Samarinda (ANTARA Kaltim) -  Organisasi nasional yang peduli terhadap keberadaan satwa endemik orangutan, Centre for Orangutan Protection (COP), menemukan 13 individu orangutan terjebak di kawasan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Direktur COP Ramadhani, dihubungi dari Samarinda, Senin menyatakan, ke-13 Orangutan Kalimantan (pongo pygmeaus morio) itu ditemukan terjebak di hutan-hutan kecil yang terfragmentasi dengan kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT AE di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.

"Selama satu bulan terakhir, tim kami melakukan pemantauan di lapangan dan menemukan hutan sisa atau hutan-hutan kecil yang terfragmentasi dengan kawasan perkebunan kelapa sawit milik PT Ae. Hutan-hutan kecil tersebut ada yang luasnya hanya dua hektare dan tiga hektare yang tidak menyambung akibat dikelilingi perkebunan kelapa sawit," kata Ramadhani.

"Di dalam hutan-hutan sisa itulah tim kami (COP) menemukan ada beberapa kelompok orangutan, yakni satu kelompok terdapat tiga hingga lima individu bersama induknya berada di beberapa titik hutan sisa tersebut," ujarnya.

COP lanjut Ramadhani pada Kamis (10/3) telah menggelar unjuk rasa di Kantor PT AE di Jakarta sekaligus menyerahkan dokumen terkait adanya satwa langka dan dilindungi di kawasan perkebunan kelapa sawit mereka.

"Kami sudah bertemu dengan manajemen PT AE dan mereka menyatakan akan menindaklanjuti laporan kami tersebut dan akan segera melakukan kroscek di lapangan apakah betul titik yang kami temukan itu benar berada di lokasi mereka, namun sampai saat ini kami belum menerima konfirmasi dari PT AE apakah mereka telah melakukan identifikasi lokasi," tutur Ramadhani.

Ia memastikan, orangutan yang terjebak di hutan sisa di sekitar areal perkebunan kelapa sawit tersebut tidak akan bertahan hidup.

"Langkah awal yang kami lakukan yakni, segera melakukan upaya penyelamatan terhadap 13 orangutan tersebut. Kemudian, langkah berikutnya mempertanyakan izin PT AE terkait pemanfaatan lahan di kawasan populasi orangutan tersebut.

COP menilai, telah terjadi kesalahan serius dalam hal pemberian izin dan pelaksanaan izin perkebunan kelapa sawit di kawasan tersebut.

COP juga berhasil mengidentifikasi berbagai jenis satwa liar langka dan dilindungi seperti Owa Abu (Hylobates muelleri) dan Rangkok (Bucherotidae).

Keberadaan beragam jenis satwa liar menurut Ramadhani, merupakan bukti bahwa kawasan tersebut dulunya memang merupakan kawasan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi (High Conservation Value).

"Hal itu bisa dipandang sebagai sebuah kejahatan jika didasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pasal 21 ayat 2 poin (e) yang menyatakan, setiap orang dilarang untuk mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/sarang satwa yang dilindungi," katanya.

"Adanya orangutan di areal itu mengindikasikan bahwa hutan tersebut merupakan konservasi tinggi. Jadi, kami minta pemerintah meninjau ulang izin PT AE," tutur Ramadhani.

PT AE kata dia, harus bergerak cepat untuk mencegah kejahatan lanjutan yang sangat mungkin terjadi, misalnya perburuan.

"Ke-13 orangutan tersebut merupakan target mudah bagi para pemburu karena sempitnya kawasan yang tersisa dan jarangnya pepohonan. COP menilai bahwa daya dukung kawasan tersebut sudah tidak memadai, karenanya orangutan memakan tunas-tunas kelapa sawit. Dibasminya orangutan di kawasan tersebut hanyalah soal waktu saja karena dianggap sebagai hama," tutur Ramadhani.

Pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit kata dia, merupakan ancaman utama bagi kelangsungan hidup orangutan dan satwa liar lainnya di Kalimantan.

"Setidaknya, 2.000 orangutan terpaksa dievakuasi pada lima pusat penyelamatan orangutan di Kalimantan dan hingga sekarang arus pengungsi orangutan belum ada tanda-tanda berhenti," ujar Ramadhani.

Sementara, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Hendradi menyatakan, bersama COP akan segera melakukan upaya penyelamatan terhadap 13 orangutan terjebak di hutan sisa di kawasan perkebunan kelapa sawit di Kutai Timur tersebut.

Seharusnya, pihak perusahaan lanjut Hendradi, melaporkan jika di kawasannya terdapat orangutan.

"Jika kawasan itu memang milik perusahaan maka kami tidak bisa mencegah. Tetapi, seharusnya perusahaan melaporkan jika di areal perkebunan tersbeut terdapat orangutan," ujar Hendradi. (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016