Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pengamat hukum dan politik Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah mengungkapkan pelaku pembakaran hutan dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 67 tahun dan denda maksimal Rp40 miliar.
"Kalau dijunctokan semua aturan terkait pembakaran dan perusakan hutan, pelaku bisa dikenakan hukuman total 67 tahun dan denda total Rp40 miliar," kata Herdiansyah Hamzah ketika dihubungi Antara di Samarinda, Kamis, menanggapi kasus kebakaran hutan yang terjadi di berbagai daerah.
Menurut ia, sanksi bagi pelaku pembakaran dan perusakan hutan, termasuk korporasi, sudah tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pada pasal 78 ayat (3) UU Kehutanan disebutkan barang siapa yang membakar hutan diancam pidana penjara 15 tahun dan denda Rp5 miliar.
"Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 69 ayat (1) huruf h, dikatakan setiap orang dilarang membuka lahan dengan membakar dan sanksinya terdapat pada pasal 108 dengan pidana penjara minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun serta denda minimal Rp3 miliar, maksimal Rp10 miliar," kata Herdiansyah.
Sanksi pelaku termasuk korporasi terhadap pembakaran dan perusakan kebakaran hutan tambahnya, juga tegas diatur dalam UU Kehutanan dan pada pasal 78 ayat (3) disebutkan barang siapa yang membakar hutan dapat dipidana penjara 15 tahun dan denda Rp5 miliar.
"Masih dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 116, apabila dilakukan atas nama badan usaha, pidana dijatuhkan kepada badan usaha dalam hal yang memberi perintah. Pasal 119 pidana bagi koorporasi bisa dikenakan hukuman tambahan berupa perapasan keuntungan dan penutupan tempat usaha serta kegiatan," katanya.
"Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan pasal 56 ayat (1), pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan mengolah lahan dengan membakar, sanksinya di pasal 108 pidana penjara 10 tahun dan denda 10 miliar," ungkap Alumnus Fakultas Pasca-Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada itu.
Pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, lanjut Herdiansyah, pidana maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar.
"Aktivitas atau kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan hutan juga diatur dalam KUHP pasal 187 dengan pidana paling lama 12 tahun. Jadi, secara aturan sudah jelas dan jika dijunctokan maka pelakunya dapat dikenakan penjara hingga 67 tahun," ujarnya.
Sayangnya, menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda itu, di sektor hilir penegakan hukum tidak berjalan maksimal.
"Hukuman terhadap pelaku sangat ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera," katanya.
Selama ini, lanjutnya, pemerintah juga terkesan pasif dan baru akan bertindak ketika kebakaran telah terjadi.
"Pengawasan semestinya berjalan secara aktif. Meski terlambat, satgas pengendalian nasional penanganan kebakaran hutan yang dibentuk berdasarkan SK 367/2015 tetap harus diapresiasi, tetapi pemerintah harusnya konsiten mengawal itu," katanya.
"Pemerintah juga harus lebih sangar dalam mencabut izin perusahaan pelaku pembakaran hutan, baik karena sengaja maupun kerena kelalaian. Ini demi mempertahankan kepentingan publik," ungkap Herdiansyah Hamzah. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
"Kalau dijunctokan semua aturan terkait pembakaran dan perusakan hutan, pelaku bisa dikenakan hukuman total 67 tahun dan denda total Rp40 miliar," kata Herdiansyah Hamzah ketika dihubungi Antara di Samarinda, Kamis, menanggapi kasus kebakaran hutan yang terjadi di berbagai daerah.
Menurut ia, sanksi bagi pelaku pembakaran dan perusakan hutan, termasuk korporasi, sudah tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pada pasal 78 ayat (3) UU Kehutanan disebutkan barang siapa yang membakar hutan diancam pidana penjara 15 tahun dan denda Rp5 miliar.
"Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 69 ayat (1) huruf h, dikatakan setiap orang dilarang membuka lahan dengan membakar dan sanksinya terdapat pada pasal 108 dengan pidana penjara minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun serta denda minimal Rp3 miliar, maksimal Rp10 miliar," kata Herdiansyah.
Sanksi pelaku termasuk korporasi terhadap pembakaran dan perusakan kebakaran hutan tambahnya, juga tegas diatur dalam UU Kehutanan dan pada pasal 78 ayat (3) disebutkan barang siapa yang membakar hutan dapat dipidana penjara 15 tahun dan denda Rp5 miliar.
"Masih dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH pasal 116, apabila dilakukan atas nama badan usaha, pidana dijatuhkan kepada badan usaha dalam hal yang memberi perintah. Pasal 119 pidana bagi koorporasi bisa dikenakan hukuman tambahan berupa perapasan keuntungan dan penutupan tempat usaha serta kegiatan," katanya.
"Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan pasal 56 ayat (1), pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan mengolah lahan dengan membakar, sanksinya di pasal 108 pidana penjara 10 tahun dan denda 10 miliar," ungkap Alumnus Fakultas Pasca-Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada itu.
Pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, lanjut Herdiansyah, pidana maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar.
"Aktivitas atau kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan hutan juga diatur dalam KUHP pasal 187 dengan pidana paling lama 12 tahun. Jadi, secara aturan sudah jelas dan jika dijunctokan maka pelakunya dapat dikenakan penjara hingga 67 tahun," ujarnya.
Sayangnya, menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda itu, di sektor hilir penegakan hukum tidak berjalan maksimal.
"Hukuman terhadap pelaku sangat ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera," katanya.
Selama ini, lanjutnya, pemerintah juga terkesan pasif dan baru akan bertindak ketika kebakaran telah terjadi.
"Pengawasan semestinya berjalan secara aktif. Meski terlambat, satgas pengendalian nasional penanganan kebakaran hutan yang dibentuk berdasarkan SK 367/2015 tetap harus diapresiasi, tetapi pemerintah harusnya konsiten mengawal itu," katanya.
"Pemerintah juga harus lebih sangar dalam mencabut izin perusahaan pelaku pembakaran hutan, baik karena sengaja maupun kerena kelalaian. Ini demi mempertahankan kepentingan publik," ungkap Herdiansyah Hamzah. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015