Samarinda (ANTARA Kaltim)- Hari ini menjadi hari bersejarah bagi warga Kaltim. Pasangan Awang Faroek Ishak dan Mukmin Faisyal dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim untuk periode mendatang. Menarik disimak bagaimana nanti kinerja pasangan ini mengawal pembangunan Kaltim.
 
Terlebih beberapa hari sebelumnya, reses yang dilakukan serentak oleh Anggota DPRD Kaltim menemukan fakta kinerja pemprov di bawah komando Awang Faroek belum maksimal menyentuh wilayah tertentu. Semisal wilayah perbatasan dan pedalaman. Momok infrastruktur, layanan kesehatan dan pendidikan masih menjadi cerita lama yang terus terulang.
 
“Sebenarnya bukan hanya di wilayah pedalaman dan yang jauh dari kontrol pemerintahan. Di kota seperti Samarinda dan Balikpapan pun, dengung ketidakpuasan akan kinerja pemerintah kerap terdengar. Masalah klasik, infrastruktur tetap menjadi fokus utama keluhan. Memang tak semua soal keluhan. Ada juga prestasi pemerintah yang layak diapresiasi,” ungkap Anggota DPRD Andi Harun dalam resesnya beberapa waktu lalu.

Nah, yang menjadi perhatian khusus adalah bagaimana wilayah seperti Sebatik, Nunukan, Kutai Barat, dan Muara Muntai yang masih jauh dari polesan pembangunan. Bahkan beberapa desa di wilayah Kubar yang konon sektor pertaniannya sedang digalakkan, tak tersentuh listrik selama belasan tahun. Indikasi kuat bahwa pasangan yang dilantik sebagai nahkoda pembangunan kaltim hari ini, punya tugas dan tanggung jawab yang begitu besar.

Simpang siur terkait pembagian “kue APBD” yang dianggap banyak pihak tidak merata, tak boleh lagi terjadi. Lintas koordinasi antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi dan DPRD Kaltim, harus lebih rekat. “Kekompakan di tingkat eksekutif ini layak dibangun lebih baik lagi. Jangan sampai menimbulkan kesimpangsiuran yang akhirnya mengorbankan rakyat,” lugas Anggota DPRD lainnya, Syaparudin.

Syaparudin yang dikenal lantang menyuarakan keinginan rakyat, juga berharap banyak pada pasangan pempimpin baru ini. Terlebih sang wakil, Mukmin Faisyal adalah mantan ketua DPRD Kaltim yang pastinya paham bagaimana alur pendistribusian anggaran pembangunan di seantero Kaltim.
 
Bukan tanpa alasan jika Syapar begitu vocal. Di daerah pemilihannya Kukar dan Kubar, ia kerap menemukan fakta ironis; warga dengan kesalnya menyampaikan janji pemerintah yang tak kunjung teralisasi. Mulai dari fasilitas kesehatan, infrastruktur dan SDM pendidikan hingga program listrik masuk desa yang urung teralisasi.

“Listrik menjadi begitu penting jika berbicara kualitas pembangunan. Tanpa listrik, entah pembangunan seperti apa yang bisa didapatkan,” katanya. Padahal, sederet janji itu banyak  diterima warga di sana saat suksesi 2008 silam. Tak heran saat melaksanakan reses warga sering meminta waktu berdiskusi dimalam hari.

“Di situ saya menjadi saksi begitu susahnya melakukan aktivitas tanpa penerangan di malam hari. Bahkan di Desa Leka Muara Muntai, suasana reses cenderung mencekam. Sudah gelap tanpa penerangan, aspirasi yang mereka sampaikan cenderung terbalut kekesalan dan emosi. Butuh waktu untuk membujuk dan menenangkan mereka. Mau bagaimana lagi, itulah risiko kami sebagai wakil rakyat yang bertatapan langsung dengan mereka,” beber Syapar.

Yang mengundang keprihatinan, dari 39 desa di Kukar dan 40 desa di Kubar yang belum teraliri listrik selama belasan tahun ini, sepakat memberi ancaman serius untuk pemerintah : golput pada pemilu legislatif (pileg) 2014 mendatang! “Bukan salah mereka jika total ribuan warga itu akhirnya menolak memberikan suara di pileg mendatang. Siapa yang tak kesal dijejali janji bertahun-tahun namun tak kunjung terbukti?” imbuhnya lagi.

Topik lain, soal infrastruktur jalan data awal tahun lalu, khusus di wilayah selatan Kalimantan Timur saja sebesar Rp1,3 triliun dibutuhkan untuk memperbaiki jalur jalan sepanjang 225 km yang masih rusak. Panjang jalan dari Kabupaten Penajam Paser Utara hingga perbatasan Kalimantan Selatan mencapai 240 km yang rusak mencapai 225 km. Jadi, hanya ada 15 km dalam kondisi layak.

Alasan yang mengemuka,  panjang  jalan yang menelan besarnya biaya. Apalagi  perbaikan jalan hanya dilakukan dengan modul-modul yakni titik jalan yang dinilai mengalami kerusakan parah, di antaranya dari Penajam ke Kuaro, dan Kuaro-Batu Aji (Paser).

Pada umumnya, kerusakan jalan di Kaltim termasuk di wilayah selatan diakibatkan ketidaksesuaian antara beban jalan dan jumlah tonase kendaraan yang melintas. Beban jalan di Kaltim hanya untuk kelas III B yakni maksimal delapan ton.

Sedangkan kendaraan yang melintas mencapai 16 ton. Kendaraan-kendaraan itu adalah milik perusahaan tambang batu bara dan kelapa sawit serta kendaraan angkut alat berat.

Bagaimana di kota besar? Samarinda misalnya?  Ini satu fakta menarik. Perbaikan Jalan A Yani Samarinda belum lama rampung. Waktu perbaikan butuh waktu berminggu-minggu untuk menutup jalan itu. Alhasil kemacetan, debu, lumpur harus diterima pengguna jalan.

Hal serupa ditemui di Sebatik. Sampai saat ini belum ada jalan proporsional yang menembus daerah itu untuk mengejar target Sebatik sebagai kota perbatasan yang maju. Yang ada malah pas lintas batas ke Malaysia yang menopang kehidupan mereka dicabut.

 Cara lain memang ada tetapi harus melalui beragam syarat berat. Mulai soal jaminan keamanan dari penyelundupan, dukungan dermaga proporsional yang sampai saat ini belum teralisasi , hingga speedboat yang harus memiliki standar keselamatan,  dan keharusan harus menggunakan paspor yang proses administrasinya di Kantor Imigrasi di Pulau Nunukan, sehingga sangat menyulitkan warga.

“Pertanyannya, apa yang bisa kita perbuat untuk Sebatik? Apa kita mau mereka terus-terusan bergantung dengan Malaysia. Siapa yang harus disalahkan jika akhirnya mereka jenuh dengan pemerintah mereka sendiri,” ucap Anggota Komisi I DPRD Kaltim M Arsyad Thalib setelah reses di Sebatik, beberapa waktu lalu. (Humas DPRD kaltim/adv/dhi/bar/yud/met)

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013