Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur (Katim) mengungkapkan pembinaan sekaligus perlindungan terhadap anak harus terus dilakukan semua pihak mulai keluarga, pemerintah, hingga pihak lain, karena hingga kini jumlah kasus anak yang berhadapan dengan hukum masih tinggi.
"Kaus anak yang berhadapan dengan hukum di Kaltim sejak Januari 2019 hingga saat ini jumlahnya mencapai 324 anak," tutur Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Halda Arsyad di Samarinda, Jumat.
Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak itu, rincian berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) khususnya berdasarkan aplikasi Simponi Januari-September 2019, terdiri dari 255 anak sebagai korban dan sisanya yang berjumlah 69 anak merupakan pelaku.
Sebanyak 255 korban itu terdiri atas 77 anak laki-laki dan 178 anak perempuan. Sedangkan untuk pelaku yang tercatat ada 69 anak tersebut terdiri atas 62 laki-laki dan tujuh perempuan. Sementara kasusnya meliputi pencurian dengan kekerasan, penganiayaan, perkelahian, kekerasan seks, dan penyalahgunaan narkoba.
Dalam menangani masalah ini, lanjutnya, tentu tidak bisa ditangani secara parsial, namun harus dilakukan secara bersama lintas sektor sehingga terintegrasi, terpadu, dan holistik penanganannya.
Dalam hal ini, kata dia, pencegahannya juga menjadi tanggung jawab bersama hingga tingkat keluarga, terutama ayah dan ibu yang wajib menjaga anak agar terhindar dari berbagai tindakan yang bisa menggiring anak berhadapan dengan permasalahan hukum.
Ia juga mengatakan, semua kalangan mulai unsur pemerintah, penegak hukum, lembaga, swasta, hingga elemen masyarakat umum seharusnya terus membina dan melindungi anak dari berbagai tindakan kekerasan dan negatif lain demi menjaga masa depan anak.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, maka semua pun wajib memenuhi seluruh aturan yang telah ditetapkan tersebut.
konsekuensinya kemudian ditindaklanjuti dengan membuat regulasi yang bertujuan melindungi anak, yaitu dengan diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sebagai pengganti UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
"UU SPPA ini tentunya diharapkan sebagai model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak, yakni mengutamakan pendekatan keadilan restoratif bagi anak yang mengalami masalah hukum," ujar Halda.
Undang-Undang tersebut, lanjut Halda, diberlakukan setelah dua tahun sejak tanggal ditetapkan pada 30 Juli 2012, kemudian waktu paling lama lima tahun setelah diberlakukan. Selain itu, ada beberapa tahap yang harus dipenuhi, yaitu membangun lemabaga pemasyarakatan di kabupaten/kota.
Ia juga mengatakan, dalam UUD Pasal 28 B (2) disebutkan negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019
"Kaus anak yang berhadapan dengan hukum di Kaltim sejak Januari 2019 hingga saat ini jumlahnya mencapai 324 anak," tutur Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Halda Arsyad di Samarinda, Jumat.
Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak itu, rincian berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) khususnya berdasarkan aplikasi Simponi Januari-September 2019, terdiri dari 255 anak sebagai korban dan sisanya yang berjumlah 69 anak merupakan pelaku.
Sebanyak 255 korban itu terdiri atas 77 anak laki-laki dan 178 anak perempuan. Sedangkan untuk pelaku yang tercatat ada 69 anak tersebut terdiri atas 62 laki-laki dan tujuh perempuan. Sementara kasusnya meliputi pencurian dengan kekerasan, penganiayaan, perkelahian, kekerasan seks, dan penyalahgunaan narkoba.
Dalam menangani masalah ini, lanjutnya, tentu tidak bisa ditangani secara parsial, namun harus dilakukan secara bersama lintas sektor sehingga terintegrasi, terpadu, dan holistik penanganannya.
Dalam hal ini, kata dia, pencegahannya juga menjadi tanggung jawab bersama hingga tingkat keluarga, terutama ayah dan ibu yang wajib menjaga anak agar terhindar dari berbagai tindakan yang bisa menggiring anak berhadapan dengan permasalahan hukum.
Ia juga mengatakan, semua kalangan mulai unsur pemerintah, penegak hukum, lembaga, swasta, hingga elemen masyarakat umum seharusnya terus membina dan melindungi anak dari berbagai tindakan kekerasan dan negatif lain demi menjaga masa depan anak.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, maka semua pun wajib memenuhi seluruh aturan yang telah ditetapkan tersebut.
konsekuensinya kemudian ditindaklanjuti dengan membuat regulasi yang bertujuan melindungi anak, yaitu dengan diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sebagai pengganti UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
"UU SPPA ini tentunya diharapkan sebagai model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak, yakni mengutamakan pendekatan keadilan restoratif bagi anak yang mengalami masalah hukum," ujar Halda.
Undang-Undang tersebut, lanjut Halda, diberlakukan setelah dua tahun sejak tanggal ditetapkan pada 30 Juli 2012, kemudian waktu paling lama lima tahun setelah diberlakukan. Selain itu, ada beberapa tahap yang harus dipenuhi, yaitu membangun lemabaga pemasyarakatan di kabupaten/kota.
Ia juga mengatakan, dalam UUD Pasal 28 B (2) disebutkan negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019