Muara Wahau, Kutai Timur (ANTARA Kaltim) - Ritual Tarian Hudoq menutup perayaan "Bob Jengea Petkueq" atau pesta panen Orang Wehea dari enam desa di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, pada Jumat, di halaman Gereja Desa Dea Beq.
"Tarian ini memang menutup resmi acara pesta ini. Tapi, malam hari masih ada tarian Tumbam Bataq atau tari pergaulan," kata Ketua Panitia Bob Jengea Petkueq dari Desa Dea Beq, Filipus Ing, usai penutupan.
Selama dua hari kegiatan berlangsung, tidak kurang dari 5.000 orang dari berbagai kota dan negara berkunjung ke Desa Dea Beq.
Tari Hudoq adalah tarian tentang raksasa dan roh-roh yang menjaga berbagai sumber kehidupan Orang Wehea.
Tahun ini, diungkapkan oleh Purwadi, warga asal Pulau Jawa yang sudah 20 tahun tinggal di Dea Beq dan menjadi sekretaris desa, penduduk masih bisa panen sampai 80 kaleng gabah per hektare.
Jumlah itu lebih dari cukup untuk sekadar memenuhi konsumsi beras satu keluarga sampai panen berikutnya. Padahal yang ditanam adalah padi ladang dan sepenuhnya dilakukan secara tradisional.
"Walaupun pada tahun-tahun lalu kami bisa panen lebih banyak," tambah Damaskus, salah satu warga Dea Beq.
Filipus Ing menambahkan perayaan pesta panen ini tetap dilangsungkan, meskipun hasil panen bagus atau biasa-biasa saja.
Sejumlah acara digelar sebelum tarian sakral hudoq ditampilkan, antara lain ada "naq jengea" atau membangun pondok di tepi sungai untuk menonton "seksiang" (perang-perangan di sungai).
Sebelumnya juga ada "enjiak" atau menari bersama seluruh warga desa, termasuk warga dari lima desa lainnya.
Pada Jumat ini, seluruh rumah di Desa Dea Beq menggelar "open house". Siapa saja pengunjung, tamu, wisatawan, boleh mampir dan makan bersama di rumah warga yang diinginkannya.
"Saya makan lemang di rumah Pak Petrus (kepala adat Desa Dea Beq, red)," kata Helle Olsen, fotografer dari Denmark, yang hadir menyaksikan perayaan itu.
Suku Wehea di Kecamatan Muara Wahau, terutama tinggal di Nehas Liah Bing, Long Wehea, Dea Biq, Jaq Lay, Ben Hes, dan Diaq Lay. Mereka tinggal di sepanjang Sungai Wahau, dengan Nehas Liah Bing ada di tengah-tengah.
Seperti kebanyakan suku-suku pedalaman di Kalimantan, Orang Wehea digolongkan sebagai Orang Dayak, sehingga mereka disebut juga Dayak Wehea.
"Walaupun sebenarnya bagi kami `Wehea` ya `Wehea`, tidak perlu lagi ada tambahan `dayak`," kata Kepala Adat Wehea di Nehas Liah Bing, Ledjie Taq, yang memimpin revitalisasi adat dan budaya Wehea dalam sepuluh tahun terakhir. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
"Tarian ini memang menutup resmi acara pesta ini. Tapi, malam hari masih ada tarian Tumbam Bataq atau tari pergaulan," kata Ketua Panitia Bob Jengea Petkueq dari Desa Dea Beq, Filipus Ing, usai penutupan.
Selama dua hari kegiatan berlangsung, tidak kurang dari 5.000 orang dari berbagai kota dan negara berkunjung ke Desa Dea Beq.
Tari Hudoq adalah tarian tentang raksasa dan roh-roh yang menjaga berbagai sumber kehidupan Orang Wehea.
Tahun ini, diungkapkan oleh Purwadi, warga asal Pulau Jawa yang sudah 20 tahun tinggal di Dea Beq dan menjadi sekretaris desa, penduduk masih bisa panen sampai 80 kaleng gabah per hektare.
Jumlah itu lebih dari cukup untuk sekadar memenuhi konsumsi beras satu keluarga sampai panen berikutnya. Padahal yang ditanam adalah padi ladang dan sepenuhnya dilakukan secara tradisional.
"Walaupun pada tahun-tahun lalu kami bisa panen lebih banyak," tambah Damaskus, salah satu warga Dea Beq.
Filipus Ing menambahkan perayaan pesta panen ini tetap dilangsungkan, meskipun hasil panen bagus atau biasa-biasa saja.
Sejumlah acara digelar sebelum tarian sakral hudoq ditampilkan, antara lain ada "naq jengea" atau membangun pondok di tepi sungai untuk menonton "seksiang" (perang-perangan di sungai).
Sebelumnya juga ada "enjiak" atau menari bersama seluruh warga desa, termasuk warga dari lima desa lainnya.
Pada Jumat ini, seluruh rumah di Desa Dea Beq menggelar "open house". Siapa saja pengunjung, tamu, wisatawan, boleh mampir dan makan bersama di rumah warga yang diinginkannya.
"Saya makan lemang di rumah Pak Petrus (kepala adat Desa Dea Beq, red)," kata Helle Olsen, fotografer dari Denmark, yang hadir menyaksikan perayaan itu.
Suku Wehea di Kecamatan Muara Wahau, terutama tinggal di Nehas Liah Bing, Long Wehea, Dea Biq, Jaq Lay, Ben Hes, dan Diaq Lay. Mereka tinggal di sepanjang Sungai Wahau, dengan Nehas Liah Bing ada di tengah-tengah.
Seperti kebanyakan suku-suku pedalaman di Kalimantan, Orang Wehea digolongkan sebagai Orang Dayak, sehingga mereka disebut juga Dayak Wehea.
"Walaupun sebenarnya bagi kami `Wehea` ya `Wehea`, tidak perlu lagi ada tambahan `dayak`," kata Kepala Adat Wehea di Nehas Liah Bing, Ledjie Taq, yang memimpin revitalisasi adat dan budaya Wehea dalam sepuluh tahun terakhir. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015