Sangatta (ANTARA News Kaltim) - Tokoh adat Suku Kutai Sangatta, Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur, menuntut pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memeratakan pembangunan.
Para tokoh Adat Suku Kutai itu masing-masing Ketua Adat Besar Kutai Sangatta Selatan H Nasrun, Ketua Adat Desa Sangkima Rofain dan Rahmani, Sabtu mengatakan, pemerintah pusat harus adil dalam membangun.
"Desa kami selama dua tahun, 2011 dan 2012, tidak boleh dibangun dengan menggunakan dana APBD II dan APBD I Provinsi maupun APBN karena dilarang Menteri Kehutanan, karena dianggap kami merambah Taman Nasional Kutai," kata Rahmani.
Menurut Rahmani saat mendampingi H Nasrun dan Ketua Adat Kutai Desa Sangkima, Rofain, Menteri Kehutanan melalui Balai Taman Nasional Kutai melarang pemerintah daerah membangun fisik seperti jalan dan gedung serta fasilitas pelayanan umum menggunakan dana APBN dan APBN.
Akibat larangan itu, selama dua tahun pula dua kecamatan dengan tujuh desa yang dihuni sekitar 12 ribu jiwa tidak bisa menikmati pembangunan.
Menurut dia, Menteri Kehutanan dan Balai TNK menuduh mereka menduduki TNK dan hutan lindung sehingga tidak perlu dibangun dengan dana negara.
"Saya ini lahir di Sangatta dan sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, punya anak cucu puluhan orang, kok Menteri dan BTNK melarang kami membangun daerah sendiri," kata Nasrun yang akrab disapa Nek Tuk.
Menurut Nek Tuk dan Rahmani, masyarakat adat di dua kecamatan ini sudah sangat sabar dan diam menjalani hukuman dari pemerintah khususnya petugas TNK dan Menteri Kehutanan.
"Kami sudah dua tahun dianaktirikan dalam pembangunan, sampai kapan kami bisa diam. Jelas akan timbul kecemburuan sosial sesama masyarakat jika hal ini terus terjadi," katanya.
Karena itu, dia sangat berharap Menteri Kehutanan dan Petugas Balai Taman Nasional Kutai BTNK lebih bijaksana mengambil keputusan agar tidak timbul konflik gara-gara terjadinya kesejangan ini.
"Ini aneh dan heran, karena pemerintah lebih mengutamakan orang utan dari pada orang beneran. Kalau orang utan dibuatkan tempat dan dipelihara, tapi manusia di dua kecamatan justru dilarang membangun," ujar Rofian.
Sedangkan Wakil bupati Kutai Timur, Ardiansyah Sulaiman saat dikonfirmasi mengatakan, pembangunan di dua kecamatan yang sempat tertunda akan segera dilanjutkan tahun 2013 mendatang.
"Memang sempat dua tahun berturut-turut, warga tak menikmati pembangunan karena larangan Balai Taman Nasional dan Menteri Kehutanan," kata Wabup.
Menurut Wabup, dari hasil pertemuan Pemkab Kutai Timur dengan Kementerian Kehutanan hampir dipastikan jika persetujuan "enclave" atas TNK akan segera terealisasi.
Menurut Wabup, permohonan "enclave" ini sudah akan terpisah dari permohonan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sampai sekarang belum keluar. Tetapi mudah-mudahan "enclave" lebih cepat terealisasi sebelum akhir tahun 2012.
"Kalau 'enclave' ini selesai maka seluruh program pembangunan yang tertunda itu segera dilanjutkan, seperti jalan utama dan gang-gang, terminal darat serta berbagai fasilitas umum," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
Para tokoh Adat Suku Kutai itu masing-masing Ketua Adat Besar Kutai Sangatta Selatan H Nasrun, Ketua Adat Desa Sangkima Rofain dan Rahmani, Sabtu mengatakan, pemerintah pusat harus adil dalam membangun.
"Desa kami selama dua tahun, 2011 dan 2012, tidak boleh dibangun dengan menggunakan dana APBD II dan APBD I Provinsi maupun APBN karena dilarang Menteri Kehutanan, karena dianggap kami merambah Taman Nasional Kutai," kata Rahmani.
Menurut Rahmani saat mendampingi H Nasrun dan Ketua Adat Kutai Desa Sangkima, Rofain, Menteri Kehutanan melalui Balai Taman Nasional Kutai melarang pemerintah daerah membangun fisik seperti jalan dan gedung serta fasilitas pelayanan umum menggunakan dana APBN dan APBN.
Akibat larangan itu, selama dua tahun pula dua kecamatan dengan tujuh desa yang dihuni sekitar 12 ribu jiwa tidak bisa menikmati pembangunan.
Menurut dia, Menteri Kehutanan dan Balai TNK menuduh mereka menduduki TNK dan hutan lindung sehingga tidak perlu dibangun dengan dana negara.
"Saya ini lahir di Sangatta dan sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, punya anak cucu puluhan orang, kok Menteri dan BTNK melarang kami membangun daerah sendiri," kata Nasrun yang akrab disapa Nek Tuk.
Menurut Nek Tuk dan Rahmani, masyarakat adat di dua kecamatan ini sudah sangat sabar dan diam menjalani hukuman dari pemerintah khususnya petugas TNK dan Menteri Kehutanan.
"Kami sudah dua tahun dianaktirikan dalam pembangunan, sampai kapan kami bisa diam. Jelas akan timbul kecemburuan sosial sesama masyarakat jika hal ini terus terjadi," katanya.
Karena itu, dia sangat berharap Menteri Kehutanan dan Petugas Balai Taman Nasional Kutai BTNK lebih bijaksana mengambil keputusan agar tidak timbul konflik gara-gara terjadinya kesejangan ini.
"Ini aneh dan heran, karena pemerintah lebih mengutamakan orang utan dari pada orang beneran. Kalau orang utan dibuatkan tempat dan dipelihara, tapi manusia di dua kecamatan justru dilarang membangun," ujar Rofian.
Sedangkan Wakil bupati Kutai Timur, Ardiansyah Sulaiman saat dikonfirmasi mengatakan, pembangunan di dua kecamatan yang sempat tertunda akan segera dilanjutkan tahun 2013 mendatang.
"Memang sempat dua tahun berturut-turut, warga tak menikmati pembangunan karena larangan Balai Taman Nasional dan Menteri Kehutanan," kata Wabup.
Menurut Wabup, dari hasil pertemuan Pemkab Kutai Timur dengan Kementerian Kehutanan hampir dipastikan jika persetujuan "enclave" atas TNK akan segera terealisasi.
Menurut Wabup, permohonan "enclave" ini sudah akan terpisah dari permohonan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sampai sekarang belum keluar. Tetapi mudah-mudahan "enclave" lebih cepat terealisasi sebelum akhir tahun 2012.
"Kalau 'enclave' ini selesai maka seluruh program pembangunan yang tertunda itu segera dilanjutkan, seperti jalan utama dan gang-gang, terminal darat serta berbagai fasilitas umum," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012