Samarinda (ANTARA Kaltim) - Organisasi nasional yang peduli terhadap keberadaan satwa endemik orangutan, Centre For Orangutan Protection atau COP, mendesak Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak agar mengimplementasikan Permenhut Nomor 48 tahun 2008.
Direktur COP Ramadhani, di Samarinda, Kamis menyatakan, jika Pemerintah Provinsi Kaltim termasuk pemerintah kabupaten/kota yang ada di daerah itu mengimplementasikan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48 tahun 2008 tersebut, maka kasus-kasus kematian orangutan dapat dicegah.
"Payung hukumnya sudah jelas, yakni Permenhut Nomor 48 tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar. Jika itu diimplementasikan oleh pemerintah daerah, kami yakin kasus-kasus konflik manusia dengan orangutan bisa dicegah," ujar Ramadhani.
COP lanjut Ramadhani mencatat, sepanjang 2016 yakni pada periode Februari-Mei 2016, lima orangutan mati, empat diantaranya diduga kuat akibat campur tangan manusia atau konflik dengan manusia.
Ia merinci, pada 20 Februari 2016, tiga orangutan tewas terpanggang akibat kebakaran lahan di dekat kawasan PT Pupuk Kaltim atau sekitar areal hutan lindung Bontang.
Pada kasus tersebut, polisi telah menetapkan tersangka, pelaku pembakaran lahan yang menyebabkan tiga orangutan tersebut mati terbakar.
Kasus orangutan mati kembali terjadi setelah ditemukan bangkai primata tercerdas tersebut mengapung di Sungai Sangatta, Kutai Timur, pada Minggu (1/5).
Pada tubuh orangutan mati mengapung itu juga ditemukan sejumlah luka.
"Kami belum bisa menyimpulkan apakah kasus orangutan mengapung itu akibat konflik dengan manusia atau dengan sesama satwa," ujar Ramadhani.
Hanya berselang dua hari, yakni pada Selasa (3/5), kembali ditemukan satu individu orangutan terjerat dalam kondisi terluka parah yang kemudian akhirnya mati pada Jumat malam (6/5) 19.45 Wita akibat infeksi pada bagian pencernaan..
Selain terdapat sejumlah luka, termasuk luka bekas jeratan di tubuh orangutan jantan yang diperkirakan berusia lebih 20 tahun itu, ditemukan lima peluru senapan angin.
"Adanya lima peluru bersarang di tubuh orangutan itu mengindikasikan terjadinya konflik dengan manusia. Ini tentu menjadi keprihatinan kita, sebab kurun waktu empat bulan terakhir, lima orangutan mati, diduga akibat konflik dengan manusia," tutur Ramadhani.
COP tambah dia, berencana menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Kaltim termasuk di kantor Pemkab Kutai Timur untuk mendesak pemerintah setempat agar lebih peduli terhadap keberlangsungan hidup satwa langka dan dilindungi itu.
"Jika belajar dari pengalaman kasus pembantaian oragutan di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara pada 2011, konflik manusia dengan orangutan seharusnya tidak harus terjadi lagi," katanya.
"Apalagi, ada payung hukum terkait penanganan konflik manusia dengan satwa liar, dimana kewenangan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Jadi, kami mendesak Pemprov Kaltim dan bupati agar segere mengimplementasikan Permenhut 48/2008 tersebut," ujar Ramadhani.
COP lanjut Ramadhani juga mendesak kepolisian agar segera mengusut tuntas kasus kematian orangutan yakni yang ditemukan mengapung dan terjerat di Kutai Timur. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
Direktur COP Ramadhani, di Samarinda, Kamis menyatakan, jika Pemerintah Provinsi Kaltim termasuk pemerintah kabupaten/kota yang ada di daerah itu mengimplementasikan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48 tahun 2008 tersebut, maka kasus-kasus kematian orangutan dapat dicegah.
"Payung hukumnya sudah jelas, yakni Permenhut Nomor 48 tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar. Jika itu diimplementasikan oleh pemerintah daerah, kami yakin kasus-kasus konflik manusia dengan orangutan bisa dicegah," ujar Ramadhani.
COP lanjut Ramadhani mencatat, sepanjang 2016 yakni pada periode Februari-Mei 2016, lima orangutan mati, empat diantaranya diduga kuat akibat campur tangan manusia atau konflik dengan manusia.
Ia merinci, pada 20 Februari 2016, tiga orangutan tewas terpanggang akibat kebakaran lahan di dekat kawasan PT Pupuk Kaltim atau sekitar areal hutan lindung Bontang.
Pada kasus tersebut, polisi telah menetapkan tersangka, pelaku pembakaran lahan yang menyebabkan tiga orangutan tersebut mati terbakar.
Kasus orangutan mati kembali terjadi setelah ditemukan bangkai primata tercerdas tersebut mengapung di Sungai Sangatta, Kutai Timur, pada Minggu (1/5).
Pada tubuh orangutan mati mengapung itu juga ditemukan sejumlah luka.
"Kami belum bisa menyimpulkan apakah kasus orangutan mengapung itu akibat konflik dengan manusia atau dengan sesama satwa," ujar Ramadhani.
Hanya berselang dua hari, yakni pada Selasa (3/5), kembali ditemukan satu individu orangutan terjerat dalam kondisi terluka parah yang kemudian akhirnya mati pada Jumat malam (6/5) 19.45 Wita akibat infeksi pada bagian pencernaan..
Selain terdapat sejumlah luka, termasuk luka bekas jeratan di tubuh orangutan jantan yang diperkirakan berusia lebih 20 tahun itu, ditemukan lima peluru senapan angin.
"Adanya lima peluru bersarang di tubuh orangutan itu mengindikasikan terjadinya konflik dengan manusia. Ini tentu menjadi keprihatinan kita, sebab kurun waktu empat bulan terakhir, lima orangutan mati, diduga akibat konflik dengan manusia," tutur Ramadhani.
COP tambah dia, berencana menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Kaltim termasuk di kantor Pemkab Kutai Timur untuk mendesak pemerintah setempat agar lebih peduli terhadap keberlangsungan hidup satwa langka dan dilindungi itu.
"Jika belajar dari pengalaman kasus pembantaian oragutan di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara pada 2011, konflik manusia dengan orangutan seharusnya tidak harus terjadi lagi," katanya.
"Apalagi, ada payung hukum terkait penanganan konflik manusia dengan satwa liar, dimana kewenangan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Jadi, kami mendesak Pemprov Kaltim dan bupati agar segere mengimplementasikan Permenhut 48/2008 tersebut," ujar Ramadhani.
COP lanjut Ramadhani juga mendesak kepolisian agar segera mengusut tuntas kasus kematian orangutan yakni yang ditemukan mengapung dan terjerat di Kutai Timur. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016