Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Manajemen PT Angkasa Pura I yang mengelola Bandara Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Timur, menjatuhkan hukuman kepada oknum Aviation Security atau petugas keamanan khusus bandara yang menghalang-halangi jurnalis saat sedang menjalankan tugas liputan di lokasi tersebut.

"Kami sampaikan permohonan maaf kepada para jurnalis atas insiden itu. Petugas yang dihukum semuanya ada tujuh orang, sedang kami bina kembali," kata Kepala Departemen Aviation Security (Avsec) Bandara Sepinggan Slamet Riyadi dihubungi di Balikpapan, Jumat.

Slamet juga menegaskan bahwa manajemen akan berusaha sekuat-kuatnya agar kejadian serupa tidak terulang lagi dan meminta masukan dari para jurnalis agar bisa terus memperbaiki kinerja anak buahnya.

Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan SG Wibisono, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Balikpapan Albertus Prayudhia, dan perwakilan Persatuan Wartawan Reformasi Indonesia (PWRI) Abidin, dan korban Mirwan Hidayat menerima hal tersebut.

"Jangan sampai kejadian menghalang-halangi liputan itu terjadi lagi," tegas Wibisono.

Hal yang sama ditegaskan Mirwan Hidayat yang menerima permohonan maaf menajemen PT Angkasa Pura I.

Sebelumnya pada Minggu (8/10) sekitar pukul 18.00 Wita, sebanyak enam orang dan kemudian menjadi tujuh orang oknum Avsec mengerubungi jurnalis TvOne Mirwan Hidayat di pelataran gerbang keberangkatan Bandara Sepinggan.

Mereka juga memprovokasi keluarga dari penumpang Lion Air yang meninggal dalam perjalanan ke Balikpapan, agar keberatan dengan liputan yang dilakukan Dayat, panggilan Mirwan Hidayat.

Dayat awalnya merekam suasana di sekitar mobil ambulan yang menunggu di terminal keberangkatan itu dengan kamera telepon seluler. Ambulan itu akan digunakan keluarga membawa pulang jenazah.

Keluarga terprovokasi, lalu minta Dayat menghapus rekaman yang sudah dibuatnya. Dayat yang berada di bawah tekanan membuka "folder" tempat penyimpanan rekaman di HP-nya dan lalu dihapus seorang perempuan, keluarga dari mendiang.

"Perbuatan itu melanggar sejumlah pasal dari UU Pers Nomor 40/1999, terutama Pasal 18, yang menyebutkan ancaman 2 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta bagi siapa yang menghalang-halangi jurnalis dalam menjalankan tugasnya," kata SG Wibisiono, Ketua Divisi Advokasi AJI Balikpapan.

Ia menegaskan, menghalangi jurnalis bekerja berarti mengancam kebebasan pers dan melawan hak masyarakat untuk mengetahui informasi. Padahal kebebasan pers dan hak masyarakat untuk tahu itu dijamin oleh undang-undang.

"Kalau ada keberatan dalam hal liputan oleh pers, ada mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang bisa disampaikan kepada redaksi," jelas Teddy Rumengan, Ketua Divisi Organisasi AJI Balikpapan.

Redaksi yang menerima hak jawab atau koreksi wajib memuat secepatnya dengan proporsi yang adil dan seimbang dengan keterangan yang dibantah atau dikoreksi.

Lebih jauh, Teddy menambahkan, selain UU Pers Nomor 40/1999 sebagai dasar hukum dari pekerjaannya, jurnalis juga bekerja dalam lingkup kode etik dan kode perilaku.

"Jurnalis itu menghormati privasi, tidak memaksakan kehendak, menulis berita bukan karena beritikad buruk, tapi semata-mata demi kepentingan masyarakat yang berhak untuk tahu," jelasnya. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017