Maraknya kabar bohong, yang bisa menyesatkan sebagian orang untuk
selamanya, atau semua orang tapi tak selamanya, di jagat maya menuntut
semua orang untuk semakin cerdas dan kritis dalam menghadapinya.
Fenomena kabar bohong adalah setua peradaban manusia. Berita bohong pertama yang tercatat dalam kitab keagamaan adalah ucapan iblis yang mengelabui Hawa untuk memakan buah terlarang sebagai berkah pengetahuan.
Setelah itu kebohongan dalam berbagai ragam pun dilontarkan manusia dengan beraneka maksud. Dalam perkembangan berikutnya, ada yang membedakan antara bohong putih dan hitam.
Meskipun ada yang berprinsip bahwa bohong dalam segala bentuknya adalah haram, tak sedikit yang mempraktikkan kebohongan demi maksud yang positif. Orang tua harus berbohong pada anak-anaknya untuk kebaikan sang anak.
Kebohongan yang dilakukan oleh seseorang dan diarahkan pada orang lain secara individual lewat medium yang terbatas tak menjadi soal tapi lain perkaranya jika kebohongan itu diproduksi untuk konsumsi massal.
Pembohongan publik tentu punya kadar bahaya dan risiko yang bertingkat-tingkat. Semakin penting status pembuat kebohongan semakin tinggi dampak negatifnya.
Dampak destruktif kebohongan juga dipengaruhi oleh faktor substansi. Semakin penting substansi yang dijadikan bahan kebohongan semakin besar risiko yang ditimbulkannya.
Dampak kebohongan itu jadi menggelembung manakala pelakunya adalah orang penting yang sekaligus menyangkut substansi yang penting pula.
Dalam dunia maya, dengan kecanggihan teknologi dan kecerdasan penggunanya, kebohongan tak sebatas di ranah verbal tapi juga audio dan visual.
Intensitas produksi berita bohong yang kian hari kian tinggi itulah yang kini mulai menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Itu sebabnya dia meminta penegak hukum untuk menindak tegas dan keras penebar berita bohong yang memprovokasi dan meresahkan masyarakat.
Seruan Presiden itu tentu harus disikapi dengan ekstra hati-hati sebab jika kebablasan, implikasinya jelas, yakni bisa meringkus kebebasan berekspresi.
Untunglah Jokowi melihat perkara berita bohong itu bukan hanya dari sisi penegakan hukum tapi juga sisi pentingnya mengedukasi pengguna internet.
Gerakan masif untuk melakukan literasi dan edukasi dalam berinternet sangat vital dalam melahirkan masyarakat yang bijak dalam hidup di rimba kebohongan.
Sesungguhnya problem maraknya kabar bohong di ruang publik itu sama dan sebangun dengan problem maraknya pornografi atau perbuatan kriminal yang meresahkan warga.
Penegakan hukum perlu tapi pewaspadaan dalam diri warga pun tak kalah pentingnya. Dalam kaitan ini, ada komparasi alegoris yang bisa dideskripsikan di sini.
Jika problem-problem itu bisa diibaratkan duri, paku, pecahan kaca yang bertebaran di jalan-jalan, solusinya bukan cuma menyerukan aparat membersihkannya tapi juga mengajak warga untuk mengenakan alas kaki.
Membangun pemahaman yang membuat warga bijak menghadapi maraknya kebohongan itulah yang kini perlu dijadikan prioritas. Kebohongan atau kabar bohong tak akan pernah berhenti diproduksi manusia dari kalangan profesi apa pun.
Di kalangan politisi, bahkan kabar dengan bumbu kebohongan menjadi kiat untuk merebut kuasa. Ingat apa yang diucapkan Donald Trump saat berkampanye menjadi Presiden AS? Dia tak tanggung-tanggung mengatakan bahwa Barrack Obama lah yang menjadi dalang lahirnya ISIS, organisasi bersenjata dengan mendayagunakan para teroris.
Tak hanya satu kebohongan bahkan beberapa pernyataan tak berdasarkan fakta yang dilontarkan Trump dalam meniti jalan menuju Gedung Putih.
Publik AS tentu sebagian percaya dan sebagian tak percaya dengan kebohongan politisi. Di Indonesia pun, hanya sebagian orang yang termakan oleh kebohongan dan sebagian menanggapinya dengan dingin.
Mengapa berita bohong diproduksi dan akan senantiasa disebarkan sampai kapanpun? Pertanyaan itu seperti pertanyaan mengapa kejahatan muncul dan akan terus eksis sepanjang masa.
Berita bohong diperoduksi karena dari sanalah produsennya bergelut untuk sintas dalam persaingan. Dengan kata lain berita bohong dibuat untuk mendapatkan nafkah, mempertahankan kuasa.
Ada beberapa kiat yang bisa digunakan untuk menguji atau memverifikasi apakah sebuah kabar itu faktual atau bohong belaka, atau sebagian mengandung kebenaran dan sebagian kebohongan?
Dalam konteks ini, prinsip jurnalisme bisa digunakan sebagai panduan. Pertama yang harus dipastikan adalah kredibilitas sumber berita. Kredibilitas ini bisa diukur dari rekam jejak, apakah sebelumnya pernah berbohong atau tidak.
Kedua, cek dan cek kembali atau cek silang. Berita yang teruji kebenarannya pastilah dikonfirmasi, bahkan dikukuhkan oleh sumber-sumber lainnya.
Di samping itu, warga dunia maya yang kritis dan cerdas perlu punya kemampuan untuk mengetahui atau memahami pragmatika, cabang telaah linguistik yang mengupas antara lain maksud pembuat berita atau pernyataan.
Jika pernyataan itu dimaksudkan sebagai candaan atau lelucon tentu tak perlu ditanggapi dengan serius sebagaimana pernyataan yang dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah proposisi yang serius.
Kebohongan memang meresahkan apalagi jika dilontarkan bertubi-tubi sebagaimana yang pernah dipercaya kalangan Nazi bahwa gencarnya pelontaran kebohongan itu akan menjadikannya serasa sebagai kebenaran.
Namun, pada akhirnya, pepatah yang dipercaya orang Jawa lah yang lebih unggul, yang merumuskannya dalam klausa: becik ketitik olo ketoro, baik terdeteksi buruk tertampakkan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
Fenomena kabar bohong adalah setua peradaban manusia. Berita bohong pertama yang tercatat dalam kitab keagamaan adalah ucapan iblis yang mengelabui Hawa untuk memakan buah terlarang sebagai berkah pengetahuan.
Setelah itu kebohongan dalam berbagai ragam pun dilontarkan manusia dengan beraneka maksud. Dalam perkembangan berikutnya, ada yang membedakan antara bohong putih dan hitam.
Meskipun ada yang berprinsip bahwa bohong dalam segala bentuknya adalah haram, tak sedikit yang mempraktikkan kebohongan demi maksud yang positif. Orang tua harus berbohong pada anak-anaknya untuk kebaikan sang anak.
Kebohongan yang dilakukan oleh seseorang dan diarahkan pada orang lain secara individual lewat medium yang terbatas tak menjadi soal tapi lain perkaranya jika kebohongan itu diproduksi untuk konsumsi massal.
Pembohongan publik tentu punya kadar bahaya dan risiko yang bertingkat-tingkat. Semakin penting status pembuat kebohongan semakin tinggi dampak negatifnya.
Dampak destruktif kebohongan juga dipengaruhi oleh faktor substansi. Semakin penting substansi yang dijadikan bahan kebohongan semakin besar risiko yang ditimbulkannya.
Dampak kebohongan itu jadi menggelembung manakala pelakunya adalah orang penting yang sekaligus menyangkut substansi yang penting pula.
Dalam dunia maya, dengan kecanggihan teknologi dan kecerdasan penggunanya, kebohongan tak sebatas di ranah verbal tapi juga audio dan visual.
Intensitas produksi berita bohong yang kian hari kian tinggi itulah yang kini mulai menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Itu sebabnya dia meminta penegak hukum untuk menindak tegas dan keras penebar berita bohong yang memprovokasi dan meresahkan masyarakat.
Seruan Presiden itu tentu harus disikapi dengan ekstra hati-hati sebab jika kebablasan, implikasinya jelas, yakni bisa meringkus kebebasan berekspresi.
Untunglah Jokowi melihat perkara berita bohong itu bukan hanya dari sisi penegakan hukum tapi juga sisi pentingnya mengedukasi pengguna internet.
Gerakan masif untuk melakukan literasi dan edukasi dalam berinternet sangat vital dalam melahirkan masyarakat yang bijak dalam hidup di rimba kebohongan.
Sesungguhnya problem maraknya kabar bohong di ruang publik itu sama dan sebangun dengan problem maraknya pornografi atau perbuatan kriminal yang meresahkan warga.
Penegakan hukum perlu tapi pewaspadaan dalam diri warga pun tak kalah pentingnya. Dalam kaitan ini, ada komparasi alegoris yang bisa dideskripsikan di sini.
Jika problem-problem itu bisa diibaratkan duri, paku, pecahan kaca yang bertebaran di jalan-jalan, solusinya bukan cuma menyerukan aparat membersihkannya tapi juga mengajak warga untuk mengenakan alas kaki.
Membangun pemahaman yang membuat warga bijak menghadapi maraknya kebohongan itulah yang kini perlu dijadikan prioritas. Kebohongan atau kabar bohong tak akan pernah berhenti diproduksi manusia dari kalangan profesi apa pun.
Di kalangan politisi, bahkan kabar dengan bumbu kebohongan menjadi kiat untuk merebut kuasa. Ingat apa yang diucapkan Donald Trump saat berkampanye menjadi Presiden AS? Dia tak tanggung-tanggung mengatakan bahwa Barrack Obama lah yang menjadi dalang lahirnya ISIS, organisasi bersenjata dengan mendayagunakan para teroris.
Tak hanya satu kebohongan bahkan beberapa pernyataan tak berdasarkan fakta yang dilontarkan Trump dalam meniti jalan menuju Gedung Putih.
Publik AS tentu sebagian percaya dan sebagian tak percaya dengan kebohongan politisi. Di Indonesia pun, hanya sebagian orang yang termakan oleh kebohongan dan sebagian menanggapinya dengan dingin.
Mengapa berita bohong diproduksi dan akan senantiasa disebarkan sampai kapanpun? Pertanyaan itu seperti pertanyaan mengapa kejahatan muncul dan akan terus eksis sepanjang masa.
Berita bohong diperoduksi karena dari sanalah produsennya bergelut untuk sintas dalam persaingan. Dengan kata lain berita bohong dibuat untuk mendapatkan nafkah, mempertahankan kuasa.
Ada beberapa kiat yang bisa digunakan untuk menguji atau memverifikasi apakah sebuah kabar itu faktual atau bohong belaka, atau sebagian mengandung kebenaran dan sebagian kebohongan?
Dalam konteks ini, prinsip jurnalisme bisa digunakan sebagai panduan. Pertama yang harus dipastikan adalah kredibilitas sumber berita. Kredibilitas ini bisa diukur dari rekam jejak, apakah sebelumnya pernah berbohong atau tidak.
Kedua, cek dan cek kembali atau cek silang. Berita yang teruji kebenarannya pastilah dikonfirmasi, bahkan dikukuhkan oleh sumber-sumber lainnya.
Di samping itu, warga dunia maya yang kritis dan cerdas perlu punya kemampuan untuk mengetahui atau memahami pragmatika, cabang telaah linguistik yang mengupas antara lain maksud pembuat berita atau pernyataan.
Jika pernyataan itu dimaksudkan sebagai candaan atau lelucon tentu tak perlu ditanggapi dengan serius sebagaimana pernyataan yang dimaksudkan untuk menyampaikan sebuah proposisi yang serius.
Kebohongan memang meresahkan apalagi jika dilontarkan bertubi-tubi sebagaimana yang pernah dipercaya kalangan Nazi bahwa gencarnya pelontaran kebohongan itu akan menjadikannya serasa sebagai kebenaran.
Namun, pada akhirnya, pepatah yang dipercaya orang Jawa lah yang lebih unggul, yang merumuskannya dalam klausa: becik ketitik olo ketoro, baik terdeteksi buruk tertampakkan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017