Balikpapan  (ANTARA News Kaltim) - Kalangan mahasiswa di Balikpapan kembali menentang perluasan Kawasan Industri Kariangau (KIK) di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, yang dinilai bakal merusak lingkungan alam dan habitat fauna di wilayah itu.

"Perluasan tersebut adalah bencana lingkungan bagi Balikpapan dan Penajam Paser Utara," kata Handi Abdullah, juru bicara Forum Peduli Teluk Balikpapan, Rabu.

Pemkot Balikpapan meluaskan KIK dari 2.198 hektare saat ini menjadi 5.130 hektare.

Namun demikian, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Suryanto mengatakan, dari 5.130 hektare itu hanya 2.798 yang dibuka dan dimanfaatkan. Sisa lainnya diperuntukkan bagi lingkungan hidup sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Namun demikian, dari laporan hasil pengamatan di lapangan, menurut Handi Abdullah, saat ini dengan mengizinkan PT Dermaga Kencana Indonesia (DKI) dan PT Mekar Bumi Andalas (MBA) beroperasi di hulu Teluk Balikpapan, telah terjadi sedimentasi yang signifikan di Teluk Balikpapan.

"Sedimentasi merusak terumbu karang dan padang lamun, juga membuat pendangkalan," ujar Abdullah.

Menurut dia, terumbu karang yang rusak berarti hilang tempat hidup bagi ikan, dan pada gilirannya mengancam perikanan di Teluk Balikpapan.

Selain itu, katanya, Pencemaran juga dikhawatirkan terjadi dari pembuangan air limbah perusahaan. Ikan-ikan yang tercemar ada kemungkinan ditangkap dan dikonsumsi manusia sehingga bisa meracuni orang.

"Bukan tidak mungkin bisa terjadi tragedi minamata di sini," kata Stanislav Lhota, peneliti dari Universitas Bohemia Selatan, Republik Ceko, yang sudah bertahun-tahun meneliti Teluk Balikpapan.

Tragedi Minamata adalah sebutan untuk masyarakat Jepang yang menjadi cacat, terkena kanker, dan penyakit lain karena mengonsumsi ikan yang ditangkap di Teluk Minamata yang tercemar logam berat merkuri.

Perikanan terutama diusahakan warga yang tinggal di sisi barat atau di wilayah Penajam Paser Utara. Merekalah yang terancam langsung mata pencahariannya oleh perluasan kawasan tersebut.

Seperti juga kekhawatiran para penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Jufriansyah dari LSM Stabil, keadaan ini bisa memicu konflik antara PPU dengan Balikpapan.

Sedimentasi terjadi karena perusahaan menggunakan cara "cut and fill" untuk mendapatkan lahan bagi tempat usahanya. Bagian tanah yang tinggi dipotong untuk mengisi bagian yang rendah atau rawa-rawa.

"Jadi konsep zero sediment, nihil sedimentasi yang disebutkan pemerintah itu tidak berlaku," tegas Abdullah.

Di sisi lain, katanya, perluasan kawasan juga mengancam habitat hidup flora dan fauna. Menurut catatan sejumlah penelitian, Teluk Balikpapan memiliki keragaman flora dan fauna yang luar biasa.

Di perairan ada pesut dan ratusan jenis ikan, di hutannya hidup beruang madu, macan dahan, bekantan, buaya muara, hingga penyu hijau," kata Lhota.

Hutan mangrove di Teluk Balikpapan adalah hutan primer, di mana tinggi pepohonannya ada yang mencapai 20 meter. "Justru hutan-hutan seperti ini yang banyak dibuka nanti bila kawasan ini sungguh jadi nanti," ungkap Abdullah.

Ia juga menegaskan dengan perluasan ini konsep greenbelt dan green corridor (sabuk hijau dan koridor hijau) menjadi nihil, tidak berfungsi, atau bahkan hilang samasekali.

Greenbelt selebar 100 meter disyaratkan sebagai daerah yang tidak boleh diganggu di antara wilayah perusahaan dengan Teluk Balikpapan.

Green corridor adalah daerah atau kawasan lalu lintas satwa di antara kawasan perusahaan-perusahaan.

Teluk Balikpapan adalah tempat hidup bagi tidak kurang 100 jenis mamalia, termasuk bekantan, beruang madu, dan macan dahan yang sudah disebut Lhota, 300 jenis burung, dan sedikitnya seribu jenis pohon.

Forum Peduli Teluk Balikpapann beranggotakan kelompok-kelompok mahasiswa dari Universitas Mulawarman di Samarinda dan Universitas Balikpapan di Balikpapan.  (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012