Samarinda (Antaranews Kaltim) - Puluhan warga RT 24, Kelurahan Sangasanga Dalam, Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menolak beroperasinya kembali perusahaan tambang batu bara yang berdekatan dengan permukiman warga.
Aksi penolakan ini disampaikan warga kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kaltim, Rabu, dengan didampingi oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim.
Menurut Ketua RT 24 Kelurahan Sangasanga Dalam, Muhammad Zaenuri bahwa wilayah RT 24 menaungi 200 Kepala Keluarga dan sekitar 400 jiwa, dengan mayoritas pekerjaan masyarakatnya sebagai petani dan beternak.
"Dulunya di sekitar wilayah kami memang sudah pernah ditambang oleh CV Sangasanga Perkasa (SSP)," kata Zaenuri.
Ia mengatakan, aktivitas penambangan di area seluas 42,5 hektare tersebut berlangsung mulai 2004 dan telah berakhir 2014 lalu, karena kandungan batu bara yang sudah menipis.
Namun, pada tahun 2018 ini, CV SSP, telah beroperasi kembali dan diduga dengan pengelolaan manajemen yang baru.
"Puluhan tahun kami menderita akibat aktivitas tambang, dan saat ini tambang tersebut akan dihidupkan lagi, terus terang warga menolak, karena sumber air warga sekitar sudah sulit dicari karena adanya aktivitas tambang," tegas Zainuri.
Apalagi, berdasarkan laporan dari Dinas ESDM, bahwa beroperasi lagi perusahaan tambang tersebut tanpa dilengkapi dokumen terkait ijin lingkungan.
Menurut dia, sebelumnya warga RT 24 sudah pernah menghentikan dua tambang ilegal yang coba mengeruk batu bara di wilayah mereka.
"Ada yang ilegal kami stop. Tapi, kalau yang ada IUP (Izin Usaha pertambangan) seperti CV SSP ini tidak bisa kita stop karena resmi. Nanti kita yang dipenjara," tutur Zainuri.
Sekretaris RT 24, Dasi menambahkan, dulunya banyak warga di RT 24 yang bekerja di CV SSP, termasuk dirinya yang kala itu berposisi sebagai humas.
"Ada yang HRD, ada yang mekanik, operator. Tapi sekarang tidak ada warga yang mau kerja di sana lagi, karena kami menolak RT kami kembali ditambang," kata Dasi.
Namun, perlahan masyarakat mulai sadar dengan menyandarkan ekonomi pada tambang sifatnya hanya sementara dan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
"Saat kami dapat musibah kebanjiran. Kebun kami rusak, kolam ikan kami rusak, sumber air kami rusak, tidak ada pemerintah yang membantu. Padahal pemerintah yang memberi izinnya," tegas Dasi.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradama Rupang menambahkan bahwa proses terbitnya perizinan kembali PT SSP tersebut diduga terindikasi pelanggaran, karena areal tambang SSP merupakan kawasan milik Pertamina, yang terbitnya Perjanjian Pemanfaatan Lahan Bersama (PPLB) harus diketahui oleh Kementerian Keuangan.
"Ada hal yang tidak transparan dengan terbitnya kembali izin tambang PT SSP ini, karena ini termasuk zona merah untuk ditambang," tegasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
Aksi penolakan ini disampaikan warga kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kaltim, Rabu, dengan didampingi oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim.
Menurut Ketua RT 24 Kelurahan Sangasanga Dalam, Muhammad Zaenuri bahwa wilayah RT 24 menaungi 200 Kepala Keluarga dan sekitar 400 jiwa, dengan mayoritas pekerjaan masyarakatnya sebagai petani dan beternak.
"Dulunya di sekitar wilayah kami memang sudah pernah ditambang oleh CV Sangasanga Perkasa (SSP)," kata Zaenuri.
Ia mengatakan, aktivitas penambangan di area seluas 42,5 hektare tersebut berlangsung mulai 2004 dan telah berakhir 2014 lalu, karena kandungan batu bara yang sudah menipis.
Namun, pada tahun 2018 ini, CV SSP, telah beroperasi kembali dan diduga dengan pengelolaan manajemen yang baru.
"Puluhan tahun kami menderita akibat aktivitas tambang, dan saat ini tambang tersebut akan dihidupkan lagi, terus terang warga menolak, karena sumber air warga sekitar sudah sulit dicari karena adanya aktivitas tambang," tegas Zainuri.
Apalagi, berdasarkan laporan dari Dinas ESDM, bahwa beroperasi lagi perusahaan tambang tersebut tanpa dilengkapi dokumen terkait ijin lingkungan.
Menurut dia, sebelumnya warga RT 24 sudah pernah menghentikan dua tambang ilegal yang coba mengeruk batu bara di wilayah mereka.
"Ada yang ilegal kami stop. Tapi, kalau yang ada IUP (Izin Usaha pertambangan) seperti CV SSP ini tidak bisa kita stop karena resmi. Nanti kita yang dipenjara," tutur Zainuri.
Sekretaris RT 24, Dasi menambahkan, dulunya banyak warga di RT 24 yang bekerja di CV SSP, termasuk dirinya yang kala itu berposisi sebagai humas.
"Ada yang HRD, ada yang mekanik, operator. Tapi sekarang tidak ada warga yang mau kerja di sana lagi, karena kami menolak RT kami kembali ditambang," kata Dasi.
Namun, perlahan masyarakat mulai sadar dengan menyandarkan ekonomi pada tambang sifatnya hanya sementara dan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
"Saat kami dapat musibah kebanjiran. Kebun kami rusak, kolam ikan kami rusak, sumber air kami rusak, tidak ada pemerintah yang membantu. Padahal pemerintah yang memberi izinnya," tegas Dasi.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradama Rupang menambahkan bahwa proses terbitnya perizinan kembali PT SSP tersebut diduga terindikasi pelanggaran, karena areal tambang SSP merupakan kawasan milik Pertamina, yang terbitnya Perjanjian Pemanfaatan Lahan Bersama (PPLB) harus diketahui oleh Kementerian Keuangan.
"Ada hal yang tidak transparan dengan terbitnya kembali izin tambang PT SSP ini, karena ini termasuk zona merah untuk ditambang," tegasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018