Guna mendorong percepatan pembangunan hijau, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terus mengembangkan strategi dan inovasi dalam mengelola sumber daya alam berkelanjutan.
Salah satunya, menurut Sekretaris Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kalimantan Timur Profesor Soeyitno Soedirman, melalui Kesepakatan Pembangunan Hijau atau Green Growth Compact (GGC).
GGC merupakan aksi kolaboratif yang menggandeng berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, perguruan tinggi, masyarakat adat, maupun masyarakat sipil, untuk mempercepat pencapaian tujuan Kalimantan Timur (Kaltim) Hijau.
Pelaksanaan Kesepakatan Pembangunan Hijau di Kaltim berada di bawah koordinasi DDPI Kalimantan Timur dengan dukungan Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Hasilnya, sejak dideklarasikan pada 2016, GGC telah melahirkan 11 inisiatif model pengelolaan sumber daya alam berbasis tapak, bentang alam, dan yurisdiksi.
Ke-11 inisiatif model tersebut adalah Program Karbon Hutan Berau, Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund, Perkebunan Berkelanjutan, Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay, Perhutanan Sosial, Penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan, Program Kampung Iklim (ProKlim), Kemitraan Pengelolaan Kawasan Delta Mahakam, Implementasi akSi Inspiratif warGA untuk Perubahan (Sigap), Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Kota Balikpapan.
Kemudian pada awal 2023 telah ditambahkan dua inisiatif model baru terkait pengelolaan ekosistem lahan basah. Inisiatif model ini diterapkan di Desa Muara Siran, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara dan di Danau Mesangat, Kecamatan Long Mesangat; serta di Danau Kenohan Suwi, Muara Ancalong, Kutai Timur.
“Berdasarkan hasil telaah dan analisis, maka ekosistem lahan basah Mesangat-Suwi dan ekosistem lahan gambut Muara Siran disepakati untuk menjadi tambahan dari 11 inisiatif model yang sudah terbentuk berdasarkan Kesepakatan Pembangunan Hijau,” jelas Soeyitno.
Ekosistem lahan basah, seperti didefinisikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, merupakan suatu wilayah genangan atau wilayah penyimpanan air, yang memiliki karakteristik daratan dan perairan. Disebut ekosistem lahan basah, bila memiliki ekosistem unik dan atau memiliki berbagai tipe vegetasi; kedua, habitat burung air dan atau burung migran; ketiga, habitat jenis satwa terancam punah, endemik, dan atau dilindungi; keempat, tempat pencadangan air bersih bagi kawasan sekitarnya; dan/atau; kelima, memiliki nilai ekonomi, ilmiah, spiritual budaya dan jasa ekosistem lainnya.
Ekosistem lahan basah yang menonjol adalah hutan rawa, riparian, dan rawa gambut. Ekosistem gambut berperan penting untuk menjaga keseimbangan tata air, cadangan karbon, hingga habitat keanekaragaman hayati. Keberadaan danau gambut yang terjaga, bisa menyelamatkan perekonomian warga, sekaligus menjaga fungsi gambut.
Lahan basah yang berada di Desa Muara Siran adalah ekosistem gambut yang pengelolaannya secara konsisten didampingi oleh Yayasan Biosfer Manusia (Bioma) sejak 2012. Mereka telah merestorasi dan merehabilitasi gambut melalui peningkatan ekonomi alternatif, seperti budi daya sarang burung walet. Budi daya ini menjadikan masyarakat lebih peduli terhadap ekosistem gambut. Pasalnya, bila danau gambut rusak, maka hasil produksi sarang burung walet juga ikut menurun.
“Warga kami sudah berkomitmen untuk menjaga hutan, kalau hutannya rusak, maka kesejahteraan warga juga berkurang dari produksi burung walet,” ujar Ketua Lembaga Pengelolaan Sumber Daya Alam Muara Siran Abdul Agus Nur.
Harapan Agus Nur atas status inisiatif model ini adalah adanya keselarasan antara potensi desa dengan program-program pemerintah yang masuk ke depannya. Di mana sejumlah dinas sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah berencana masuk dalam pembangunan desa, seperti dari pengembangan ekowisata dan perikanan tangkap.
Adapun untuk lahan basah di Danau Mesangat dan Danau Kenohan Suwi, pendampingan dilakukan oleh Yayasan Ulin dan Yayasan Konservasi Khatulistiwa Indonesia (Yashiwa). Kedua organisasi ini bekerja secara kolaboratif membantu pengelolaan kawasan ekosistem esensial di Mesangat-Suwi dengan spesies endemik buaya badas hitam (Crocodylus siamensis). Buaya ini masuk satwa dilindungi.
Kawasan seluas 13 ribu hektare ini juga menjadi habitat kucing tandang, bekantan, buaya senyulong, bangau tong-tong, dan ikan belida.
Keberadaan lahan basah di Mesangat-Suwi sudah mendapatkan sorotan dari dunia internasional karena spesies langkanya dan ekosistem yang unik berupa rawa dan riparian.
“Apabila kita gagal mengelola lahan basah Mesangat-Suwi, maka akan mendapat perhatian global,” kata Ketua Yashiwa Monica Kusneti.
Pada kawasan ini, lembaga pendamping masih memiliki tantangan dari nelayan yang menggunakan setrum dan pekebun sawit yang membuka lahan di riparian.
“Kami masih membutuhkan banyak dukungan untuk mendorong para pihak mengelola kawasan ini secara berkelanjutan,” kata Monica.
Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja Mitigasi DDPI Doktor Fajar Pambudi mengatakan dua ekosistem tersebut telah lulus dalam tujuh penapisan untuk menjadi inisiatif model. Sebagai inisiatif model, ada kriteria yang harus dipenuhi. Yakni sesuai dengan tujuan GGC, melibatkan multipihak, memiliki lembaga pendukung, kegiatannya menyeimbangkan aspek ekonomi dan ekologi, memiliki potensi pembiayaan dan pendanaan, berpotensi untuk direplikasi dan berkelanjutan, serta memiliki potensi hasil dalam tiga tahun.
Manajer Senior Pembangunan Hijau YKAN Alfan Subekti mengatakan dua inisiatif model yang dikukuhkan ini bukti bahwa komitmen pembangunan hijau bukan sekadar slogan sejak Program Kaltim Hijau dideklarasikan pada 2010.
“Pemangku kepentingan di Kaltim semakin bersemangat melakukan aksi kolaborasi dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis tapak,” kata Alfan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2023