja ganda sebagai peternak dengan pola integrasi sapi-sawit, sehinga hal ini menguntungkan bagi lingkungan karena nyaris limbah yang ada difungsikan semua.

Dalam memanfaatkan urine sapi menjadi bio urine, lanjut dia, sebelumnya mereka telah mendapat pelatihan sehingga rata-rata kelompok ternak di Suatang mampu menerapkan ilmu yang diajarkan instrukturnya.

Teknis pembuatan pupuk cair berupa bio urine adalah sekitar 1,5 liter bacteri Rumio Bacillus dan 1,5 liter bakteri Azoto Bacter dicampur dengan sekitar 1.000-1.200 liter urine sapi ke dalam bak fermentasi.

Selanjutnya diaduk sampai rata dan ditutup rapat sekitar 1-2 minggu. Kemudian dipompa dengan menggunakan pompa air yang dilewatkan melalui talang air yang dibuat seperti tangga selama 6 jam.

Tujuan pemompaan adalah untuk penguapan bau dan kandungan gas amonia, agar tidak berbahaya bagi tanaman yang akan diberi bio urine. Setelah itu, bahan yang sudah menjadi bio urine tersebut dimasukkan ke dalam jirigen dan siap sebagai pupuk tanaman.

Untuk bak fermentasi, kebanyakan kelompok ternak di Suatang menggali tanah hingga kedalaman 1 mater dengan lebar sekitar 1,5 meter kali 1,5 meter. Cara ini dilakukan untuk mempermudah air seni sapi yang dikandangkan bisa langsung mengalir ke lubang bak yang dibuat.

Rata-rata bio urine yang dihasilkan dipakai sendiri oleh kelompok ternak, yakni digunakan untuk memupuk tanaman sawit yang dilakukan integrasi dengan sapi, sehingga mereka tidak perlu membeli pupuk kimia karena sudah mampu mengolah pupuk cair sendiri.

Sebenarnya banyak pesanan dari luar yang ingin membeli bio urine warga Suatang, tetapi warga tidak ingin menjualnya karena pupuk cair yang ada digunakan untuk kelapa sawit milik warga sendiri.

"Bio urine yang ada saja masih kurang untuk pemupukan sawit warga, jadi tidak mungkin mereka menjualanya karena manfaat bio urine dengan pupuk kimia sama, sedangkan harga masih lebih murah bio urine. Tapi jika jumlah sapi warga banyak dan urine yang dihasilkan juga banyak, bisa saja warga menjual bio urine kepada orang lain," ujarnya.

Mengingat banyaknya permintaan bio urine namun barangnya minim, maka hal ini menjadi peluang bagi pemerintah dan siapapun untuk mengembangkan sapi, karena selain daging sapi di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri, air seninya pun bermanfaat besar bagi tanaman. (*)

Pewarta: Muhammad Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016