Di antara wajah-wajah berkulit putih, berambut lurus warga Paguyuban Sunda di Wamena, Kantius Wenda (28) tampak mencolok dengan kulit gelap dan rambut keritingnya.
Di sampingnya duduk Yuliani Rahmawati (38) yang menggendong bayi usia 1,2 tahun berambut keriting yang tertidur nyenyak di pangkuannya.
Di depan mereka duduk seorang anak perempuan berusia hampir empat tahun dengan rambut keriting yang terlihat menggemaskan sedang asyik bermain sendiri tanpa menghiraukan suasana di sekitarnya yang sedang berlangsung silaturahmi Paguyuban Sunda.
Sesekali, Katnis Aurora Wenda bermain dengan orang-orang dewasa di sekitarnya, ia menunjuk-nunjuk kacamata yang penulis pakai kemudian memperlihatkan jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan kecilnya kepada orang yang bar dikenalnya.
Katnis yang biasa disapa Kasih, dengan suara kecil dan logat Papua mengatakan ia juga memiliki kacamata seperti yang penulis kenakan, tapi sayangnya kacanya sudah rusak.
"Dia punya kacamata juga di rumah tapi kacanya sudah lepas," kata sang ibu, Yuliani yang mencoba menerjemahkan maksud Kasih.
Kasih dan Kayla Obelom Wenda, si bayi yang digendong Yuliani, adalah buah cintanya dengan Kantius Wenda.
Pasangan yang menikah beberapa tahun lalu itu tampak kontras, yang satu berambut keriting berkulit gelap, sang istri berambut lurus sebahu dengan warna kulit lebih cerah.
Kantius merupakan warga Papua yang berasal dari Kabupaten Lanny Jaya, sedangkan Yuliani adalah warga Sunda yang berasal dari Bogor Jawa Barat, keduanya dipertemukan di Wamena.
Benih-benih cinta bersemi ketika Kantius, yang bekerja sebagai staf konsultan sipil bertemu dengan Yuliani di kediaman bupati.
Saat itu Yuliani bekerja membantu keperluan sehari-hari ibu bupati, sedangkan Kantius, hampir setiap hari ke kediaman untuk mengerjakan proyek perbaikan bangunan.
Setiap Kantius datang, mewakili nyonya rumah yang baik, Yuliani selalu menyuguhkan secangkir kopi.
Kopi hitam yang pahit tak lagi dirasakan, karena bunga cinta yang telah berkembang, semuanya terasa manis bagi Kantius.
Bagai gayung bersambut, perasaan keduanya saling bertaut hingga akhirnya mereka memutuskan menikah meski berbagai perbedaan terbentang lebar.
Meski keputusan Yuliani untuk menikahi Kantius pada awalnya mendapat pertentangan kedua belah pihak keluarga, tapi akhirnya mereka mampu meyakinkan dan menunjukkan kehamornisan di tengah perbedaan.
Bukan hanya perbedaan warna kulit, rambut, agama, hingga budaya, tapi semuanya tidak menjadi penghalang bahkan menyatukan mereka. "Dia baik, makanya saya mau dengan pace," kata Yuliani, menepis stigma orang-orang tentang Papua.
Pace merupakan panggilan bagi laki-laki dewasa di Papua, sementara Yuliani disapa teteh yang merupakan panggilan akrab untuk perempuan dewasa di Sunda.
Perbedaan Tak Jadi Batasan
Sebagai sosok yang berbeda di tengah warga Sunda di Wamena yang berkumpul saat itu sempat membuat Kantius sedikit gugup. "Bisa diterima sudah bersyukur, mereka sangat bersahabat, saya senang. Mereka baik dan bersahabat," tambah Kantius.
Namun karena ia mengenal beberapa dari mereka, Kantius merasa cukup nyaman berkumpul, terlebih lagi sejak kecil ia sudah bergaul dengan masyarakat pendatang di Papua dan juga mengenyam pendidikan tinggi di Pulau Jawa.
"Perbedaan yang ada di Indonesia, khusus untuk Papua perbedaan itu bisa kita ambil hal yang baik, bukan batasan buat kita," kata Kantius.
Baik Papua, Sunda, Jawa, Sulawesi dan lainnya menurut Kantius sama saja, tetap satu Indonesia.
Kerusuhan yang terjadi di Wamena pada 23 September lalu, hingga berimbas pada eksodusnya warga pendatang ke kampung halamannya masing-masing turut disesalkan Kantius.
Kantius yang beristrikan orang Sunda merasa peristiwa yang menimbulkan 33 korban jiwa itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Yuliani juga sempat berpikir untuk kembali ke Bogor karena rasa khawatir dan cemas atas situasi yang terjadi, namun akhirnya ia tetap bertahan bersama keluarga.
"Dia mau mengungsi tapi saya bilang ada saya, kamu orang Wamena juga," ujar Kantius.
Keluarga Baru
Meski baru pertama kali berkumpul di tengah-tengah warga etnis Sunda yang tergabung dalam Paguyuban Sunda, Kantius terkesan dengan penerimaan mereka.
Ia merasa memiliki keluarga baru dan teman pun bertambah dengan harapan ikatan keakraban mereka semakin erat.
Ketua Paguyuban Sunda di Wamena Entis Sutisna mengatakan sebanyak 154 orang Sunda yang berada di Wamena dengan berbagai profesi seperti pedagang, pegawai negeri sipil dan lainnya.
Di tengah situasi yang belum stabil pascakerusuhan, Paguyuban Sunda menunjukkan kekompakan dan ikatan yang kuat di perantauan.
Warga Sunda yang juga terdampak kerusuhan, yaitu sekitar tiga keluarga yang rumah dan tempat usahanya terbakar ditampung di rumah-rumah warga Sunda lainnya lebih aman.
"Alhamdulillah kondisi kami sehat-sehat semua, tidak kekurangan makan, sandang. Kita saling membantu satu sama lain, tidak meminta bantuan dari Pemda tapi dari warga sedikit demi sedikit dikumpulkan," ujar Entis.
Warga Sunda di Wamena selama ini sudah berbaur dengan baik bersama masyarakat, bahkan mereka juga turut memeriahkan berbagai hari besar seperti Hari Kemerdekaan RI dengan menampilkan kesenian Sunda seperti jaipong, calung, sisingaan, angklung dan pencak silat.
Mereka sudah menganggap Wamena sebagai kampung halaman kedua, sehingga lebih banyak yang memilih menetap dari pada eksodus pascakerusuhan.
Menurut Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat, ikatan yang kuat dan kerukunan yang ditunjukkan Paguyuban Sunda menjadi contoh dan pembelajaran baik untuk keberagaman.
Peran paguyuban juga memberikan penguatan kepada warganya dalam menghadapi situasi sulit pascakerusuhan dan juga bisa memberikan motivasi bahkan mempertahankan keberadaan masyarakat Sunda yang sudah belasan tahun di Wamena.
"Hal positif ini harus kita jaga bukan malah menjadi terpecah belah tapi tetap satu sebagai masyarakat Indonesia," kata Harry Hikmat.
Kantius dan Yuliani menjadi contoh kecil keberagaman dan kerukunan di Indonesia, meski berbeda tapi mereka tetap bersatu dan rukun berkeluarga. Segelas kopi menjadi penyatu perbedaan Kantius dan Yuliani.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019
Di sampingnya duduk Yuliani Rahmawati (38) yang menggendong bayi usia 1,2 tahun berambut keriting yang tertidur nyenyak di pangkuannya.
Di depan mereka duduk seorang anak perempuan berusia hampir empat tahun dengan rambut keriting yang terlihat menggemaskan sedang asyik bermain sendiri tanpa menghiraukan suasana di sekitarnya yang sedang berlangsung silaturahmi Paguyuban Sunda.
Sesekali, Katnis Aurora Wenda bermain dengan orang-orang dewasa di sekitarnya, ia menunjuk-nunjuk kacamata yang penulis pakai kemudian memperlihatkan jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan kecilnya kepada orang yang bar dikenalnya.
Katnis yang biasa disapa Kasih, dengan suara kecil dan logat Papua mengatakan ia juga memiliki kacamata seperti yang penulis kenakan, tapi sayangnya kacanya sudah rusak.
"Dia punya kacamata juga di rumah tapi kacanya sudah lepas," kata sang ibu, Yuliani yang mencoba menerjemahkan maksud Kasih.
Kasih dan Kayla Obelom Wenda, si bayi yang digendong Yuliani, adalah buah cintanya dengan Kantius Wenda.
Pasangan yang menikah beberapa tahun lalu itu tampak kontras, yang satu berambut keriting berkulit gelap, sang istri berambut lurus sebahu dengan warna kulit lebih cerah.
Kantius merupakan warga Papua yang berasal dari Kabupaten Lanny Jaya, sedangkan Yuliani adalah warga Sunda yang berasal dari Bogor Jawa Barat, keduanya dipertemukan di Wamena.
Benih-benih cinta bersemi ketika Kantius, yang bekerja sebagai staf konsultan sipil bertemu dengan Yuliani di kediaman bupati.
Saat itu Yuliani bekerja membantu keperluan sehari-hari ibu bupati, sedangkan Kantius, hampir setiap hari ke kediaman untuk mengerjakan proyek perbaikan bangunan.
Setiap Kantius datang, mewakili nyonya rumah yang baik, Yuliani selalu menyuguhkan secangkir kopi.
Kopi hitam yang pahit tak lagi dirasakan, karena bunga cinta yang telah berkembang, semuanya terasa manis bagi Kantius.
Bagai gayung bersambut, perasaan keduanya saling bertaut hingga akhirnya mereka memutuskan menikah meski berbagai perbedaan terbentang lebar.
Meski keputusan Yuliani untuk menikahi Kantius pada awalnya mendapat pertentangan kedua belah pihak keluarga, tapi akhirnya mereka mampu meyakinkan dan menunjukkan kehamornisan di tengah perbedaan.
Bukan hanya perbedaan warna kulit, rambut, agama, hingga budaya, tapi semuanya tidak menjadi penghalang bahkan menyatukan mereka. "Dia baik, makanya saya mau dengan pace," kata Yuliani, menepis stigma orang-orang tentang Papua.
Pace merupakan panggilan bagi laki-laki dewasa di Papua, sementara Yuliani disapa teteh yang merupakan panggilan akrab untuk perempuan dewasa di Sunda.
Perbedaan Tak Jadi Batasan
Sebagai sosok yang berbeda di tengah warga Sunda di Wamena yang berkumpul saat itu sempat membuat Kantius sedikit gugup. "Bisa diterima sudah bersyukur, mereka sangat bersahabat, saya senang. Mereka baik dan bersahabat," tambah Kantius.
Namun karena ia mengenal beberapa dari mereka, Kantius merasa cukup nyaman berkumpul, terlebih lagi sejak kecil ia sudah bergaul dengan masyarakat pendatang di Papua dan juga mengenyam pendidikan tinggi di Pulau Jawa.
"Perbedaan yang ada di Indonesia, khusus untuk Papua perbedaan itu bisa kita ambil hal yang baik, bukan batasan buat kita," kata Kantius.
Baik Papua, Sunda, Jawa, Sulawesi dan lainnya menurut Kantius sama saja, tetap satu Indonesia.
Kerusuhan yang terjadi di Wamena pada 23 September lalu, hingga berimbas pada eksodusnya warga pendatang ke kampung halamannya masing-masing turut disesalkan Kantius.
Kantius yang beristrikan orang Sunda merasa peristiwa yang menimbulkan 33 korban jiwa itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Yuliani juga sempat berpikir untuk kembali ke Bogor karena rasa khawatir dan cemas atas situasi yang terjadi, namun akhirnya ia tetap bertahan bersama keluarga.
"Dia mau mengungsi tapi saya bilang ada saya, kamu orang Wamena juga," ujar Kantius.
Keluarga Baru
Meski baru pertama kali berkumpul di tengah-tengah warga etnis Sunda yang tergabung dalam Paguyuban Sunda, Kantius terkesan dengan penerimaan mereka.
Ia merasa memiliki keluarga baru dan teman pun bertambah dengan harapan ikatan keakraban mereka semakin erat.
Ketua Paguyuban Sunda di Wamena Entis Sutisna mengatakan sebanyak 154 orang Sunda yang berada di Wamena dengan berbagai profesi seperti pedagang, pegawai negeri sipil dan lainnya.
Di tengah situasi yang belum stabil pascakerusuhan, Paguyuban Sunda menunjukkan kekompakan dan ikatan yang kuat di perantauan.
Warga Sunda yang juga terdampak kerusuhan, yaitu sekitar tiga keluarga yang rumah dan tempat usahanya terbakar ditampung di rumah-rumah warga Sunda lainnya lebih aman.
"Alhamdulillah kondisi kami sehat-sehat semua, tidak kekurangan makan, sandang. Kita saling membantu satu sama lain, tidak meminta bantuan dari Pemda tapi dari warga sedikit demi sedikit dikumpulkan," ujar Entis.
Warga Sunda di Wamena selama ini sudah berbaur dengan baik bersama masyarakat, bahkan mereka juga turut memeriahkan berbagai hari besar seperti Hari Kemerdekaan RI dengan menampilkan kesenian Sunda seperti jaipong, calung, sisingaan, angklung dan pencak silat.
Mereka sudah menganggap Wamena sebagai kampung halaman kedua, sehingga lebih banyak yang memilih menetap dari pada eksodus pascakerusuhan.
Menurut Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat, ikatan yang kuat dan kerukunan yang ditunjukkan Paguyuban Sunda menjadi contoh dan pembelajaran baik untuk keberagaman.
Peran paguyuban juga memberikan penguatan kepada warganya dalam menghadapi situasi sulit pascakerusuhan dan juga bisa memberikan motivasi bahkan mempertahankan keberadaan masyarakat Sunda yang sudah belasan tahun di Wamena.
"Hal positif ini harus kita jaga bukan malah menjadi terpecah belah tapi tetap satu sebagai masyarakat Indonesia," kata Harry Hikmat.
Kantius dan Yuliani menjadi contoh kecil keberagaman dan kerukunan di Indonesia, meski berbeda tapi mereka tetap bersatu dan rukun berkeluarga. Segelas kopi menjadi penyatu perbedaan Kantius dan Yuliani.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019