Samarinda (ANTARA News) - Kasus hilangnya gadis di bawah umur asal Samarinda Seberang, Kaltim yang ternyata selama satu bulan dibawa kabur seorang pria ke lokasi perkebunan sawit di Sabah Malaysia kembali membuka mata kita bahwa perdagangan manusia atau permudakan era modern (trafficking) kian marak.

Memprihatinkan, berbagai kalangan memperkirakan bahwa kasus perdagangan manusia setiap tahun cenderung meningkat seperti dikhawatirkan pihak International Organization for Migration (IOM) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) serta data dari berbagai kasus trafficking yang ditangani oleh Mabes Polri.

Sebelumnya, seorang pelajar putri kelas I sebuah SMK di Samarinda Seberang sejak 4 Januari 2010 dinyatakan hilang. Ternyata siswi itu dibawa lari seorang pria serta disembunyikan pada sebuah mes milik perusahaan perkebunan di Sabah, Malaysia.
     
Meskipun korban RA (16) dalam pengakuannya menyatakan ia dinikahi secara siri serta membantah dibawa paksa namun kuat dugaan bahwa gadis bau kencur itu tidak sadar bahwa dirinya akan menjadi korban perdagangan manusia.
     
Petugas Konjen RI di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia Timur berhasil menemukan pelajar asal Samarinda Seberang itu pada sebuah lokasi perkebunan sawit di wilayah Sabah.
    
Pihak Konsuler dan Ketenagakerjaan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia segera melakukan pencarian korban setelah mendapat surat dari gubernur Kaltim terkait kasus menimpa gadis di bawah umur itu.
    
Korban diketahui berada di Malaysia setelah teman tersangka Andika alias Udin mendapat SMS dari pria yang sehari-harinya sebagai sopir angkutan kota itu bahwa kini ia berada di negeri jiran.

Sebelum kasus itu, aparat keamanan di Balikpapan (Kaltim) disibukkan dengan kasus penyekapan dan pemerkosaan seorang gadis juga masih di bawah umur, yakni U (16) asal Makkasar pada sebuah hotel di kota berpendudukan sekitar 600.000 jiwa itu pada 24 Januari 2010. 

"Korban U kita temukan pagi tadi di Hotel Mahakam pada kamar nomor 21 setelah dua hari disekap oleh seorang laki-laki yang menurut korban bernama Jimmi," kata Kepala Unit Reserse dan Kriminal (Kanit Reskrim) Polsekta Balikpapan Utara Inspektur Satu Amran.

Peristiwa naas itu berawal saat korban U berangkat naik KM Siguntang jurusan Parepare-Balikpapan-Tarakan berkenalan dengan seorang pemuda, Jimmi, di atas kapal yang tiba di Pelabuhan Balikpapan pada hari Sabtu (23/1). Korban jauh-jauh dari Makkasar ke Kalimantan Timur untuk menemui ayahnya, Parlan, di Kota Tarakan.

Korban asal Makassar itu berangkat sendirian dan saat di KM Siguntang bertemu Jimmi dengan seorang perempuan yang tidak diketahui namanya dan tidur berdekatan di dek dua kelas ekonomi dengan harapan ditemani saat dalam perjalanan,

Pria yang baru dikenalnya itu saat kapal sandar untuk mengangkut penumpang di Balikpapan, langsung mengajaknya jalan-jalan di Pasar Kebun Sayur dan pertokoan Ramayana Minggu (24/1) sekitar 08.00 Wita.

Pria itu ternyata menyimpan niat jahat karena kemudian mengajaknya ke Hotel Mahakam serta menyekapnya selama dua hari serta merengut kesucian gadis di bawah umur itu. Tersangka juga mengancam membunuhnya jika berniat kabur.

Berdasarkan pengakuan korban, tersangka mengatakan bahwa dia sudah dijual dengan harga Rp25 juta dan akan dibawa ke Malaysia untuk dijadikan PSK.

Kasus penyekapan itu kemudian berhasil terungkap ketika tersangka merampas telepon genggam korban, dan menyuruhnya untuk meminta tebusan Rp25 juta kepada ayahnya di Tarakan. Ayah korban tidak bisa memenuhi permintaan itu, dan Jimmi memaksa tebusan Rp5 juta namun juga tidak dikabulkan.

Ayah korban, Parlan akhirnya berinisiatif melaporkan kasus itu kepada Polres Tarakan, selanjutnya melakukan koordinasi dengan Polresta Balikpapan untuk menyelamatkan korban.

Sejumlah polisi yang berusaha menangkap tersangka hanya menemukan korban terkunci dalam kamar hotel yang berjarak sekitar 100 meter dari Mapolsekta Balikpapan Utara.

Polisi setempat masih terus melakukan pencarian tersangka yang diduga adalah sindikat penculikan dan penjualan manusia antarnegara.


Diperkirakan Meningkat

Pengamat sosial dan hukum Kalimantan Timur, Prof. Sarosa Hamongpranoto, SH, H Hum memperkirakan bahwa kasus perdagangan manusia akan terus meningkat, hal itu akibat beberapa faktor, yakni kondisi perekonomian yang belum pulih serta masih tingginya minat orang menjadi TKI.

Pendapat bahwa perdagangan manusia juga terkait tingginya minat orang menjadi TKI agaknya memang terbukti apabila bercermin saat terjadi "bencana kemanusiaan", yakni saat deportasi besar-besaran TKI gelap menyusul diberlakukannya UU Keimigrasian yang baru Malaysia dan berlaku efektif 1 Agustus 2002.

Saat itu, terjadi pemulangan besar-besaran TKI gelap dari Negara Bagian Sabah (Pelabuhan Tawao) melalui Pelabuhan Nunukan, Kaltim yang jumlahnya mencapai sekitar 70.000 orang padahal jumlah penduduk kabupaten paling utara di Pulau Kalimantan itu hanya mencapai 22.000 jiwa.


Berdasarkan pengakuian para TKI ternyata sebelumnya mereka memiliki dokumen lengkap namun surat-surat berharga untuk bekerja serta keimigrasian itu ditahan oleh cukong atau majikannya dengan dalih agar mereka tidak gampang pindah-pindah kerjaan, dan ujung-ujungnya WNI yang semula resmi menjadi "TKI ilegal".

Saat tidak memiliki dokumen itu, dengan mudah mereka diperlakukan semena-mena bahkan tidak manusiawi misalnya TKI yang sebagian besar wanita itu dijadikan PSK atau "anak ayam".

"Perlu menerapkan hukuman atau sanksi berat bagi pelaku yang terlibat dalam kasus perdagangan manusia  atau 'trafficking' karena dampak yang dirasakan korban bisa menjadi sebuah trauma seumur hidup serta memberi efek jera bagi pelaku sehingga harus juga disebarluaskan oleh media massa," kata Prof. Sarosa Hamongpranoto.
     
"Bisa jadi karena takut akan keselamatannya, maka korban enggan menuturkan kasus sebenarnya yang menimpa dia," katanya menambahkan.
     
Hukuman berat bisa dilakukan karena sudah ada UU NO. 21 Tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), imbuh mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda itu.
       
Apalagi, sanksi berat sudah diatur dalam UU PTPPO tinggal penerapannya saja, misalnya, hukuman pidana bisa mencapai tiga sampai 25 tahun penjara dengan denda ratusan juta rupiah. Bahkan, jika tindak pidana tersebut sampai menyebabkan kematian korban, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup dan denda maksimal Rp 5 miliar (pasal 7).
     
Selain itu, katanya menambahkan bahwa dalam UU PTPPO ada pasal-pasal yang mengatur soal perlindungan hak saksi dan korban trafficking.
     
Hal itu penting mengingat dalam UU No. 13 Tahun 2006 perlindungan saksi dan korban perdagangan orang belum sepenuhnya diakomodir, yakni  terkait keselamatan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban traffiking yang selama ini terancam keselamatannya dapat terjamin secara hukum.
     
Padahal, pemerintah dari salah satu negara yang menjadi tujuan perdagangan manusia juga meminta hukuman berat bagi pelaku yang terlibat. Misalnya, Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi pernah memperingatkan bahwa hukuman mati menunggu siapa saja yang melakukan perdagangan manusia.
      
Tren Meningkat

Perdagangan manusia ini di tanah air menunjukan cendenderungan meningkat, misalnya seperti data milik Mabes Polri dalam lima tahun terakhir (2004 hingga 2008) jumlah kasus yang ditangani aparat kepolisian kian bertambah.
      
Berdasarkan itu, maka pada 2004, kasus trafficking yang disidik kepolisian mencapai 76 kasus, kemudian pada 2005, sedikit ada penurunan kejadian, yakni hanya 71 kasus namun pada 2006, kasus perdagangan manusia kembali merangkak naik jadi 84 kasus.
     
Pada 2007, melonjak menjadi 177 kasus dan pada 2008 kasus trafficking berjumlah 199 kasus. Pada 2007, tercatat 88 kasus telah diproses di pengadilan. Para pelaku diganjar hukuman rata-rata hanya empat sampai lima tahun. Sedangkan pada 2008, 74 kasus telah selesai divonis hakim.
      
Data  International Organization for Migration (IOM) menunjukan bahwa pada 2005 dan 2007 (Data rilis April 2008), IOM telah memulangkan 3.127 orang korban trafficking di dalam maupun luar negeri, antara lain Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, Japan, Kuwait, Syria, Taiwan dan Jordan.
     
Dari 3.127 korban tersebut, lima orang adalah bayi, 801 anak, 2.321 dewasa dan sebagian besar korban (88,9 persen) adalah perempuan. Jumlah korban tersebar pada lima  lokasi besar, yakni Propinsi Kalimantan Barat (707 korban), Jawa barat (650), Jawa Timur (384), Jawa Tengah (340) dan Nusa Tenggara Barat (217).
    
Berdasarkan pernyataan pihak Organisasi Buruh Internasional (ILO) maka memperkirakan perdagangan manusia di Indonesia 2009 akan meningkat. Direktur ILO Indonesia, Alan Bouton menyampaikan bahwa krisis global yang kian memburuk akan mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Hal senada disampaikan pihak International Organisation for Migration (IOM) yang memperkirakan bahwa Indonesia termasuk negara tertinggi dalam perdagangan manusia.

IOM memperkirakan bahwa meskipun belum ada data valid namun kenyataannya laporan kasus trafficking dari WNI di sejumlah negara cenderung terus meningkat. Lihat saja berdasarkan data IOM menunjukan bahwa selama Maret 2005 hingga Juli 2006 tercatat sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis perdagangan orang.

Ketika para elit bangsa itu serta politisi sibuk dengan berbagai aksi baik monuver, lobi maupun memperbaiki citra diri, ternyata ribuan WNI telah menjadi korban perbudakan era modern, bahkan sebagian di antaranya tewas karena disiksa majikannya, seperti beberapa kasus PRT di Malaysia, seharusnya hal ini yang harus mendapat penanganan serius.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010