"Karantau madang di hulu babuah babungo balun, marantau bujang daulu di rumah baguno balun". Penggalan sajak Minangkabau tersebut merupakan cerminan dari pentingnya arti merantau bagi masyarakat Minangkabau yang telah ditanamkan sejak dahulu kala.
Hal ini pulalah yang ditanamkan sedari kecil pada anak, cucu dan para penerus terutama generasi muda hingga kini bahwa untuk menjadi orang besar harus merantau.
Sebagai salah satu suku yang identik dengan kesukaan merantau, orang Minangkabau yang mencari penghidupan di ibu kota malah kerap kali lebih dikenal sebagai "orang Padang". Walaupun sebenarnya Minangkabau tidak hanya meliputi orang-orang yang berasal dari Kota Padang yang notabenenya hanya salah satu kota besar di Sumatera Barat.
Jika berbicara terkait profesi yang digeluti, saat memilih jalan hidup sebagai perantau dan setibanya di Tanah Perantauan, orang Minangkabau umumnya berdagang.
Mereka menjajakan apa saja, baik itu pakaian mulai dari penutup kepala, badan hingga kaki. Tidak jarang dari mereka yang duduk membuka lapak di kaki lima serta tidak sedikit pula menjadi pedagang besar di pusat-pusat perbelanjaan besar.
Namun bukan berarti mereka hanya sebatas berdagang. Ada yang sukses menjadi pebisnis, birokrat, politisi, bahkan Wakil Presiden RI pertama pun berasal dari Tanah Minangkabau yakni Mohamad Hatta (Bung Hatta).
Di Jakarta, tidak sulit menemukan orang Padang. Bahkan, jika merindukan ocehan atau logat khas Padang, maka bisa menemukannya dengan mudah di Pasar Tanah Abang atau rumah makan Padang yang tersebar dimana-mana.
Sebagai pedagang, momentum Idul Fitri merupakan masa yang selalu ditunggu-tunggu dimana omzet dan penghasilan mereka terkadang mencapai masa jayanya. Tentu saja mereka kian bersemangat mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk bekal dibawa pulang sekali setahun ke kampung halaman.
Namun, Idul Fitri 1441 hijriah kali ini berbeda. Kampung halaman agaknya terasa lebih jauh, kerinduan akan orang tua, sanak saudara mesti ditanggung lebih lama di perantauan.
Pandemi COVID-19 telah mengubah rencana para perantau Minang 180 derajat. Jangankan untuk pulang menginjakkan kaki di Tanah Minang, mereka harus melewati masa-masa sulit dalam mengais rezeki untuk sekadar bertahan hidup apalagi di tengah kejamnya ibu kota.
Yandri, salah seorang perantau asal Nagari Sulit Air, Kabupaten Solok, Sumatera Barat turut merasakan dampak dari pandemi COVID-19 yang sudah terjadi sekitar dua bulan terakhir.
Bapak dua anak tersebut biasanya berdagang pakaian anak-anak di sekitar Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Namun, karena adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di ibu kota, ia terpaksa menutup lapak kaki limanya yang disewa Rp15 juta per tahun.
"Saya sudah berjualan sejak 2013. Namun badai corona seakan menghapus mata pencarian yang saya geluti untuk kebutuhan keluarga," katanya.
Sebelum terjadi pandemi COVID-19 dan kebijakan PSBB, Yandri mengaku bisa meraup omzet kurang dari Rp1 juta pada hari biasa. Namun pada Jumat dan Minggu ia bisa meraup omzet lebih dari itu.
"Kalau Jumat dan Minggu bisa mencapai Rp5 juta," kata dia. Sebab, pada Jumat ia menjajakan dagangannya di salah satu masjid dan hari Minggu dapat memanfaatkan keramaian "Car Free Day" sehingga banyak jual beli di dua hari tersebut.
Sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan PSBB, Yandri mengaku menutup habis lapaknya di Jalan Sabang. Imbasnya ia mengaku sekitar dua bulan tidak ada pemasukan sama sekali.
Untuk mencukupi kebutuhan selama dua bulan tanpa ada pemasukan, ia terpaksa menggunakan tabungan yang sudah dikumpulkan selama bertahun-tahun guna menyambung hidup bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil.
Melihat ketidakpastian dari pandemi COVID-19, Yandri memutar otak untuk mencari peluang agar dagangannya bisa dijual terutama saat Ramadhan. Ia bersama istri akhirnya memutuskan untuk berjualan secara daring dengan memanfaatkan aplikasi e-commerce atau perdagangan elektronik.
"Alhamdulillah saya masih bisa mencari nafkah. Sementara di luar sana banyak orang tidak bisa bekerja di tengah pandemi ini," katanya.
Meskipun sudah mulai bisa memanfaatkan teknologi jual beli daring, namun ia mengaku pengeluaran lewat e-commerce atau potongan biaya cukup tinggi terutama di tengah situasi saat ini.
"Saya menerima penghasilan dari e-commerce satu kali seminggu. Potongannya cukup besar tergantung berapa banyak pesanan," ujar dia.
Perjuangan mencari sesuap nasi dan bertahan di ibu kota juga dirasakan oleh Nober pemuda asal Kabupaten Solok yang sehari-hari mengandalkan jasa percetakan.
Sejak pandemi COVID-19 dan kebijakan PSBB, ia mengaku tidak memiliki penghasilan tetap sebab perkantoran di sekitar toko yang disewanya tersebut tidak beroperasi.
Bahkan, ia mengaku sering tidak ada pemasukan sama sekali dalam satu hari karena sepinya orang yang memesan jasa di percetakannya.
"Sehari hanya Rp50 ribu bahkan kadang sama sekali tidak ada pemasukan," ujarnya.
Paling tinggi ia hanya bisa mengumpulkan uang Rp200 ribu. Padahal, sebelum pandemi, Nober bisa meraup omzet minimal Rp500 ribu per hari dari usaha tersebut.
"Saya hanya bisa berharap situasi kembali normal," kata pemuda yang telah merantau ke Jakarta sejak 2010 tersebut.
Berbeda dengan Yandri dan Nober, Wahyu perajin asesoris di Jakarta Selatan asal Sumatera Barat mengaku sudah tidak bekerja lagi sejak awal Ramadhan.
Pemuda asal Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat tersebut terpaksa menutup sementara usahanya hingga waktu yang belum dapat ia tentukan karena situasi pandemi yang tak menentu saat ini.
Sebelum menutup lapaknya, Wahyu sempat bertahan selama beberapa pekan dengan bantuan dua pekerja. Lima dari tujuh pekerja terpaksa dipulangkan lebih awal mengingat kondisi perekonomian yang makin mengkhawatirkan.
"Sejak awal puasa tidak bekerja lagi. Tidak ada pesanan, sementara biaya hidup terus berjalan," kata lulusan Universitas Negeri Padang tersebut.
Sebelum badai pandemi COVID-19 terjadi di Tanah Air, ia mengaku bisa meraup omzet hingga Rp30 juta per bulan. Secara bertahap omzet tersebut mulai merosot menjadi Rp15 juta, Rp5 juta hingga sama sekali tidak ada.
Bahkan, kini ia bersama istri dan satu anaknya terpaksa tinggal di rumah kerabat dan bergantung dari sisa tabungan yang ia kumpulkan sejak merantau ke Tanah Jawa.
Rindu Rumah Gadang
Lebaran merupakan momentum yang selalu ditunggu-tunggu semua orang terutama umat Muslim untuk merayakan hari besar keagamaan. Namun, Idul Fitri tahun ini terasa berbeda sebab banyak orang tidak bersua dan berkumpul bersama sanak saudaranya di kampung halaman karena tidak bisa mudik.
Bagi perantau, lebaran tidak hanya sekadar hari besar semata, namun lebih dari itu ada kerinduan tersendiri yang dirasakan teramat dalam untuk bisa pulang ke kampung halaman.
"Rindu rasanya pulang kampung," kata Yandri.
Kerinduannya terpaksa dipendam dalam-dalam karena pemerintah melarang masyarakat mudik guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Jika ada warga yang tetap mudik dan ditemukan di jalanan maka tak jarang pula disuruh putar balik oleh petugas yang berjaga.
Meskipun melarang warga untuk mudik, namun transportasi massal sudah mulai normal seperti biasanya. Bahkan, beberapa waktu lalu tumpukan penumpang tampak mengantre di Bandara Soekarno-Hatta.
Bagi Yandri, Nober dan Wahyu tiga perantau Minang tersebut saat ini menahan diri di ibu kota jauh lebih penting dari pada tetap memaksakan diri untuk mudik. Selain terkendala kebijakan, uang untuk pulang kampung juga sudah tidak ada.
Lagi pula bila tetap mudik, di kampung halaman pun mereka akan merasa asing oleh setiap orang. Sebab, masyarakat pasti khawatir perantau membawa virus dari daerah zona merah.
"Bisa dikucilkan dalam artian orang takut bersua dengan kita," ujar Yandri.
Bagi mereka Idul Fitri 2020 akan dimanfaatkan dengan menghabiskan waktu bersama anak dan istri di kontrakan termasuk rencana berkunjung atau silaturahmi ke rumah kerabat di Jakarta.
Secara umum pandemi virus corona atau COVID-19 tidak hanya membawa dampak buruk bagi sisi kesehatan, lebih luas dari itu aspek pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, agama turut menjadi imbas dari masifnya penyebaran virus yang pertama kali menjangkit di Kota Wuhan, Provinsi Hubei tersebut.
Sejak badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) menetapkan pandemi COVID-19, sejumlah negara termasuk Indonesia menerapkan kebijakan melindungi warga negaranya dari ancaman virus.
Mulai dari karantina wilayah atau "lockdown" hingga PSBB yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak beberapa waktu lalu.
Imbas dari kebijakan ini tentu berdampak pada masyarakat terutama di tingkat akar rumput yang sehari-hari mengandalkan keramaian untuk sekadar menyambung hidup.
Hingga Senin (18/5) sore pukul 17.55 WIB sebanyak 18.010 warga di Indonesia dinyatakan positif, 12.495 masih dirawat, sembuh 4.324 orang dan meninggal 1.191 jiwa.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020
Hal ini pulalah yang ditanamkan sedari kecil pada anak, cucu dan para penerus terutama generasi muda hingga kini bahwa untuk menjadi orang besar harus merantau.
Sebagai salah satu suku yang identik dengan kesukaan merantau, orang Minangkabau yang mencari penghidupan di ibu kota malah kerap kali lebih dikenal sebagai "orang Padang". Walaupun sebenarnya Minangkabau tidak hanya meliputi orang-orang yang berasal dari Kota Padang yang notabenenya hanya salah satu kota besar di Sumatera Barat.
Jika berbicara terkait profesi yang digeluti, saat memilih jalan hidup sebagai perantau dan setibanya di Tanah Perantauan, orang Minangkabau umumnya berdagang.
Mereka menjajakan apa saja, baik itu pakaian mulai dari penutup kepala, badan hingga kaki. Tidak jarang dari mereka yang duduk membuka lapak di kaki lima serta tidak sedikit pula menjadi pedagang besar di pusat-pusat perbelanjaan besar.
Namun bukan berarti mereka hanya sebatas berdagang. Ada yang sukses menjadi pebisnis, birokrat, politisi, bahkan Wakil Presiden RI pertama pun berasal dari Tanah Minangkabau yakni Mohamad Hatta (Bung Hatta).
Di Jakarta, tidak sulit menemukan orang Padang. Bahkan, jika merindukan ocehan atau logat khas Padang, maka bisa menemukannya dengan mudah di Pasar Tanah Abang atau rumah makan Padang yang tersebar dimana-mana.
Sebagai pedagang, momentum Idul Fitri merupakan masa yang selalu ditunggu-tunggu dimana omzet dan penghasilan mereka terkadang mencapai masa jayanya. Tentu saja mereka kian bersemangat mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk bekal dibawa pulang sekali setahun ke kampung halaman.
Namun, Idul Fitri 1441 hijriah kali ini berbeda. Kampung halaman agaknya terasa lebih jauh, kerinduan akan orang tua, sanak saudara mesti ditanggung lebih lama di perantauan.
Pandemi COVID-19 telah mengubah rencana para perantau Minang 180 derajat. Jangankan untuk pulang menginjakkan kaki di Tanah Minang, mereka harus melewati masa-masa sulit dalam mengais rezeki untuk sekadar bertahan hidup apalagi di tengah kejamnya ibu kota.
Yandri, salah seorang perantau asal Nagari Sulit Air, Kabupaten Solok, Sumatera Barat turut merasakan dampak dari pandemi COVID-19 yang sudah terjadi sekitar dua bulan terakhir.
Bapak dua anak tersebut biasanya berdagang pakaian anak-anak di sekitar Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Namun, karena adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di ibu kota, ia terpaksa menutup lapak kaki limanya yang disewa Rp15 juta per tahun.
"Saya sudah berjualan sejak 2013. Namun badai corona seakan menghapus mata pencarian yang saya geluti untuk kebutuhan keluarga," katanya.
Sebelum terjadi pandemi COVID-19 dan kebijakan PSBB, Yandri mengaku bisa meraup omzet kurang dari Rp1 juta pada hari biasa. Namun pada Jumat dan Minggu ia bisa meraup omzet lebih dari itu.
"Kalau Jumat dan Minggu bisa mencapai Rp5 juta," kata dia. Sebab, pada Jumat ia menjajakan dagangannya di salah satu masjid dan hari Minggu dapat memanfaatkan keramaian "Car Free Day" sehingga banyak jual beli di dua hari tersebut.
Sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan PSBB, Yandri mengaku menutup habis lapaknya di Jalan Sabang. Imbasnya ia mengaku sekitar dua bulan tidak ada pemasukan sama sekali.
Untuk mencukupi kebutuhan selama dua bulan tanpa ada pemasukan, ia terpaksa menggunakan tabungan yang sudah dikumpulkan selama bertahun-tahun guna menyambung hidup bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil.
Melihat ketidakpastian dari pandemi COVID-19, Yandri memutar otak untuk mencari peluang agar dagangannya bisa dijual terutama saat Ramadhan. Ia bersama istri akhirnya memutuskan untuk berjualan secara daring dengan memanfaatkan aplikasi e-commerce atau perdagangan elektronik.
"Alhamdulillah saya masih bisa mencari nafkah. Sementara di luar sana banyak orang tidak bisa bekerja di tengah pandemi ini," katanya.
Meskipun sudah mulai bisa memanfaatkan teknologi jual beli daring, namun ia mengaku pengeluaran lewat e-commerce atau potongan biaya cukup tinggi terutama di tengah situasi saat ini.
"Saya menerima penghasilan dari e-commerce satu kali seminggu. Potongannya cukup besar tergantung berapa banyak pesanan," ujar dia.
Perjuangan mencari sesuap nasi dan bertahan di ibu kota juga dirasakan oleh Nober pemuda asal Kabupaten Solok yang sehari-hari mengandalkan jasa percetakan.
Sejak pandemi COVID-19 dan kebijakan PSBB, ia mengaku tidak memiliki penghasilan tetap sebab perkantoran di sekitar toko yang disewanya tersebut tidak beroperasi.
Bahkan, ia mengaku sering tidak ada pemasukan sama sekali dalam satu hari karena sepinya orang yang memesan jasa di percetakannya.
"Sehari hanya Rp50 ribu bahkan kadang sama sekali tidak ada pemasukan," ujarnya.
Paling tinggi ia hanya bisa mengumpulkan uang Rp200 ribu. Padahal, sebelum pandemi, Nober bisa meraup omzet minimal Rp500 ribu per hari dari usaha tersebut.
"Saya hanya bisa berharap situasi kembali normal," kata pemuda yang telah merantau ke Jakarta sejak 2010 tersebut.
Berbeda dengan Yandri dan Nober, Wahyu perajin asesoris di Jakarta Selatan asal Sumatera Barat mengaku sudah tidak bekerja lagi sejak awal Ramadhan.
Pemuda asal Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat tersebut terpaksa menutup sementara usahanya hingga waktu yang belum dapat ia tentukan karena situasi pandemi yang tak menentu saat ini.
Sebelum menutup lapaknya, Wahyu sempat bertahan selama beberapa pekan dengan bantuan dua pekerja. Lima dari tujuh pekerja terpaksa dipulangkan lebih awal mengingat kondisi perekonomian yang makin mengkhawatirkan.
"Sejak awal puasa tidak bekerja lagi. Tidak ada pesanan, sementara biaya hidup terus berjalan," kata lulusan Universitas Negeri Padang tersebut.
Sebelum badai pandemi COVID-19 terjadi di Tanah Air, ia mengaku bisa meraup omzet hingga Rp30 juta per bulan. Secara bertahap omzet tersebut mulai merosot menjadi Rp15 juta, Rp5 juta hingga sama sekali tidak ada.
Bahkan, kini ia bersama istri dan satu anaknya terpaksa tinggal di rumah kerabat dan bergantung dari sisa tabungan yang ia kumpulkan sejak merantau ke Tanah Jawa.
Rindu Rumah Gadang
Lebaran merupakan momentum yang selalu ditunggu-tunggu semua orang terutama umat Muslim untuk merayakan hari besar keagamaan. Namun, Idul Fitri tahun ini terasa berbeda sebab banyak orang tidak bersua dan berkumpul bersama sanak saudaranya di kampung halaman karena tidak bisa mudik.
Bagi perantau, lebaran tidak hanya sekadar hari besar semata, namun lebih dari itu ada kerinduan tersendiri yang dirasakan teramat dalam untuk bisa pulang ke kampung halaman.
"Rindu rasanya pulang kampung," kata Yandri.
Kerinduannya terpaksa dipendam dalam-dalam karena pemerintah melarang masyarakat mudik guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Jika ada warga yang tetap mudik dan ditemukan di jalanan maka tak jarang pula disuruh putar balik oleh petugas yang berjaga.
Meskipun melarang warga untuk mudik, namun transportasi massal sudah mulai normal seperti biasanya. Bahkan, beberapa waktu lalu tumpukan penumpang tampak mengantre di Bandara Soekarno-Hatta.
Bagi Yandri, Nober dan Wahyu tiga perantau Minang tersebut saat ini menahan diri di ibu kota jauh lebih penting dari pada tetap memaksakan diri untuk mudik. Selain terkendala kebijakan, uang untuk pulang kampung juga sudah tidak ada.
Lagi pula bila tetap mudik, di kampung halaman pun mereka akan merasa asing oleh setiap orang. Sebab, masyarakat pasti khawatir perantau membawa virus dari daerah zona merah.
"Bisa dikucilkan dalam artian orang takut bersua dengan kita," ujar Yandri.
Bagi mereka Idul Fitri 2020 akan dimanfaatkan dengan menghabiskan waktu bersama anak dan istri di kontrakan termasuk rencana berkunjung atau silaturahmi ke rumah kerabat di Jakarta.
Secara umum pandemi virus corona atau COVID-19 tidak hanya membawa dampak buruk bagi sisi kesehatan, lebih luas dari itu aspek pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, agama turut menjadi imbas dari masifnya penyebaran virus yang pertama kali menjangkit di Kota Wuhan, Provinsi Hubei tersebut.
Sejak badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) menetapkan pandemi COVID-19, sejumlah negara termasuk Indonesia menerapkan kebijakan melindungi warga negaranya dari ancaman virus.
Mulai dari karantina wilayah atau "lockdown" hingga PSBB yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak beberapa waktu lalu.
Imbas dari kebijakan ini tentu berdampak pada masyarakat terutama di tingkat akar rumput yang sehari-hari mengandalkan keramaian untuk sekadar menyambung hidup.
Hingga Senin (18/5) sore pukul 17.55 WIB sebanyak 18.010 warga di Indonesia dinyatakan positif, 12.495 masih dirawat, sembuh 4.324 orang dan meninggal 1.191 jiwa.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020