Samarinda (Antaranews Kaltim) -Pemerhati lingkungan Yustinus Sapto Hardjanto mengemukakan bahwa pemerintah berpikir seolah-olah menjadi seperti Tuhan yang dibuktikan dengan kebijakannya mengubah fungsi sungai berikut ruangnya, sehingga berakibat munculnya bencana ekologi dan banjir.

"Tuhan menciptakan sungai berikut ruang sungai itu telah didesain sesuai kontur tiap titik, seperti ada rawa, lembah, gunung, dan dataran. Semua ini diciptakan bukan tanpa maksud," ujar Yustinus selaku Koordinator Umum Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda dihubungi di Samarinda, Senin.

Menurut ia, maksud dari masing-masing desain itu antara lain agar semua makhluk ciptaan-Nya juga memperoleh hak yang sama dalam menikmati alam yang pada akhirnya juga untuk kemaslahatan manusia.

Misalnya, di ruang sungai ada rawa, maka fungsi rawa antara lain untuk tempat berkembang biak berbagai jenis flora dan fauna, sekaligus untuk menampung air hujan agar tidak langsung tumpah ke sungai yang bisa menyebabkan bencana banjir.

Namun, lanjut Yustinus, pemerintah melalui kebijakannya kemudian melegalkan pembangunan di kawasan rawa sehingga yang terjadi adalah rawa diuruk.

Hal inilah yang kemudian memicu bencana ekologi karena banyak spesies yang hidup di rawa kemudian mati, pindah, dan punah. Bahkan, kawasan yang menjadi resapan air hilang yang kemudian genangan air menyebar liar mencari titik yang rendah.

"Bahkan, pemerintah juga kemudian bertindak seolah-olah menjadi Tuhan dengan menurap sungai, sehingga kebijakan ini kemudian membatasi ruang sungai, yakni memaksa masyarakat berpikir bahwa sungai hanyalah celah tempat mengalirnya air. Padahal, sungai memiliki ruang luas sesuai dengan kontur alamnya," jelasnya.

Yustinus menambahkan, lembah dan gunung/bukit juga merupakan bagian dari ruang sungai, karena perbukitan merupakan ruang yang mampu menyimpan debit air hujan melalui pepohonan untuk dialirkan ke lembah dan sungai secara perlahan agar air tidak sekaligus tertumpah yang menyebabkan banjir.

"Namun ruang ini kemudian dihilangkan baik oleh perseorangan maupun pembiaran oleh pemerintah, seperti perbukitan ditebangi pohonnya dan gunung diratakan dengan lembah sehingga kondisi ini juga memicu bencana," ujar Yustinus, yang akhir pekan lalu kedatangan tamu dari Atase Kebudayaan Kedubes AS yang mengunjungi Sekolah Sungai di Lempake, Samarinda.

Sedangkan untuk kawasan yang datar, lanjutnya, itulah kawasan yang bisa digunakan untuk permukiman namun harus tetap memperhatikan garis sempadan, sehingga jika kondisi alam ciptaan Tuhan ini tidak diubah bentuk dan peruntukannya, maka tipis kemungkinan terjadi bencana.

"Namun, karena pemerintah berpikir seolah-olah menjadi Tuhan dan merasa berhak mengubah ruang sungai, maka saat itu pula terjadi bencana ekologi yang dibuktikan dengan hilangnya habitat satwa di sekitar sungai, kemudian banjir dan bencana lain yang mungkin akan timbul," tuturnya. (*)

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018