Balikpapan, (Antaranews Kaltim) – Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) mengajarkan langsung kebiasaan membaca di sekolah. Di sekolah di Balikpapan Tengah itu, selama 4 hari dalam sepekan, yaitu Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu, setiap pagi sebelum belajar, seluruh siswa wajib membaca selama 15 menit.

    

“Setelah membaca, anak-anak saya persilakan bertanya, misalnya kata-kata sulit yang tidak mereka mengerti yang mereka temui selama membaca,” kata Wali Kelas 2 Lusi Ambarani.

Lusi mencontohkan, pekan lalu, beberapa anak-anak bertanya arti kata ‘strategis’, dan ‘masa lampau’ . Guru pun menjelaskan dengan contoh-contoh dan menggunakan kata-kata lain yang mudah dipahami anak-anak.

Keterampilan ini tidak secara langsung disebutkan di kurikulum sebagai hal yang ingin dicapai sebagai tujuan pembelajaran.

Kebiasaan membaca yang dilatihkan secara formal itu adalah kebijakan Kepala Sekolah Gunanto yang kemudian didukung seluruh guru dan siswa.

Tidak hanya itu. Lebih jauh anak-anak dipersilakan untuk bercerita atau menerangkan informasi yang diperolehnya dari bacaannya.  Pada hari Sabtu, anak-anak semua membaca di lapangan.

Setelah itu ada kesempatan bercerita. Setiap kelas mengirim satu perwakilannya untuk tampil.

Selain membaca senyap atau membaca tak bersuara di hari Rabu, Kamis, dan Sabtu, juga diajarkan membaca bersuara nyaring di hari Selasa. Membaca nyaring ini jadi latihan untuk tampil di depan hadirin.

Bahkan Bu Lusi memberi contoh membaca nyaring dengan ekspresi sesuai cerita.

     “Saya bacakan cerita Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya dan akhirnya dikutuk menjadi batu,” kata Bu Lusi.

Bu Guru ini bercerita lengkap dengan suara sedih ibu Malin Kundang, angkuh si anak durhaka, dan suara angin ribut yang menenggelamkan kapal Malin Kundang di Pantai Air Manis.

Para siswa jadi tahu bagaimana cara bercerita yang ekspresif dan menyenangkan. Hasilnya, beberapa siswa berani mencoba meniru bercerita ekspresif di depan anak-anak lain.“

Ini membuat mereka juga jadi berani tampil dan terlatih kemampuan komunikasinya,” papar Bu Lusi lagi. Kemampuan itu bisa ditampilkan setiap Sabtu di lapangan di depan seluruh sekolah.

Menurut Bu Lusi walaupun baru dimulai sejak September 2018 lalu,  dampak dari kegiatan membaca ini sudah mulai kelihatan. Anak-anak mulai kaya dengan kosa kata.

Mereka mampu membuat cerita dengan kalimat panjang, dan mampu membuat deskripsinya sebuah kejadian lebih dari 10 kalimat.

Untuk menunjang program-program membaca ini, tiap kelas di sekolah MINU sekarang memiliki sudut atau pojok baca.

Ada rak di sudut kelas yang diisi buku yang berasal dari perpustakaan dan dari sumbangan orang tua siswa.

Untuk yang dari orang tua siswa, diperoleh setelah memberi tahu mereka bahwa untuk gerakan membaca di madrasah, pihaknya butuh bantuan buku secara sukarela.

Di kelas dari 28 orang tua siswa, 18 dari mereka telah menyumbangkan buku-buku cerita yang menarik, terang Bu Lusi. 

     Agar siswa semakin tertarik membaca, selain sudut baca, sekolah juga telah menyiapkan tempat untuk membaca yang disebut halte baca dan stasiun baca. Keduanya berbentuk seperti dipan dan terletak di luar kelas.

Kemudian agar buku-buku tersebut aman dan berganti-ganti, perwakilah siswa-siswa dari kelas 4,5,6 secara bergantian bertanggung jawab terhadap buku-buku di tempat tersebut.

Diantara tugas mereka adalah menjaga dan memasukkan kembali buku ke ruang kantor guru atau perpustakaan saat sekolah usai.

“Dengan segala keterbatasan, kami ingin siswa-siswa kami menerapkan apa yang telah diperintahkan Allah untuk pertama kalinya kepada Nabi, yaitu membaca!” kata Kepala MINU Gunanto.

Membaca adalah keterampilan berbahasa yang penting, yang memungkinkan anak menyerap informasi secara utuh, yang pada gilirannya mampu memahami bacaan tidak hanya yang tertulis, tapi juga hal-hal tersirat di baliknya, dan mampu menghubungkan informasi dan menganalisisnya untuk mendapatkan pemahaman.

“Mungkin tidak di usia mereka sekarang, tapi keterampilan membacanya ya harus mulai dikuasai dari sekarang bila kita tidak ingin anak-anak kita ketinggalan,” kata Gunanto lagi.

Gunanto sendiri mulai menetapkan kebijakan itu setelah mengikuti pelatihan PINTAR yang digelar Tanoto Foundation. Program PINTAR atau Pengembangan Inovasi untuk Kualitas Pembelajaran dilatihkan selama 3 hari oleh fasilitator dari yayasan tersebut untuk mendorong guru dan sekolah mengenal potensi-potensinya dan masalah di sekolahnya, lalu bisa berinoviasi dari situ untuk mendapatkan kualitas pembelajaran maksimal.

“Kesukaan membaca semenjak dini akan membuat para siswa lebih berwawasan, berpengetahuan dan kreatif, tidak mudah termakan hoax dan suka membaca media dengan kritis,” kata Spesialis Komunikasi Program PINTAR Tanoto Foundation Mustajib.

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018