Samarinda (Antaranews Kaltim) - Komunitas peduli sungai di Samarinda, Kaltim, dalam kaitan memperingati Hari Air Sedunia pada 22 Maret 2018, mengingatkan bahwa air tercipta bukan hanya untuk manusia, namun semua makhluk hidup selalu membutuhkan air.
"Tumbuhan dan binatang juga makhluk hidup sehingga mereka juga butuh air, bahkan tidak sedikit habitan yang hidup di lingkungan air," ujar Koordinator Umum Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda Yustinus Sapto Harjanto di Samarinda, Sabtu.
Terkait itu, maka kebijakan pengawetan, perawatan, dan penjagaan air seharusnya tidak hanya ditujukan untuk kepentingan manusia, namun harus memikirkan habitat lain.
Ia menuturkan bahwa ada banyak contoh rekayasa air yang hanya ditujukan untuk manusia yang justru menghasilkan kematian, bahkan kepunahan mahkluk lain, seperti sungai yang dibeton di kanan dan kirinya sehingga membuat sungai kehilangan aneka tumbuhan dan ikan.
Menurutnya, jumlah air selalu sama, hanya distribusinya yang tidak merata, yakni ada daerah yang punya banyak air, namun ada wilayah yang kekurangan air.
Daerah yang mempunyai banyak air tidak berarti bisa menikmati air bersih dan sehat, karena melimpahnya air tidak selalu layak dimanfaatkan bagi keperluan sehari-hari, akibat ulah manusia.
"Kecukupan air yang layak dikonsumsi secara berkelanjutan menjadi tantangan saat ini. Warga Samarinda mengalami persoalan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air, termasuk permasalahan air terkait dengan daerah aliran sungai (DAS), kawasan yang menopang aliran sungai," tuturnya.
Persoalan DAS di Sungai Karang Mumus adalah penggunaan lahan yang tidak berkesesuaian dengan tata air, seperti adanya berbagai macam konversi atau penggunaan lahan yang tidak berkesesuaian.
Di bagian hulu dan tengah DAS Karang Mumus, misalnya, beroperasi usaha penambangan batu bara, sehingga kegiatannya mengubah bentang alam, termasuk menghabisi tutupan vegetasinya.
Selain konversi untuk pertambangan, bukit-bukit yang merupakan area lindung SKM juga dirambah untuk permukiman.
Ia melanjutkan bahwa industri real estate kini lebih memilih perbukitan sebagai area pengembangannya dengan iming-iming perumahan bebas banjir, namun aktivitasnya menebang pohon penyerap air.
Alih fungsi lahan juga terjadi dari lahan basah menjadi lahan kering, yakni rawa-rawa pasang surut atau rawa banjir diuruk yang kemudian dijadikan permukiman.
Sawah juga terus berkurang dan berubah menjadi kebun (lahan kering), bahkan ruang yang tidak berkesesuaian juga dengan mudah ditemukan di sepanjang aliran SKM, yakni sempadan sungai dikuasai dan berdiri aneka bangunan, padahal sempadan merupakan ruang milik sungai yang seharusnya tidak diganggu.
"Ruang SKM diokupasi untuk permukiman, bahkan bangunan bukan hanya di pinggir sungai, namun masuk ke badan sungai. Pendudukan bukan hanya menghilangkan ekosistem penghubung antara air dan daratan, namun sudah merampas kelebaran sungai," ucap Yus. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
"Tumbuhan dan binatang juga makhluk hidup sehingga mereka juga butuh air, bahkan tidak sedikit habitan yang hidup di lingkungan air," ujar Koordinator Umum Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda Yustinus Sapto Harjanto di Samarinda, Sabtu.
Terkait itu, maka kebijakan pengawetan, perawatan, dan penjagaan air seharusnya tidak hanya ditujukan untuk kepentingan manusia, namun harus memikirkan habitat lain.
Ia menuturkan bahwa ada banyak contoh rekayasa air yang hanya ditujukan untuk manusia yang justru menghasilkan kematian, bahkan kepunahan mahkluk lain, seperti sungai yang dibeton di kanan dan kirinya sehingga membuat sungai kehilangan aneka tumbuhan dan ikan.
Menurutnya, jumlah air selalu sama, hanya distribusinya yang tidak merata, yakni ada daerah yang punya banyak air, namun ada wilayah yang kekurangan air.
Daerah yang mempunyai banyak air tidak berarti bisa menikmati air bersih dan sehat, karena melimpahnya air tidak selalu layak dimanfaatkan bagi keperluan sehari-hari, akibat ulah manusia.
"Kecukupan air yang layak dikonsumsi secara berkelanjutan menjadi tantangan saat ini. Warga Samarinda mengalami persoalan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air, termasuk permasalahan air terkait dengan daerah aliran sungai (DAS), kawasan yang menopang aliran sungai," tuturnya.
Persoalan DAS di Sungai Karang Mumus adalah penggunaan lahan yang tidak berkesesuaian dengan tata air, seperti adanya berbagai macam konversi atau penggunaan lahan yang tidak berkesesuaian.
Di bagian hulu dan tengah DAS Karang Mumus, misalnya, beroperasi usaha penambangan batu bara, sehingga kegiatannya mengubah bentang alam, termasuk menghabisi tutupan vegetasinya.
Selain konversi untuk pertambangan, bukit-bukit yang merupakan area lindung SKM juga dirambah untuk permukiman.
Ia melanjutkan bahwa industri real estate kini lebih memilih perbukitan sebagai area pengembangannya dengan iming-iming perumahan bebas banjir, namun aktivitasnya menebang pohon penyerap air.
Alih fungsi lahan juga terjadi dari lahan basah menjadi lahan kering, yakni rawa-rawa pasang surut atau rawa banjir diuruk yang kemudian dijadikan permukiman.
Sawah juga terus berkurang dan berubah menjadi kebun (lahan kering), bahkan ruang yang tidak berkesesuaian juga dengan mudah ditemukan di sepanjang aliran SKM, yakni sempadan sungai dikuasai dan berdiri aneka bangunan, padahal sempadan merupakan ruang milik sungai yang seharusnya tidak diganggu.
"Ruang SKM diokupasi untuk permukiman, bahkan bangunan bukan hanya di pinggir sungai, namun masuk ke badan sungai. Pendudukan bukan hanya menghilangkan ekosistem penghubung antara air dan daratan, namun sudah merampas kelebaran sungai," ucap Yus. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018