Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak kembali membantah terjadinya pembantaian Orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang diperkirakan berlangsung pada periode 2009-2010.

"Saya sudah tegaskan berkali-kali bahwa baik pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan pihak kepolisian tidak menemukan bukti adanya pembantaian orangutan itu," ungkap Awang Faroek kepada wartawan di Samarinda, Jumat (18/11), usai menghadiri Rapat Paripurna Penyampaian Nota Keuangan RAPDA 2012 di DPRD Kaltim.

Pemerintah Provinsi Kaltim, kata Awang Faroek Ishak, sudah merasa terganggu terkait pemberitaan dugaan pembantaian orangutan tersebut.

"Kami sudah merasa terganggu dengan pemberitaan orangutan tersebut sebab seolah-olah pemerintah tidak peduli padahal selama ini kami telah bekerja sama dengan pihak BOS dan sudah puluhan orangutan yang dikembalikan ke habitatnya. Beberapa perusahaan juga telah saya berikan rekomendasi untuk HPH restorasi," katanya

"Awal timbulnya pemberitaan tersebut itulah yang harus diusut. Berani memberitakan berarti punya bukti," ungkap Awang Faroek Ishak.  

Gubernur Kaltim itu juga mengatakan, foto penyiksaan serta kerangka orangutan yang diduga tewas dibantai belum bisa disebut sebagai bukti terjadinya pembantaian.

"Saya sudah tanya ke Polres Kutai Kartanegara dan Polda Kaltim dan mereka mengatakan tidak ada bukti," kata Awang Faroek Ishak.

Ditanya terkait pernyataan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang telah mengakui terjadinya pembantaian orangutan, Awang Faroek Ishak mempersilakan untuk menyampaikan ke Polda Kaltim.

"Jika punya bukti silahkan sampaikan ke Polda Kaltim tetapi yang saya tahu Bupati Kutai Kartanegara tidak pernah mengatakan ada bukti pembantaian orangutan tersebut," kata Awang Faroek Ishak.

Namun, Awang Faroek Ishak mengaku akan menindak tegas pihak perusahaan yang terbukti melakukan pembantaian orangutan.

"Mengapa hanya di perkebunan yang dipersoalkan dan belum tentu perusahaan tersebut yang melakukan pembantaian. Pokoknya, semua perusahaan pertambangan dan perkebunan perusak habitat sebab mereka melakukan kegiatan di kawasan hutan dengan ijin pinjam pakai," ungkap Awang Faroek Ishak.

Sebelumnya, Centre for Orangutan Protection (COP) dalam rilisnya mengatakan, bukti pembantaian Orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus) di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara periode 2009 hingga 2010 sudah ada.

"Bukti pembantaian Orangutan itu sudah ada di depan mata. Pada 3 November 2011, satu orangutan jantan dewasa ditemukan terluka di kawasan perkebunan milik PT Khaleda Agroprima Malindo, anak perusahaan Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad di Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Kami menduga, orangutan tersebut disiksa dan mengalami patah tulang sehingga tidak mampu bergerak lebih jauh. Ini saja sebenarnya sudah cukup bagi BKSDA untuk menyeret manajemen perkebunan ke penjara sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya," ungkap Orangutan Campaigner dari COP, Daniek Hendarto.

"Pada dasarnya, tidak ada alasan jika kasus ini tidak berjalan karena kurangnya bukti dan saksi. Orangutan yang terluka parah itu adalah bukti yang nyata di depan mata, saksi juga ada sehingga pihak BKSDA hendaknya menyidik manajemen PT Khaleda," katanya.

"Pada 29 Oktober, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda berhasil merekonstruksi kerangka orangutan yang diserahkan masyarakat dari kawasan perkebunan PT Khaleda. Bukti ini melengkapi foto-foto pembantaian orangutan yang disebarkan oleh mantan karyawan yang sakit hati terhadap terhadap perusahaan kelapa sawit asal Malaysia tersebut sehingga tidak ada alasan penyidik menyatakan masih kurang bukti," ungkap Daniek Hendarto.

COP kata dia telah meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberi perhatian khusus terkait pembantaian orangutan tersebut.

"Kami (COP) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan dukungan penuh kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk menegakkan hukum perlindungan orangutan di Kalimantan Timur. Permintaan ini didasarkan pada fakta mengenai buntunya proses penegakan hukum atas kasus-kasus dugaan pembantaian orangutan yang terjadi di dalam kawasan perkebunan PT Khaleda Agroprima Malindo, anak perusahaan Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad di Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur," kata Daniek Hendarto.

Dugaan terjadinya pembantaian puluhan orangutan tersebut juga diungkapkan Kepala Desa Puan Cepak, Kadir.

"Sebelum mencuat di media, kasus dugaan pembantaian Orangutan itu sudah menjadi perbincangan di masyarakat. Namun, setelah ramai diberitakan, masyarakat baru mengerti jika tindakan pembantaian orangutan tersebut melanggar hukum sehingga mereka jadi takut memberikan keterangan," ungkap Kadir.

Kepala Desa Puan Cepak itu juga mengaku tidak tahu secara pasti terkait pembantaian orangutan tersebut.

"Saya hanya mendengar dari omongan warga dan tidak tahu secara pasti mengenai pembantaian itu sebab peristiwa itu berlangsung sebelum saya menjabat sebagai Kepala Desa. Sudah dua kali saya dimintai keterangan oleh pihak kepolisian terkait kasus ini," katanya.

"Kejadian itu diperkirakan berlangsung dua atau tiga tahun lalu, sebelum saya menjadi Kepala Desa. Pembunuhan Orangutan itu sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Desa Puan Cepak," ungkap Kadir yang mengaku baru menjabat sebagai Kepala Desa Puan Cepak pada April 2010..

Kepala Desa Puan Cepak itu mensinyalir, pembunuhan Orangutan oleh warga tersebut berdasarkan kepentingan perusahaan sawit yang beroperasi di desa itu.

"Saya mendapat informasi kalau warga dibayar per ekor untuk membunuh orangutan itu. Namun, saya tidak tahu berapa nilainya tetapi saya menduga warga melakukan itu karena kepentingan perusahaan," katanya.

"Saat ini populasi orangutan yang tersisa sekitar 10 ekor," ungkap Kadir.

Kasus pembantaian orangutan ini merebak pada pertengahan September 2011 setelah seorang warga dengan membawa bukti-bukti foto melaporkannya ke salah satu koran di Samarinda.  (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011