Bontang (ANTARA Kaltim) - DPRD dan Pemerintah Kota Bontang, Kalimantan Timur, akan memperjuangan peningkatan dana bagi hasil minyak dan gas untuk daerah pengolah kepada pemerintah pusat, karena selama ini perolahannya masih rendah.
Ketua Komisi II DPRD Bontang Ubayya Bengawan dalam rapat bersama jajaran Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Arsip (DPPKA) di Bontang, Selasa, mengatakan pihaknya akan melanjutkan perjuangan Forum Komunikasi dan Konsolidasi Daerah Pengolah Migas (FKKDPM) untuk mendapatkan hak dana bagi hasil (DBH) lebih proporsional.
"Kita akan membentuk forum koordinasi dengan daerah pengolah migas lainnya di Kaltim guna memperjuangkan kembali dana bagi hasil migas, khususnya untuk daerah pengolah," ujarnya.
Menurut Ubayya, potensi untuk mendapatkan tambahan DBH terbuka lebar, menyusul disetujuinya revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Program Legislasi Nasional 2015.
Revisi UU tersebut merupakan celah bagi seluruh daerah yang selama ini menjadi tempat pengolahan migas untuk mengusulkan klausul DBH kepada pemerintah pusat.
"Isu ini memang sudah lama, cuma terbentur dengan revisi UU Migas. Sekarang usulan revisi sudah disetujui dan sudah masuk Prolegnas, sehingga sayang kalau tidak dimaksimalkan oleh daerah," tambah Ubayya.
Ia menjelaskan bahwa UU Migas sebelumnya, terminologi daerah pengolah migas memang tidak dikenal, karena dalam UU Nomor 15 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, juga tidak disebutkan secara jelas tentang daerah penghasil dan pengolah migas.
Padahal, risiko yang ditanggung daerah pengolah migas juga cukup besar, seperti bencana industri, penurunan kualitas lingkungan dan risiko kesehatan.
"Selama ini daerah pengolah migas hanya memperoleh risiko berupa bahaya ledakan dan kebakaran, serta gangguan lingkungan seperti polusi udara," paparnya.
Sebagai langkah awal, Komisi II DPRD Kota Bontang akan melakukan kunjungan dan koordinasi dengan sejumlah daerah pengolah migas, seperti Kota Balikpapan, Lhokseumawe, Kabupaten Cilacap, Dumai, Indramayu, Langkat, dan Sorong.
Kepala DPPKA Kota Bontang Edi Yudizar menyatakan sepakat dengan Komisi II untuk secepatnya menyampaikan usulan kepada pemerintah pusat agar daerah pengolah migas juga mendapatkan hak-haknya yang telah diatur dalam UU.
"Ini kesempatan kita untuk melakukan penekanan, minimal mengajukan DBH 0,5 persen saja itu sudah cukup tetapi perolehannya riil. Namun, sebaiknya kita koordinasi dengan daerah pengolah migas lainnya agar usulan lebih kuat. Jika hanya Bontang yang berjuang akan sangat berat," katanya. (Adv/*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
Ketua Komisi II DPRD Bontang Ubayya Bengawan dalam rapat bersama jajaran Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Arsip (DPPKA) di Bontang, Selasa, mengatakan pihaknya akan melanjutkan perjuangan Forum Komunikasi dan Konsolidasi Daerah Pengolah Migas (FKKDPM) untuk mendapatkan hak dana bagi hasil (DBH) lebih proporsional.
"Kita akan membentuk forum koordinasi dengan daerah pengolah migas lainnya di Kaltim guna memperjuangkan kembali dana bagi hasil migas, khususnya untuk daerah pengolah," ujarnya.
Menurut Ubayya, potensi untuk mendapatkan tambahan DBH terbuka lebar, menyusul disetujuinya revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Program Legislasi Nasional 2015.
Revisi UU tersebut merupakan celah bagi seluruh daerah yang selama ini menjadi tempat pengolahan migas untuk mengusulkan klausul DBH kepada pemerintah pusat.
"Isu ini memang sudah lama, cuma terbentur dengan revisi UU Migas. Sekarang usulan revisi sudah disetujui dan sudah masuk Prolegnas, sehingga sayang kalau tidak dimaksimalkan oleh daerah," tambah Ubayya.
Ia menjelaskan bahwa UU Migas sebelumnya, terminologi daerah pengolah migas memang tidak dikenal, karena dalam UU Nomor 15 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, juga tidak disebutkan secara jelas tentang daerah penghasil dan pengolah migas.
Padahal, risiko yang ditanggung daerah pengolah migas juga cukup besar, seperti bencana industri, penurunan kualitas lingkungan dan risiko kesehatan.
"Selama ini daerah pengolah migas hanya memperoleh risiko berupa bahaya ledakan dan kebakaran, serta gangguan lingkungan seperti polusi udara," paparnya.
Sebagai langkah awal, Komisi II DPRD Kota Bontang akan melakukan kunjungan dan koordinasi dengan sejumlah daerah pengolah migas, seperti Kota Balikpapan, Lhokseumawe, Kabupaten Cilacap, Dumai, Indramayu, Langkat, dan Sorong.
Kepala DPPKA Kota Bontang Edi Yudizar menyatakan sepakat dengan Komisi II untuk secepatnya menyampaikan usulan kepada pemerintah pusat agar daerah pengolah migas juga mendapatkan hak-haknya yang telah diatur dalam UU.
"Ini kesempatan kita untuk melakukan penekanan, minimal mengajukan DBH 0,5 persen saja itu sudah cukup tetapi perolehannya riil. Namun, sebaiknya kita koordinasi dengan daerah pengolah migas lainnya agar usulan lebih kuat. Jika hanya Bontang yang berjuang akan sangat berat," katanya. (Adv/*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015