Balikpapan, (Antaranews Kaltim)  – Memasuki tahun 2019, para kontraktor minyak dan gas di Kalimantan dan Sulawesi ditarget lifting 89.870 barel minyak perhari dan gas 2.455 juta standar kaki kubik perhari.

    

“Target dari APBN untuk menjaga penerimaan negara dari sektor migas,” kata Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Kalimantan dan Sulawesi (SKK Migas Kalsul) Syaifuddin di Balikpapan.

    

Target tersebut bagian dari 775 ribu barel minyak perhari dan 1,250 juta barel setara minyak perhari untuk gas pada target nasional.

Untuk memenuhi target tersebut, para kontraktor eksisting menambah sumur-sumur baru.

Dalam daftar yang dibagikan SKK Migas Kalsul disebutkan Pertamina Hulu Mahakam (PHM) merencanakan mengebor hingga 118 sumur, Pertamina Hulu Sangasanga (PHSS) mengebor 29 sumur, Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) menambah 3 sumur, Pertamina Asset Kalimantan Sulawesi menggali 63 sumur, Join Operation Pertamina-Medco Tomori menambah 2 sumur, Eni Sepinggan menambah 2 sumur, dan Pandawa Prima Lestari dengan 1 sumur.

“Semuanya sumur-sumur pengembangan,” lanjut Syaifuddin. Artinya sumur-sumur itu dibuat di lapangan yang sudah terbukti cadangannya dan dioperasikan untuk mendapatkan lebih banyak minyak dan gas.

Operasi tersebut didanai sebagian dari investasi sebesar US$14,79 miliar dan cost recovery maksimal US$10,22 miliar.

Menurut Syaifudin, angka 14,79 miliar dolar adalah besaran investasi untuk seluruh proyek migas di Indonesia.

Selain mengebor sumur-sumur baru, juga terus dilakukan eksplorasi untuk mencari cadangan-cadangan baru.

Menurut dia, SKK Migas Kalsul sudah menyetujui 22 kegiatan G and G (geologi dan geofisika), meliputi seismik 2D seluas 891,1 km persegi dan seismik 3D 551 km persegi.

 SKK Migas Kalsul mengkoordinasikan 22 wilayah kerja (atau dulu disebut blok). Sebagian merupakan alih kelola dari penanaman modal asing seperti PHM yang dulunya dimodali Total dari Perancis dan Inpex dari Jepang, atau PHKT yang berasal dari Chevron, Amerika Serikat, dan yang terbaru PHSS yang sebelumnya bernama Vico Indonesia.

“Kami sangat bersyukur proses alih kelola wilayah-wilayah kerja itu berlangsung lancar, tidak ada gangguan dalam produksi dan pekerjaan sehari-hari,” ungkap Syaifuddin.

Dua alih kelola yang terakhir, yaitu PHKT dan PHSS sudah menggunakan sistem gross split, sistem kerja sama yang menggantikan sistem produksi bagi hasil (production sharing contract, PSC) dengan cost recovery atau pergantian biaya bila ditemukan cadangan yang bisa diproduksikan.

Dalam gross split, seluruh pekerjaan dimodali dulu oleh kontraktor, tanpa cost recovery, dan bila kontraktor berhasil menemukan cadangan yang signifikan langsung mengambil bagiannya sesuai kesepakatan.

Dalam skema PSC, untuk minyak pembagian adalah 85:15, 85 persen untuk negara dan 15 persen untuk kontraktor. Namun bagian negara yang 85 persen masih dipotong lagi dengan biaya cost recovery.

Dalam gross split, besaran pembagian sesuai kesepakatan, namun bagian negara tak dikurangi lagi oleh cost recovery. Kontraktor menanggung sendiri biaya operasinya.

Selain itu, Syaifuddin juga menyebutkan perluasan wewenang yang kini dimiliki SKK Migas Kalsul. Pihaknya kini berwenang dalam hal kontraktor perlu pengadaan tanah hingga luasan 5 hektare. Kantor Perwakilan di Balikpapan juga berwenang dalam menerima lifting dan memiliki 12 personel untuk itu.

“Untuk mempercepat layanan SKK Migas pada para pihak, termasuk untuk koordinasi dan pengambilan kebijakan di lapangan,” demikian Syaifuddin.

Selain itu diketahui pada 2018 silam, penerimaan negara dari sektor migas mencapai US$17,5 atau Rp215 triliun, melampaui target yang US$11,9 atau Rp160,6 triliun.

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019