Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Dinas Perkebunan Kaltim akan mewajibkan semua perusahaan perkebunan sawit di provinsi itu untuk mengantongi sertifikat Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

"Kebijakan itu guna menghadapi berlaku efektifnya ISPO pada 2014," kata Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Timur (Kaltim), Etnawati, di Samarinda, Selasa.

Kebijakan itu juga bertujuan agar pengembangan sektor agribisnis itu benar-benar bermanfaat bagi perekonomian warga Kalimantan Timur.

Pasalnya, kata dia menambahkan bahwa di antara syarat untuk memperoleh sertifikat ISPO, yakni perusahaan sawit harus membangunkan kebun plasma bagi masyarakat seluas 20 persen dari total luas kebun inti perusahaan,"

Kebijakan itu tidak terlepas dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI Nomor 26 tahun 2007, tujuannya adalah, agar masyarakat di sekitar perusahaan sawit juga dapat sejahtera karena dilibatkan oleh perusahaan.

Guna mewujudkan perkebunan membangun 20 persen kebun plasma bagi masyarakat, lanjut dia, maka Dinas Perkebunan Kaltum akan melakukan pengawasan, termasuk akan menindak tegas perusahaan yang tidak membangun kebun plasma bagi masyarakat dengan baik.

Saat ini, lanjut dia, untuk seluruh wilayah sentra perkebunan sawit di kabupaten dan kota yang tersebar di Kaltim, terdapat 330 perusahaan sawit dengan 203 Ijin Usaha Perkebunan (IUP).

Sedangkan luas IUP mencapai 2,58 juta hektar, serta terdapat 113 Hak Guna Usaha (HGU) seluas 936 ribu hektar, sedangkan plasma yang ada seluas 120.911 hektar.

Jumlah tersebut masih jauh dari harapan yang 20 persen untuk kebun plasama, sehingga masih perlu dilakukan dorongan agar perusahaan sawit bersedia membangun kebun sawit plasma untuk rakyat.

Dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 11 tentang kewajiban perusahaan membangun kebun plasma, disebutkan pembangunannya dapat dilakukan dengan pola kredit, hibah atau bagi hasil.

Pembangunan kebun plasma ini dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun perusahaan, sementara rencana pembangunannya harus diketahui oleh kepala daerah setempat baik bupati maupun wali kota.

Permentan itu berlaku bagi seluruh perkebunan yang mendapat HGU setelah 2007, sedangkan untuk perkebunan yang sudah memiliki HGU sebelum tahun tersebut, tetap diwajibkan bermitra dengan masyarakat melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Namun saat perusahaan mengajukan perpanjangan HGU, maka aturan plasma 20 persen tersebut akan tetap diberlakukan bagi perusahaan tersebut.

Sementara untuk membangun plasma tidak harus di areal HGU milik perusahaan, namun perusahaan dapat membangun di lahan milik masyarakat dengan berbagai pola, karena yang terpenting adalah luasan plasma minimal 20 persen dari luas perkebunan milik perusahaan.

Hal ini dilakukan guna memudahkan perusahaan dalam membangun kemitraan, sekaligus untuk meminimalisir terjadinya konflik antar masyarakat dan perusahaan. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012