Pemerintah Indonesia mewaspadai aturan pembatasan konsumsi produk kepala sawit berisiko hasil penggundulan hutan (deforestasi) dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang dianggap diskriminatif bagi industri dalam negeri.
Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa Andri Hadi dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 mengatakan aturan tolak ukur (benchmark) yang diterapkan Uni Eropa tersebut berpotensi bermasalah, karena dirinya menilai di negara Eropa sendiri regulasi tersebut sulit untuk diterapkan.
"Karena bahkan di suatu negara sendiri, hal itu susah untuk dilakukan dengan system benchmarking yang sama. Sama dengan negara-negara lain," ujar dia dikutip di Bali, Jumat.
Hadi mengatakan bahwa sebagai akibat benchmarking yang belum pasti tersebut, suatu negara bisa secara diskriminatif dikategorikan sebagai negara penghasil produk berisiko tinggi dalam melakukan penggundulan hutan, sehingga bisa memicu aturan serupa diterapkan oleh negara lain dengan skema yang sama.
Adapun dalam aturan ini berlaku bagi semua produk yang dianggap melakukan deforestasi, seperti minyak kelapa sawit, kayu, kopi, karet, kedelai, dan kakao.
Dikatakan Dubes Hadi, Indonesia sudah mengajukan untuk melakukan perundingan dengan Uni Eropa tentang aturan pembatasan produk deforestasi tersebut.
Baca juga: Wamentan minta pengusaha sawit dukung ketahanan pangan lewat tumpang sari
"Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan one size fit all. Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi Uni Eropa tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda," katanya.
Lebih lanjut, Pengamat Minyak Nabati dari Universitas John Cabot Italia Pietro Paganini mengatakan negara produsen sawit harus mengintensifkan perundingan dengan Uni Eropa, dengan semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik guna mematuhi peraturan bebas deforestasi tersebut, mengingat penerapannya diperkirakan tidak hanya di Eropa saja tapi juga di luar Eropa.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) Rizal Affandi Lukman mengatakan, pelaksanaan EUDR pasti berdampak pada ekspor negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang merupakan penghasil sawit terbesar.
“Ini karena EUDR itu mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor,” katanya.
Menurutnya, dengan pemberlakuan EUDR nilai ekspor Indonesia ke Eropa yang terpengaruh akan mencapai 4.4 miliar dolar AS dalam berbagai produk pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Baca juga: Gapki minta pemerintah ikut lindungi industri sawit dari isu negatif
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2024
Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa Andri Hadi dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 mengatakan aturan tolak ukur (benchmark) yang diterapkan Uni Eropa tersebut berpotensi bermasalah, karena dirinya menilai di negara Eropa sendiri regulasi tersebut sulit untuk diterapkan.
"Karena bahkan di suatu negara sendiri, hal itu susah untuk dilakukan dengan system benchmarking yang sama. Sama dengan negara-negara lain," ujar dia dikutip di Bali, Jumat.
Hadi mengatakan bahwa sebagai akibat benchmarking yang belum pasti tersebut, suatu negara bisa secara diskriminatif dikategorikan sebagai negara penghasil produk berisiko tinggi dalam melakukan penggundulan hutan, sehingga bisa memicu aturan serupa diterapkan oleh negara lain dengan skema yang sama.
Adapun dalam aturan ini berlaku bagi semua produk yang dianggap melakukan deforestasi, seperti minyak kelapa sawit, kayu, kopi, karet, kedelai, dan kakao.
Dikatakan Dubes Hadi, Indonesia sudah mengajukan untuk melakukan perundingan dengan Uni Eropa tentang aturan pembatasan produk deforestasi tersebut.
Baca juga: Wamentan minta pengusaha sawit dukung ketahanan pangan lewat tumpang sari
"Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan one size fit all. Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi Uni Eropa tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda," katanya.
Lebih lanjut, Pengamat Minyak Nabati dari Universitas John Cabot Italia Pietro Paganini mengatakan negara produsen sawit harus mengintensifkan perundingan dengan Uni Eropa, dengan semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik guna mematuhi peraturan bebas deforestasi tersebut, mengingat penerapannya diperkirakan tidak hanya di Eropa saja tapi juga di luar Eropa.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) Rizal Affandi Lukman mengatakan, pelaksanaan EUDR pasti berdampak pada ekspor negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang merupakan penghasil sawit terbesar.
“Ini karena EUDR itu mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor,” katanya.
Menurutnya, dengan pemberlakuan EUDR nilai ekspor Indonesia ke Eropa yang terpengaruh akan mencapai 4.4 miliar dolar AS dalam berbagai produk pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Baca juga: Gapki minta pemerintah ikut lindungi industri sawit dari isu negatif
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2024