Samarinda (ANTARA Kaltim) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras mendesak Polri agar membuka kembali kasus Rahmadan Suhuddin alias Madan (16), anak polisi yang tewas setelah sempat diamankan di Polresta Samarinda pada 16 Oktober 2011.
"Kami menemukan banyak kejanggalan atas kasus kematian Rahmadan, sehingga mendesak Kapolri dan Kapolda Kaltim untuk segera mendorong proses penyidikan terhadap delapan orang anggota Polri yang diduga ikut terlibat melakukan penyiksaan hingga Rahmadan meninggal dunia," ungkap Staf Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik Kontras, Satrio Wirataru, kepada wartawan di Samarinda, Rabu.
Pada kasus tewasnya Rahmadan alias madan tersebut, salah seorang personel Satuan Reskrim Polresta Samarinda yakni M Anwar, telah divonis tujuh tahun penjara.
Pada sidang di Pengadilan Negeri Samarinda tersebut, kata Satrio Wirataru, terungkap beberapa fakta yang berbeda dengan berita acara pemeriksaan (BAP) di awal proses penyidikan.
Fakta keterlibatan delapan personel kepolisian itu terungkap dalam persidangan yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor 628/PID.B/2012/PN.Smda, yang diperkuat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1309 K/Pid.Sus/2013 tanggal 13 April 2013 yang telah menvonis M Anwar dengan hukuman tujuh tahun penjara.
"Meski M Anwar sudah divonis karena terbukti bersalah dan terungkap dalam fakta persidangan keterlibatan delapan oknum polisi lainnya, namun hingga kini penyidikan terhadap pelaku lain masih tidak jelas," tambah Satrio.
Terkait hal tersebut, Kontras bersama keluarga korban telah membuat laporan pidana Nomor STPL/131/V/2015/SPKT III pada 12 Mei 2015 dengan melaporkan oknum polisi berinisial ADW yang bersama-sama dengan personel Polresta Samarinda lainnya, antara lain SA, K, ES dan N telah melakukan tindak pidana pengeroyokan yang mengakibatkan Rahmadan alias Madan meninggal dunia.
"Bersamaan laporan tersebut, kami juga melampirkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda atas nama terpidana M Anwar. Putusan pengadilan tersebut dapat menjadi bukti baru, sehingga menjadi dasar dilakukan kembali penyidikan terhadap kasus kematian anak polisi tersebut," jelas Satrio.
Ia menambahkan jika penyidik Polda Kaltim tidak merespon hal tersebut, maka Polri telah membuktikan praktik kriminalisasi penegakan hukum bagi para pelaku yang merupakan anggota Polri.
"Kami (Kontras) turun mengawal kasus ini, karena merupakan momentum dan apa yang dialami Rahmadan mirip dengan kasus Novel Baswedan. Jadi, semestinya kasus Madan ini juga harus menjadi perhatian, seperti Polri kembali mengusut kasus Novel Baswedan," tegasnya.
Selain mendesak Kapolri dan Kapolda Kaltim mendorong proses penyidikan kasus tersebut, Kontras juga mendesak agar kedelapan oknum anggota Polri tersebut dinonaktifkan, demi menjaga independensi penyidikan dan menjaga rasa percaya masyarakat terhadap proses penyidikan yang nondiskriminatif.
Kontras, tambah Satrio, juga mendesak Kapolri dan Kapolda Kaltim memberikan sanksi pemecatan terhadap M Anwar, karena telah divonis bersalah dan mendapat hukuman tujuh tahun penjara.
Kasus tewasnya Madan, siswa kelas dua SMA Islam Samarinda terkuak pada 16 Oktober 2011.
Anak dari polisi yang bertugas di Kantor Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda itu, baru diketahui sudah tidak bernyawa oleh pihak keluarganya, tanpa diketahui penyebab kematiannya.
"Kami baru tahu kalau Rahmadan atau yang biasa disapa Madan meninggal pada Minggu pagi sekitar pukul 09.00 WITA. Saat itu, bapak korban yang bertugas di Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda ditelpon oleh sorang polisi dari Polresta Samarinda dan menanyakan apakah Madan pernah mengidap penyakit. Kemudian polisi itu langsung mengatakan kalau anak tersebut sudah berada di kamar mayat Rumah Sakit Dirgahayu," ungkap La Bia, juru bicara keluarga Madan
Awalnya, tidak satu pun kerabat maupun teman korban mengaku mengetahui penyebab kematian dan alasan penangkapan siswa kelas dua SMU tersebut.
Pada bagian hidung, mata dan telingat terlihat ada luka memar, sementara bajunya terdapat bercak darah.
"Kami tidak tahu mengapa dia meninggal, padahal pada Minggu dini hari sekitar pukul 02.30 Wita, dia masih sempat berbicara dengan bapaknya melalui telepon genggam dan kondisinya saat itu masih segar," ujarnya.
"Bapaknya yang saat itu tengah menjalankan tugas pengawalan di Sungai Mahakam meminta Madan pulang ke rumah, namun pada Minggu pagi kami mendengar kabar kalau dia telah meninggal," kata La Bia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
"Kami menemukan banyak kejanggalan atas kasus kematian Rahmadan, sehingga mendesak Kapolri dan Kapolda Kaltim untuk segera mendorong proses penyidikan terhadap delapan orang anggota Polri yang diduga ikut terlibat melakukan penyiksaan hingga Rahmadan meninggal dunia," ungkap Staf Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik Kontras, Satrio Wirataru, kepada wartawan di Samarinda, Rabu.
Pada kasus tewasnya Rahmadan alias madan tersebut, salah seorang personel Satuan Reskrim Polresta Samarinda yakni M Anwar, telah divonis tujuh tahun penjara.
Pada sidang di Pengadilan Negeri Samarinda tersebut, kata Satrio Wirataru, terungkap beberapa fakta yang berbeda dengan berita acara pemeriksaan (BAP) di awal proses penyidikan.
Fakta keterlibatan delapan personel kepolisian itu terungkap dalam persidangan yang tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor 628/PID.B/2012/PN.Smda, yang diperkuat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1309 K/Pid.Sus/2013 tanggal 13 April 2013 yang telah menvonis M Anwar dengan hukuman tujuh tahun penjara.
"Meski M Anwar sudah divonis karena terbukti bersalah dan terungkap dalam fakta persidangan keterlibatan delapan oknum polisi lainnya, namun hingga kini penyidikan terhadap pelaku lain masih tidak jelas," tambah Satrio.
Terkait hal tersebut, Kontras bersama keluarga korban telah membuat laporan pidana Nomor STPL/131/V/2015/SPKT III pada 12 Mei 2015 dengan melaporkan oknum polisi berinisial ADW yang bersama-sama dengan personel Polresta Samarinda lainnya, antara lain SA, K, ES dan N telah melakukan tindak pidana pengeroyokan yang mengakibatkan Rahmadan alias Madan meninggal dunia.
"Bersamaan laporan tersebut, kami juga melampirkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda atas nama terpidana M Anwar. Putusan pengadilan tersebut dapat menjadi bukti baru, sehingga menjadi dasar dilakukan kembali penyidikan terhadap kasus kematian anak polisi tersebut," jelas Satrio.
Ia menambahkan jika penyidik Polda Kaltim tidak merespon hal tersebut, maka Polri telah membuktikan praktik kriminalisasi penegakan hukum bagi para pelaku yang merupakan anggota Polri.
"Kami (Kontras) turun mengawal kasus ini, karena merupakan momentum dan apa yang dialami Rahmadan mirip dengan kasus Novel Baswedan. Jadi, semestinya kasus Madan ini juga harus menjadi perhatian, seperti Polri kembali mengusut kasus Novel Baswedan," tegasnya.
Selain mendesak Kapolri dan Kapolda Kaltim mendorong proses penyidikan kasus tersebut, Kontras juga mendesak agar kedelapan oknum anggota Polri tersebut dinonaktifkan, demi menjaga independensi penyidikan dan menjaga rasa percaya masyarakat terhadap proses penyidikan yang nondiskriminatif.
Kontras, tambah Satrio, juga mendesak Kapolri dan Kapolda Kaltim memberikan sanksi pemecatan terhadap M Anwar, karena telah divonis bersalah dan mendapat hukuman tujuh tahun penjara.
Kasus tewasnya Madan, siswa kelas dua SMA Islam Samarinda terkuak pada 16 Oktober 2011.
Anak dari polisi yang bertugas di Kantor Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda itu, baru diketahui sudah tidak bernyawa oleh pihak keluarganya, tanpa diketahui penyebab kematiannya.
"Kami baru tahu kalau Rahmadan atau yang biasa disapa Madan meninggal pada Minggu pagi sekitar pukul 09.00 WITA. Saat itu, bapak korban yang bertugas di Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda ditelpon oleh sorang polisi dari Polresta Samarinda dan menanyakan apakah Madan pernah mengidap penyakit. Kemudian polisi itu langsung mengatakan kalau anak tersebut sudah berada di kamar mayat Rumah Sakit Dirgahayu," ungkap La Bia, juru bicara keluarga Madan
Awalnya, tidak satu pun kerabat maupun teman korban mengaku mengetahui penyebab kematian dan alasan penangkapan siswa kelas dua SMU tersebut.
Pada bagian hidung, mata dan telingat terlihat ada luka memar, sementara bajunya terdapat bercak darah.
"Kami tidak tahu mengapa dia meninggal, padahal pada Minggu dini hari sekitar pukul 02.30 Wita, dia masih sempat berbicara dengan bapaknya melalui telepon genggam dan kondisinya saat itu masih segar," ujarnya.
"Bapaknya yang saat itu tengah menjalankan tugas pengawalan di Sungai Mahakam meminta Madan pulang ke rumah, namun pada Minggu pagi kami mendengar kabar kalau dia telah meninggal," kata La Bia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015