Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Awalnya nyamuk Aedes Aegypti hanya suka bersarang di air yang bersih, virus dengue yang menyebabkan penyakit demam berdarah, dulunya juga hanya ada pada nyamuk dewasa.

Tapi kini nyamuk itu sudah berevolusi sehingga lebih berbahaya.

Setiap binatang atau serangga bahkan virus yang mengalami evolusi, pasti diikuti dengan perubahan pola hidup secara fisik dan psikis, bahkan secara biologis sehingga para ilmuwan selalu ketinggalan satu langkah di belakang dalam mengatasinya.

"Dulunya nyamuk ini hanya dapat berkembang biak di penampungan air seperti bak mandi, tidak ditemukan dalam genangan air di tanah, namun sekarang sudah mengalami perubahan karena sudah mampu berkembang di air yang langsung menyentuh tanah," ucap Kepala Dinas Kesehatan Kaltim, M Syafak Hanung di Samarinda.

Saat ini, sejumlah daerah di Kalimantan Timur (Kaltim) sering terjadi hujan, bahkan diperkirakan curah hujan masih tinggi hingga Maret 2012, sehingga masyarakat diminta wasapada terhadap penularan virus Dengue oleh nyamuk.

Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan adanya genangan air di sejumlah tempat di sekitar rumah.

Genangan air tersebut dapat menjadi tempat berkembangnya nyamuk Aedes Aegypti / Aedes Albopictus.

Selain itu, nyamuk tersebut juga akan berkembang ke dalam rumah, yakni bersarang di sejumlah tempat penampungan air, baik di bak kamar mandi, gentong, dan gudang yang berisi perkakas rumah tangga serta mainan dengan kondisi lembab.

Evolusi yang dialami Aedes Aegypti (AA) saat ini adalah, jentiknya tidak hanya hidup di air yang bersih dan tidak langsung berhubungan dengan tanah, tetapi juga dapat hidup di genangan air kotor.

Selain itu, jentk nyamuk AA sudah resisten terhadap abate, sehingga jentik-jentik nyamuk itu tidak mati bila hanya dibasmi dengan abate, sehingga perlu dilakukan pola khusus dalam memutus mata rantai perkembangannya.

Bahkan dari hasil penelitian potensi penularan DBD oleh Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ditemukan telur dan larva nyamuk AA telah mengandung virus dengue penyebab DBD.

Padahal sebelumnya virus ini hanya ditemukan dari dalam tubuh nyamuk dewasa saja, sehingga saat ini tanpa menggigit manusia pun, nyamuk AA akan bertelur dan menjadi larva yang sudah terjangkiti DBD.

Terkait dengan itu, maka masyarakat diminta mencegah dan memutus rantai berkembangnya nyamuk mematikan tersebut, sedangkan cara yang efektif, aman dan murah adalah dengan melakukan 3M Plus.

Gerakan 3M Plus adalah, mengubur, menutup dan membersihkan tempat-tempat yang menjadi genangan air, serta ikanisasi di bak-bak penampungan air baik di luar ruangan maupun di dalam rumah, sehingga tidak ada kesempatan bagi nyamuk untuk bertelur.

Sejauh ini, lanjut dia, perilaku masyarakat Kaltim sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya dalam memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD dengan cara 3M Plus tersebut, sehingga kasus DBD mengalami penurunan.

Berdasarkan data, lanjut dia, kasus DBD yang terjadi di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Kaltim pada 2010 mencapai 5.862 penderita, sedangkan pada 2011 turun menjadi 1.416 penderita.

Kasus penderita DBD memang menurun, namun manta Kepala RSUD Kanujoso Balikpapan ini meminta kepada masyarakat agar terus waspada terhadap penyakit itu, apalagi evolusi telah dialami oleh nyamuk dan virusnya.

Sepanjang 2011, lanjut dia, kasus DBD tertinggi terjadi di Kota Tarakan yang mencapai 260 kasus, disusul Samarinda sebanyak 239 kasus, Kutai Barat terdapat 183 kasus, Kutai Kartanegara 177 kasus, Berau 147 kasus, dan Kutai Timur terdapat 112 kasus.

Dari adanya data tersebut, ini berarti daerah yang endemis DBD merupakan daerah yang berada di kawasan pesisir. Hal ini terjadi lantaran pola hidup masyarakat dan kawasan pesisir yang banyak tersedia tempat sebagai penampungan air.

Beberapa tahun sebelumnya, kata dia lagi, daerah pedalaman di Utara Kaltim seperti Malinau dan Nunukan dilaporkan tidak pernah terjadi kasus DBD, namun seiring dengan arus transportasi yang mulai ada, baik transportasi darat maupun udara, maka dilaporkan ada kasus DBD.

Kemudahan transportasi dapat mempengaruhi penularan virus DBD. Misalnya seseorang digigit nyamuk AA di Tarakan namun daya tahan tubuhnya kuat, lantas dia pergi ke Nunukan dengan pesawat, sampai di Nunukan bisa saja dia digigit nyamuk lagi, sehingga virus DBD dapat berkembang di wilayah itu.

Dia mengakui bahwa saat ini kasus DBD di Kaltim menurun, namun dia tetap mengingatkan kepada semua warga agar terus waspada terhadap gigitan AA, terutama mulai pagi hingga sekitar pukul 15.00 karena pada jam-jam seperti itu meruapakan masa aktif nyamuk AA mencari mangsa, sedangkan saat malam nyamuk ini tidur.

Kasus DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya pada 1968, namun konfirmasi virologis baru didapat pada 1972.

Sejak saat itu penyakit tersebut terus menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 hampir seluruh provinsi di Indonesia terjangkit penyakit itu.

Di Kaltim sendiri, kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD pertama kali diketahui di Samarinda pada 1974. Saat itu dilaporkan banyak yang terserang, namun data pastinya tidak diketahui karena tidak tercatat.

Di dunia, penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filiphina pada 1953, sejak saat itu virus yang kini memiliki "gaya hidup" berbeda karena berevolusi tersebut terus mengalami penyebaran ke sejumlah negara di Asia.

Virus dan nyamuk AA yang menyebarkan penyakit ini pada umumnya lebih suka berkembang di Asia karena memiliki iklim tropis.

Hal ini dilakukan AA untuk menghangatkan tubuhnya yang kecil agar mampu bertahan hidup di kawasan yang lebih banyak sinar mataharinya, walaupun dia suka bersarang dan memperbanyak jentik di tempat yang lembab.

Terkait dengan pola dan gaya hidup virus dan nyamuk yang telah mengalami perubahan tersebut, maka pemberian abate yang dulu masih tergolong obat manjur untuk membunuh jentik nyamuk, kini cara itu hanya "ditertawakan" AA karena banyak jentik AA sudah kebal terhadap abate.

Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan demam tinggi mendadak 2-7 hari (38-40 derajat Celsius), otot nyeri, manifestasi pendarahan dengan bentuk uji tourniquet positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, dan melena.

Kemudian disertai hepatomegali (pembesaran hati), syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah, trombositopeni, pada hari ke 3-7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000 /mm.

Disertai pula hemokonsentrasi (meningkatnya nilai hematokrit), dan berbagai hejala klinis seperti anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, kejang, batuk dan sakit kepala.

Penderita yang terserang DBD akan mengalami tiga fase. Pertama adalah demam selama tiga hari pertama. Berlanjut pada tiga hari selanjutnya yang merupakan fase kritis. Pada fase ini, demam sudah tidak terjadi, namun di fase inilah harus waspada agar tidak terkecoh dengan menganggap sudah sembuh dan tidak diberi pengobatan. Tiga hari selanjutnya adalah fase penyembuhan.

Selama ini banyak orang tua yang menganggap bahwa demam yang dialami anak yang kemungkinan terjangkit DBD sebagai demam biasa, sehingga dianggap ringan dan tidak mendapat perawatan khusus. Apalagi pada fase kedua, biasanya demam sudah turun sehingga dianggap sudah sembuh.

"Padahal, jika orang yang terkena DBD dan telah mengalami panas selama lima hari kemudian baru dibawah ke rumah sakit, maka cara ini dianggap sudah terlambat sehingga kecil harapan bagi pasien untuk sembuh," kata Syafak.  (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012