Samarinda (ANTARA News-Kaltim) - Terlepas adanya isu tentang kebocoran soal untuk UN tingkat SMP/sekolah sederajat sehingga kelulusannya lebih baik ketimbang SMA/sekolah sedejarat di Kalimantan Timur namun hasil  UN tingkat SMP/sekolah sederajat di Samarinda mencerminkan wajah muram dunia pendidikan di kota itu.
  
Sebagai daerah yang menjadi sentral dari denyut nadi berbagai sektor, yakni  pusat pemerintahan sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Timur, maka seharusnya Kota Samarinda lebih baik dan maju dalam berbagai bidang.

Kenyataannya,  dalam UN tingkat SMP maka angka gagal atau tidak lulus siswa hampir separuh peserta ujian, yakni mencapai 49,22 persen.

Bandingkan dengan "saudara" Samarinda (kota terdekat), yakni Kota Balikpapan hanya 22,14 persen dan Kabupaten Kutai Kartanegara 10,54 persen.

Sedangkan tingkat ketidaklulusan Kota Bontang 20,27 persen, Kabupaten Kutai Timur 32,31 persen, Kabupaten Kutai Barat 32,12 persen, Kabupaten Berau 4,94, Kabupaten Bulungan 8,00 persen, Kabupaten Nunukan 18,71  persen dan Kabupaten Malinau 9,99  persen.
 
Ironisnya, Kota Samarinda bahkan kalah dengan daerah pemekaran yang baru terbentuk tiga tahun lalu, yakni Kabupaten Tanah Tidung (KTT) mencapai 23,33 persen.
 
Meskipun, Kota Samarinda tidak sendiri karena ada Kota Tarakan 65,53 persen, Kabupaten Paser 49,20 persen dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) 52,62 persen.
 
Sedikitnya 4.706 siswa SMP dan MTs Kota Samarinda, Kaltim, harus mengikuti ujian nasional (UN) ulangan pada 17-20 Mei 2010, pasalnya mereka dinyatakan gagal atau tidak lulus UN utama pada 29 Maret hingga 1 April.
 
"Total peserta yang mengikuti UN utama di Samarinda sebanyak 9.561 siswa, sementara yang tidak lulus mencapai 4.706 orang," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda Harimurti WS, Sabtu.

Dari total angka tersebut, berarti tahun ini di Samarinda mengalami persentasi ketidaklulusan mencapai 49,22 persen, atau hampir separuh dari siswa Samarinda tidak lulus UN.

Kenyataan ini tentu saja sangat jauh berbeda ketimbang tahun sebelumnya, karena pada 2008 tingkat kelulusan siswa SLTP dan yang sederajat di Samarinda mencapai 100 persen.
 
Menurut dia, banyak hal yang mempengaruhi mengapa tahun ini banyak siswa yang tidak lulus, di antaranya adalah perubahan sistem yang menjadi kebijakan nasional, sehingga perlu adanya evaluasi semua pihak.
 
Faktor lain yang juga mempengaruhi tingginya angka ketidak lulusan adalah siswa yang menganggap enteng soal UN, sehingga bisa saja mereka kurang serius belajar, dan kurang siap dalam menghadapi UN.
  
"Adannya hasil ini, kami berharap agar orangtua siswa supaya tidak cemas dalam menghadapi kenyataan anaknya tidak lulus, pasalnya yang terjadi sekarang bukan merupakan kegagalan anak namun hanya keberhasilan anak yang tertunda," katanya menghibur.
 
"Masih banyak waktu untuk memperbaiki diri, saya minta orang tua tidak memarahi anaknya. Namun, orang tua harus memberi motivasi kepada anak supaya bisa lebih siap dalam menghadapi UN ulangan nanti," tuturnya berharap.

Dalam UN ulangan tidak semua mata pelajaran diulang, namun hanya satu atau dua mata pelajaran saja yang nilainya jeblok. Misalnya, soal matematika yang nilainya di bawah 4, kemudian pelajaran lain tinggi maka yang diulang hanya matematika saja.

Di tengah wajah muram dunia pendidikan di Samarinda itu, ternyata ada delapan sekolah di Samarinda yang lulus mencapai 100 persen, yakni MTs Noor Iman, MTs Labbaika, MTs Antasari, MTs Sabillarasyid, SMP Kristen Sunodia, SMP St Fransiskus Asisi, SMPN 39, dan SMPN 41.


Guru Tidak Layak

Sebanyak 7.150 atau sekitar 65 persen dari 11.000 guru mulai tingkat SD hingga SMU yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta di Samarinda, Kaltim, "tidak layak" (di bawah standar kualifikasi guru).
  
"Sebanyak 65 persen guru di Samarinda masih di bawah standar, dan 50 persen di antaranya tidak layak sebagai guru," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda, Harimurti mengakui tentang kelemahan guru di "Kota Tepian" itu.
 
Dari 11.000 guru itu kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda itu, sebanyak 78 persen belum disertifikasi.
  
"Sekitar 8.580 guru, juga belum tersertifikasi dan hanya 2.420 atau 22 persen yang sudah disertifikasi," ucapnya mengungkapkan.
 
Selain terkait jenjang pendidikan, banyaknya guru di Samarinda yang berada di bawah standar kualifikasi itu, juga disebabkan minimnya sarana dan prasarana pendidikan di Samarinda.
 
Jumlah guru dengan jenjang pendidikan S1, lanjut Harimurti hanya 45 orang dan ada 12 guru yang mengajar di sekolah swasta memiliki jenjang pendidikan S2.
 
Guru dengan jenjang pendidikan di bawah sarjana mencapai 1.300 orang. Jumlah itu sudah termasuk guru yang masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi (mahasiswa), pendidikan diploma dan masih banyak guru dengan pendidikan hanya setingkat SMU.
 
"Jadi, kesulitan sertifikasi juga terganjal masalah pendidikan, sebab salah satu syarat mengikuti sertiifikasi itu yakni seorang guru harus berpendidikan S1," paparnya.
  
Ia mengelak untuk memastikan bahwa faktor itu menjadi salah satu akar masalah sehingga mempengaruhi tingkat kelulusan pelajar dan siswa di Samarinda terhadap UN.
 
Dalam upaya meningkatkan kualitas guru di Samarinda, kata dia, pihak Dinas Pendidikan Kota Samarinda terus melakukan pembenahan, termasuk mendorong para guru untuk segera menyelesaikan jenjang pendidikan S1.
 
"Secara bertahap, kami akan melakukan sertifikasi kepada guru yang belum tersertifikasi serta memacu guru supaya segera menyelesaikan pendidikan hingga sarjana," ujar Harimurti menegaskan.
 
Di luar masalah UN, ada beberapa hal yang sering terlewatkan oleh pihak Dinas Pendidikan Samarinda, yakni keluhan para orangtua dan sebagian warga Samarinda tentang mahalnya dunia pendidikan di kota berpenduduk sekitar 700.000 jiwa itu, khususnya jika dibandingkan daerah lain di Kalimantan Timur.
 
Bukan rahasia lagi, bahwa kadang-kadang anak yang pada tingkat SD misalnya selalu juara namun bukan jaminan saat akan mengikuti tes memasuki SMP.
 
Salah seorang warga mengaku bahwa saat anaknya akan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi bahwa mengetahui bahwa memasuki sekolah SMP atau SMA/sederajat di Samarinda khususnya "sekolah favorit" seperti praktik lelang.
  
"Misalnya anak si A hanya mampu membayar Rp5 juta, sementara anak si B bisa membayar lebih tinggi maka ia akan lulus, jadi tes tersebut sepertinya hanya formalitas," imbuh dia.

Ketika daerah lain sudah benar-benar berupaya menghapuskan berbagai pungutan bukan hanya sebatasan SPP namun di Samarinda, para pelajar masih dibebani berbagai biaya yang dibungkus dengan berbagai istilah "masuk akal" dan "sopan".
  
Ketika Pemkot Samarinda mengumumkan bahwa biaya pendaftaran sekolah gratis karena sudah ditanggung pemerintah daerah, namun ada beberapa sekolah tidak kehabisan akal, yakni biaya pendaftaran gratis namun ada biaya untuk menggantikan map yang harganya di pasaran hanya Rp1.000 namun jadi Rp5.000/lebar.
 
"Yang sangat memprihatinkan adalah sekolah kini menjadi seperti industri dengan memanfaatkan para pelajar. Misalnya, kewajiban untuk membeli buku pelajaran dari penerbitan tertuntu dan setiap tahun harus diganti. Pada masa kita sekolah, buku pelajaran tersebut bisa diwariskan kepada adik-adik kita," kata Ketua Presidium Gabungan LSM Kaltim, Bachruddinsyah ketika menyoroti pelaksanaan UN tingkat SMA/sekolah sedejarat beberapa waktu lalu.

Ia juga menyoroti tentang kurikulum sekolah yang kini terkesan memberikan porsi sangat sedikit untuk pelajaran agama, dasar-dasar negara, kebangsaan dan Pancasila.

"Sekolah kini cenderung ingin menciptakan generasi cerdas secara intelektual namun mengabaikan cerdas spiritual," katanya.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010