Masa kampanye telah usai, janji-janji politik pun sudah ditebar. Nyaris tak ada ruang kosong yang tersisa, jalan-jalan, rumah penduduk, pepohonan, bahkan kuburan dihiasi gambar-gambar partai politik dan foto para politikus.

Para elit politik sibuk mengunjungi dan menghibur rakyat.

Bahkan pesta demokrasi lima tahunan juga dihiasi pentas musik dan tabur wacana di panggung kampanye.

Panggung-panggung berdiri untuk ajang kontes pria ganteng, perempuan ayu, pameran senyum dan tak lupa menabur hadiah berbingkai sedekah dan kasih sayang. Di sana-sini, berlangsung persaingan wacana antara yang menggamit dan menggenggam kekuasaan. Adu klaim keberhasilan dan impian.

Ajang kontes itu kini telah usai yang menyisakan kegamangan. Akankah "ritual" kampanye dengan sesajen pepesan kosong masih menghiasi pesta demokrasi lima tahunan ini?

Masihkah aktor-aktor politik teguh dengan asumsi bahwa rakyat mengidap amnesia sejarah, yang akan bisa dikelabui dengan wejangan iklan dan retorika untuk membangun opini publik.

Genderang perang memang telah ditabuh, dana triliunan rupiah pun dipertaruhkan. Inilah pertandingan politik yang paling seru.

Kemunculan sejumlah gejala elektoral baru, merebaknya fenomena "emoh partai" atau deparpolisasi, semakin kencangnya perang media, dan kian besarnya proporsi pemilih mengambang (swing voters) menjadikan pertandingan politik ini semakin ditunggu.

Terlepas dari hiruk pikuk pentas kampanye itu, kini para calon anggota legislatif tengah mengkalkulasi modal politik yang telah mereka keluarkan dengan harapan bisa meraup suara rakyat.

Memasuki masa tenang Minggu (6/4) pukul 00.00 WITA mulai menghitung-hitung dan berharap-harap cemas akankah modal ratusan juta bahkan miliaran rupiah itu membuahkan hasil "kursi panas" di parlemen. Ini tentunya akan terkuak setelah usai pemungutan suara pada 9 April 2014.

Kalau bernasib mujur tentunya bisa melenggang dan merasakan empuknya kursi parlemen. Namun jika tidak maka dana ratusan juta hingga miliaran rupiah itu akan melayang. Kondisi ini terkadang bisa menyebabkan para caleg mengalami stres berat.

Untuk mengantisipasi hal itu sejumlah daerah tidak ketinggalan di Kalimantan Timur menyiapkan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit jiwa untuk melayani jika ada calon anggota legislatif (caleg) yang stres karena tidak terpilih menjadi anggota dewan.

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Atma Husada Mahakam, Kalimantan Timur, sudah menyiapkan 30 tempat tidur mulai VIP, hingga kelas III untuk mengantisipasi kemungkinan adanya caleg stres yang membutuhkan pelayanan.

"Sebagai pelayan masyarakat tentu kita sudah siapkan, tidak perlu menunggu instruksi pusat," kata Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Atma Husada Mahakam Dr Fadhilah Masjaya.

Menurut dia, caleg pemula rentan depresi jika tidak terpilih menjadi wakil rakyat. Karena itu RSJ Atma Husada sudah menyiapkan 30 tempat tidur mulai VIP, hingga kelas III.

Ia mengatakan, berdasarkan pengalaman yang ada, caleg pemula disebut lebih rentan terhadap stres jika batal terpilih.

"Kebanyakan yang caleg pemula, karena belum siap kalah. Misalnya, sudah habis Rp1 miliar tapi tidak terpilih, habis sia-sia uangnya, dan jadi stres. Beda dengan caleg yang sudah berulang-ulang menjadi anggota dewan," kata Fadhilah.

Fadhilah mengakui, selalu ada caleg yang stres jika gagal terpilih. Namun, dari pengalaman, caleg gagal tersebut hanya mengalami stres ringan. Kalaupun ada tetapi tingkat stresnya ringan.

                                                          Menyiapkan puskesmas

Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya calon anggota legislatif (caleg) stres itu agaknya tidak hanya RSJ Atma Husada Mahakam yang menyiapkan pelayanan. Pemerintah Kota Balikpapan juga menyiapkan puskesmas untuk melayani caleg yang stres karena tidak terpilih.

Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, telah menyiapkan puskesmas untuk melayani calon anggota legislatif yang stres karena tidak terpilih pada Pemilu Legislatif 9 April 2014.

"Kami akan buka posko khusus di puskesmas. Kami siap melayani kalau ada caleg yang stres ringan maupun stres berat," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan drg Dyah Muryani.

Bahkan, katanya, bila membutuhkan penanganan khusus, dokter di puskemas akan merujuk ke rumah sakit ataupun dokter praktik.

Menurut dia, pada Pemilu sebelumnya, memang ada beberapa caleg di Balikpapan yang dibawa keluarganya untuk konsultasi karena stres akibat kalah.

"Memang ada kejadian seperti itu walau tidak terlalu banyak. Ada sekitar belasan orang," katanya.

Menurut Dyah, penyebab utama stres tersebut adalah karena uang habis untuk biaya kampanye pribadi maupun partai.

Di "Kota Minyak" (sebutan lain Kota Blikpapan), dengan penduduk 600 ribu, ada 40 kursi yang diperebutkan para caleg. Sesuai data KPU Balikpapan, ada 500 calon yang memperebutkan ke-40 kursi tersebut, termasuk para caleg petahana atau caleg petahana.

Belum lagi caleg untuk tingkat provinsi dengan daerah asal pemilihan Balikpapan. "Itu yang kami antisipasi," kata drg Dyah.

Saat ini Balikpapan memiliki 27 unit pusat kesehatan (puskesmas) dan tersebar masing-masing kelurahan. Tujuh di antaranya melayani masyarakat 24 jam, yaitu Puskesmas Manggar Baru, Puskesmas Sepinggan, Puskesmas Klandasan Ilir, Puskesmas Kariangau, Puskesmas Karang Joang, Puskesmas Baru Ulu, dan Puskesmas Mekarsari.

Di Balikpapan, kata dia, atau secara umum di Kalimantan Timur, dibutuhkan mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah, bahkan miliaran rupiah untuk biaya sosialisasi atau kampanye guna menjadi anggota dewan.

"Biaya sosialisasinya ke masyarakat maupun publikasi yang cukup besar, tidak cukup kalau hanya Rp5 juta atau Rp10 juta, bisa sampai ratusan juga kalau untuk caleg kota. Dana itu antara lain untuk membuat baliho, bertemu dengan masyarakat dan sebagainya," ujar salah seorang caleg.

Selain mengeluarkan biaya besar, tenaga dan kecakapan agar bisa terpilih menjadi anggota dewan pada musim Pemilu 2014 - 2019 yang dilaksanakan 9 April mendatang, caleg juga mesti pandai bicara di depan publik dalam tiap sosialisasi diri. Kalau tidak besar kemungkinan tidak terpilih.

Di Kalimantan Timur (Kaltim), untuk DPRD Provinsi Kaltim saja yang terdaftar 634 caleg memperebutkan 55 kursi. Biaya untuk memperoleh satu kursi itu mesti dengan dana besar. Ada yang memprediksi dana satu kursi di DPR RI bisa sampai Rp6 miliar.

Sementara untuk DPRD kabupaten/kota dari sekurangnya Rp450 juta bisa sampai Rp1,4 miliar, bahkan bisa lebih. Yang pasti terdaftar sebagai caleg mesti menguras isi kantong dalam-dalam. Bila nanti dalam pemilihan tidak terpilih, stres pasti menghinggapi.

Fenomena munculnya caleg stres di musim Pemilu 2014, menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, karena para politisi harus dihadapkan dengan masyarakat yang pragmatis. Sehingga, dana yang dikeluarkan para caleg yang berambisi menang dan terpilih akan sangat besar.

Bila caleg bersangkutan kurang kuat mental, bisa stres berbagai tingkatan, hingga mengalami gangguan jiwa sampai gila.

"Kalau rekrutmen caleg asal saja, tanpa melihat kemampuan modalnya. Ini persoalan, pola rekrutmen caleg secara asal saja itu yang salah dilakukan oleh parpol," kata Siti Zuhro seperti dikutip media massa.

Menurut dia, caleg yang terancam gila adalah mereka yang modalnya tipis (miskin), tidak dikenal dan punya ambisi besar tapi tidak berkemampuan.

"Caleg asal comot yang saat ini dilakukan parpol pastinya tidak siap mental sehingga berakibat akan timbul stres yang tinggi," katanya.

Tingginya biaya kampanye dan ketatnya persaingan di daerah pemilihan membuat calon anggota legislatif (caleg) rawan dilanda stres berat. Virus tersebut juga bisa membuat para caleg diserang penyakit gila.

Namun, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos) Balikpapan Tirta Dewi menuturkan, musim depresi tidak akan terjadi di Kota Minyak karena banyak caleg yang dinilai cukup intelek dan memiliki mental yang kuat.

"Hal ini karena kekhususan daerah ini (Balikpapan). Orang-orang di Balikpapan yang ingin terjun ke dunia politik, sudah sadar dan memiliki mental yang kuat bahwa suara yang diperebutkan terbatas hanya 45 kursi," ujarnya.

Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya caleg stres pada tahun politik ini pelayanan gangguan kejiwaan memang dipandang penting. Jika ada caleg yang menderita gangguan maka tidak menimbulkan masalah. (*) 

Pewarta: Masnun Masud

Editor : Masnun


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014