Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak menegaskan saat ini ia dan seluruh rakyat Kalimantan Timur memperjuangkan bagi hasil migas yang adil yaitu 50:50, antara daerah penghasil dan pemerintah pusat.

"Sebab itulah jumlah yang adil, meski saat ini DPD juga mengusulkan 40:60, 40 untuk daerah penghasil dan 60 untuk pusat," kata Gubernur Awang di terminal minyak dan gas Senipah yang dijalankan Total Indonesie jelang akhir pekan lalu.

Gubernur menjawab pernyataan Ketua Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini yang menjanjikan akan memperjuangkan bagi hasil minyak hingga 30 persen bagi daerah penghasil dalam pembahasan perubahan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

"Padahal saudara-saudara kami di Aceh dan Papua mendapatkan sampai 70 persen," tegas Gubernur lagi.

Angka-angka pembagian hasil minyak dan gas tercantum dalam

pasal 14 huruf e dan f undang-undang tersebut. Pasal itu menyebutkan daerah mendapatkan bagi hasil sebesar 15,5 persen dari hasil penerimaan pertambangan minyak bumi dan 30,5 persen untuk penerimaan pertambangan gas bumi.

Prof Dr Kurtubi, guru besar dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mengatakan angka pembagian itu disebut "turun dari langit" karena tidak dipahami bagaimana cara menetapkannya.

Itu pun, dengan pendapatan negara Rp325 triliun dari minyak dan gas Kaltim, provinsi ini menerima kembali Rp7 triliun yang dimasukkan dalam APBD dari semestinya Rp40 triliun lebih bila mengacu kepada persen pembagian UU tadi.

"Dana itu tidak cukup. Akibatnya kami kesulitan membangun, memperbaiki, dan memelihara hal-hal dasar seperti infrastruktur. Jalan-jalan berlubang besar dan lama baru bisa diperbaiki," kata Gubernur Awang Faroek.

Termasuk juga hal-hal dasar tersebut adalah pendidikan dan kesehatan. Gubernur mengakui masih banyak daerah di Kalimantan Timur yang belum mendapat perhatian dan sentuhan pembangunan yang memadai karena kekurangan dana tersebut.

"Sebagai daerah yang kaya, tempat asal sumber daya alam, itu kan ironis sekali," tegas gubernur yang juga ketua umum Forum Konsultasi Daerah Penghasil Minyak dan Gas itu.

Sebelum perjuangan untuk perubahan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah itu, Kaltim sudah pernah mengajukan gugatan peninjauan kembali (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

MK menolak gugatan Kaltim dengan alasan antara lain bisa menimbulkan ketidakadilan bagi seluruh daerah di Indonesia dan berpotensi menimbulkan gejolak.

Penolakan MK tidak membuat Kaltim patah semangat. Perjuangan di perubahan UU Nomor 33 tersebut, sebut Gubernur, adalah upaya Kaltim agar mendapat keadilan sekaligus tetap dalam koridor konstitusi dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013