Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Borneo Orangutan Survival Foundation/BOSF) memerlukan sedikitnya Rp26,25 miliar per tahun untuk membiayai rehabilitasi dan persiapan pelepasliaran orangutan kembali ke alam.

Dr Jamartin Sihite, chief executive officer (CEO) BOSF, merincikan, untuk satu ekor orangutan (pongo pygmaeus) di Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Samboja Lestari, Kalimantan Timur, memerlukan dana lebih kurang Rp35 juta per tahun.

"Untuk 750 ekor orangutan yang ada di Samboja Lestari dan Nyaru Menteng, sekurangnya kami memerlukan Rp26,25 miliar per tahun," kata Jamartin Sihite, di Samboja Lestari, 50 km utara Balikpapan, Rabu.

Dana tersebut digunakan terutama untuk biaya makan orangutan. Setiap orangutan mendapat jatah makan 3-4 kali sehari yang terdiri atas 1-2 kg makanan berupa buah-buahan dan daun-daunan, termasuk di dalamnya biaya obat-obatan dan alat kesehatan.

Menurut dokter hewan (drh) Agus Irwanto, Program Manager Pusat Reintroduksi Orangutan di Samboja Lestari tersebut, orangutan yang sudah lama hidup bersama manusia kerap ditemui juga mengidap penyakit-penyakit manusia.

Biaya untuk 400 staf dan pemeliharaan fasilitas milik BOSF, yaitu Samboja Lestari, Kalimantan Timur dan Nyaru Menteng di Kalimantan Tengah, dan termasuk sebuah kantor di Bogor, juga termasuk di situ.

"Untuk mengurus orangutan memang perlu biaya banyak," kata Sihite.

Sejak dimulainya kampanye pelepasliaran mulai tahun 2012, komponen biaya bertambah, agar lembaga ini bisa mengirim orangutan kembali ke habitat aslinya.

Catatan BOSF Samboja, diperlukan setidaknya Rp5 miliar dalam sekali operasi pelepasliaran. Biaya itu mencakup sewa pesawat terbang dan helikopter, sewa truk dan mobil gardan ganda, hingga biaya akomodasi dan konsumsi baik orangutan maupun kru pelepasliaran.

"Sekarang juga pelepasliaran harus dimulai dengan tes DNA untuk menentukan apakah orangutan ini pongo pygmaeus morio yang tinggal di Kalimantan Timur atau pongo pygmaeus wurmbii yang asalnya dari Kalimantan Tengah," kata Irwanto, seraya menambahkan bahwa untuk sekali tes DNA disisihkan biaya Rp5 juta.

Sesuai ketentuan IUCN (International Union for Conservation of Nature, lembaga internasional yang menetapkan standar-standar konservasi), setiap individu (orangutan) harus dilepasliarkan kembali ke tempat asalnya.

Untuk mengatasi biaya pelepasliaran yang begitu besar, dalam beberapa kesempatan terakhir BOSF dibantu sejumlah sponsor seperti BCA, PT BHP Arutmin, Pemkab Kutai Kartanegara, dan Pemprov Kalimantan Timur.

Untuk membiayai kegiatan keseluruhan, BOSF terus menerus melakukan penggalangan dana di dalam dan di luar negeri.

Menurut Sihite, saat ini donatur BOSF adalah sejumlah filantropis dan lembaga donor di Jepang dan Eropa.

"Dubes AS untuk Indonesia, Robert Blake, yang baru berkunjung ke Samboja Lestari juga berjanji akan memfasilitasi kami untuk upaya-upaya penggalangan dana di Amerika Serikat," kata Sihite.

Fasilitas rehabilitasi orangutan di Samboja Lestari mulai dibangun tahun 1991, segera setelah BOSF berdiri.

Di sini ada berbagai fasilitas, mulai dari klinik orangutan, kandang-kandang perawatan, dan pulau-pulau khusus untuk latihan pelepasliaran. Setiap orangutan di sini menjalani apa yang disebut Sekolah Hutan, di mana mereka diajari kembali untuk menjadi orangutan liar.

"Orangutan yang lama dipelihara manusia bisa kehilangan beberapa kemampuan untuk hidup liar. Bahkan pada bayi orangutan, kadang dimulai dari mengenal pohon dan belajar memanjat," tutur drh Agus Irwanto.   (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014